Sebanyak 93 NGO antara lain Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Persatuan Pergerakan Petani Indonesia (P3I), Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), Elpagar, Kalimantan Barat, Forsda Kolaka, Sulawesi Tenggara, Forum Komunikasi Petani Kendal (FPPK), Forum Masyarakat Labuhan Batu (FORMAL), Forum Nelayan Togean, Forum Perjuangan Rakyat Mojokerto, LBH Serikat Petani Pasundan (LBH SPP), Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Sulawesi Selatan, Masyarakat Adat Moronene Hukaea Laeya, Bombana, Organisasi Tani Lokal Blongko dan Ongkaw 3, Minahasa Selatan, Persatuan Petani Jambi (PPJ), Persatuan Rakyat Salenrang Maros, Serikat Petani Badega (SPB), Garut, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Kalimantan Barat, Serikat Petani Lumajang (SPL), Serikat Petani Sriwijaya (SPS), Serikat Rakyat Binjai Dan Langkat (Serbila), Serikat Tani Independen (Sekti), Jember, Serikat Tani Sigi (STS), Sulawesi Tengah, Sunspirit, NTT, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Epistema Institute, Perkumpulan Kediri Bersama Rakyat (KIBAR), Jatim, dan lain-lain merespons secara tegas dengan menolak pembahasan RUU Omnibus Law oleh Baleg DPR RI karena dianggap menciderai demokrasi seolah dengan sengaja membatasi partisipasi publik di tengah ancaman wabah Corona.

Menurut Juru Bicara Koalisi 93 NGO, Benni Wijaya kepada Kartakita pada Sabtu, (04/04/2020), pembahasan Omnibus Law yang dilanjutkan sebagai respon terhadap Surat Presiden (Surpres)/R06/Pres tertanggal 7 Februari 2020 tentang RUU Cipta Kerja ini dianggap sedang menunjukkan ketidakpekaan terhadap situasi sosial dan ekonomi karena diserang pandemi Covid-19.  

Menurut kelompok anti Omnibus Law ini, terdapat 5 masalah pokok yang bisa mengancam keselamatan jutaan petani, nelayan, masyarakat adat dan perempuan di pedesaaan, yakni: Pertama, Omnibus Law akan memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria di Indonesia. Kedua, RUU ini akan mempermudah penggusuran dan perampasan tanah rakyat atas nama kepentingan pembangunan infrastruktur dan bisnis. Ketiga, RUU Cipta Kerja akan mempercepat arus konversi tanah pertanian demi kepentingan bisnis semata. Keempat, RUU ini memperbesar peluang kriminalisasi dan diskriminasi terhadap petani dan masyarakat adat. Kelima, RUU ini anti reforma agraria dan keadilan sosial dengan upaya mengubah UUPA 1960 sehingga sudah pasti bertentangan dengan Ideologi Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33.

Sementara itu, tuntutan 93 NGO kepada pemerintah dan DPR sebagai berikut: pertama, DPR diminta menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja karena kebijakan ini bukanlah jalan keluar bagi ekonomi Indonesia, apalagi bagi kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya RUU ini mengancam keselamatan hidup rakyat, buruh, petani, nelayan, masyarakat adat sehingga akan menimbulkan gelombang penolakan yang luas dari masyarakat sipil;

Kedua, DPR lebih baik awasi kinerja pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid 19 untuk meminimalisir jumlah korban, mencegah menjalar lebih luas bahkan hingga ke desa-desa. Menyadari fasilitas dan tenaga kesehatan yang tidak memadai dan merata, DPR mesti meminta keterangan pemerintah atas situasi ini.

Ketiga, DPR sebaiknya mendorong dan memastikan agar pemerintah menggunakan kerangka peraturan perundang-undangan yang tepat. Penetapan Darurat Sipil oleh pemerintah justru mendapat pembiaran dari DPR adalah bukti bahwa pemerintah maupun parlemen telah abai dalam menggunakan kerangka hukum yang tepat untuk menanggulangi wabah virus serta dampak lanjutannya.

Keempat, DPR perlu lebih ekstra dalam mengawasi anggaran penanggulangan bencana non alam virus Covid-19 ini sehingga benar-benar tepat sasaran, bermanfaat bagi perlindungan keselamatan rakyat atas penyebaran wabah ini. Apalagi wabah ini telah menyebabkan krisis ekonomi di tengah-tengah rakyat.

Kelima, DPR harus memastikan pemerintah menangani dampak meluas sosial ekonomi dari wabah Covid-19 dengan menjamin ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah selama status darurat Kesehatan.

Keenam, DPR mengawasi kinerja pemerintah dalam menuntaskan konflik agraria. Memastikan pemerintah, aparat keamanan dan perusahaan swasta dan BUMN untuk menghentikan tindakan yang memperkeruh situasi agraria, yakni penggusuran, terror, kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat di tengah situasi darurat seperti ini. Lindungi hak-hak petani yang tengah mempersiapkan panen dan distribusi pangannya.

Ketujuh, harus diketahui bahwa kewajiban menjaga situasi yang kondusif di saat krisis bukan semata-mata tugas rakyat, tapi sebesar-besarnya tugas ini wajib diemban oleh DPR dan Pemerintah. Oleh sebab rakyat yang ditekan dari berbagai aspek kehidupannya, dapat menekan balik Negara yang gagal jalankan fungsinya.

Terlalu berlebihan

Menurut penulis, tuntutan yang disampaikan 93 NGO diatas jelas merefleksikan kurangnya partisipasi publik disaat pembuatan draft RUU Omnibus Law maupun naskah akademiknya, karena biasanya sudah ada anggaran yang disediakan negara untuk membahasnya secara perfect tentunya dengan melibatkan banyak kalangan yang akan berhubungan langsung dengan Omnibus Law.

Menurut penulis, sudah jelas 93 NGO ini melakukan kajian dan penelitian bahkan menyuarakan aspirasi atau tuntutannya berdasarkan pengalaman bersama dengan kelompok masyarakat yang didampingi atau dilitigasinya, sehingga kemungkinan besar benar tuntutan dan penilaian 93 NGO ini, walaupun belum tentu seluruhnya artinya masih ada upaya “mendramatisasi” RUU Omnibus Law itu membahayakan rakyat dan menguntungkan koalisi penguasa-pengusaha.

Yang pasti, RUU Omnibus Law bertujuan baik yaitu ingin mempersiapkan payung hukum yang kuat bagi kemajuan ekonomi Indonesia di era revolusi 4.0 ini dan era selanjutnya, karena tanpa payung hukum yang kuat, perekonomian Indonesia masih akan diwarnai pungli (levy), raja-raja kecil yang “memperdagangkan” regulasi, regulasi yang obesitas dan penuh KKN, serta wajah Indonesia kurang menarik dan kompetitif bagi investasi.

Tujuan mulia berikutnya adalah ingin menjaga kepentingan nasional ke depan, sehingga sebaiknya penilaian dan tuntutan 93 NGO tersebut dikemukakan kepada pihak-pihak yang berwenang seperti pemerintah dalam hal ini Kemenko Perekonomian dan DPR RI untuk menjadi bahan pertimbangan dan pembahasan ke depan, bukan hanya diberikan kepada media massa (maaf, karena nanti akan dinilai hanya mencari panggung oleh rakyat).

Menurut penulis, pemerintah jelas tidak ingin berjudi dengan Omnibus Law ini karena taruhannya akan sangat pelik, kompleks, menyedihkan dan mematikan jika dibahas secara sembarangan. Penilaian 93 NGO ini bisa dijadikan perkiraan keadaan untuk selalu mengutamakan kehati-hatian dan transparansi dalam pembahasan Omnibus Law, agar kekhawatiran-kekhawatiran 93 NGO diatas tidak menjadi kenyataan. Resistensi berkepanjangan terkait produk hukum ini juga tidak akan baik bagi perkembangan ekonomi dan demokrasi ke depan, sehingga sudah selayaknya dikedepankan jalur moderat dan demokratis yaitu mengutamakan dialog, diskusi, kajian ilmiah dan riil bukan melalui tekanan massa atau cipta opini di media massa yang malah membingungkan rakyat. Semoga. (2/*).

*) Penulis adalah, Pemerhati masalah ekonomi nasional dan juga Kolumnis di beberapa media massa.

Pewarta: Oleh: Linda Rahmawati *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020