Digitalisasi adalah hal yang tak terelakan lagi, yang menempatkan peradaban dalam era teknologi informasi berbasi lingkungan digital. Di Indonesia sendiri, penetrasi internet sebagai ruang siber interaksi masyarakat Indonesia selalu berkembang setiap tahunnya. Menurut data yang dihimpun dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa sepanjang periode 2013 hingga 2014, terdapat 71,19 juta pengguna internet di Indonesia dengan mayoritas pengguna internet adalah kelas menengah urban sebesar 83,4%. Pengguna internet di tahun 2016 kembali meningkat menjadi 132,7 Juta Jiwa, dan kemudian angka ini berkembang di tahun 2017. APJII mencatat dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 262 juta jiwa pada akhir tahun 2017, tercatat pengguna internet berjumlah 143,26 Juta jiwa.

Perkembangan teknologi yang semakin canggih di Indonesia, tentu saja akan menimbulkan kuantitas dan kualitas kejahatan yang meningkat, dari konvensional menjadi kejahatan canggih (inkonvensional), dilakukan dengan modus operandi yang serba canggih sehingga dalam proses penegakan hukum diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap kejahatan. Peningkatan perkembangan teknologi ini juga harus diimbangi dengan sistem penegakan hukum yang adaptif, termasuk dalam hal menjamin keamanan warganya di dunia digital, namun di saat yang bersamaan tidak mengganggu privasi setiap individu di dalamnya. Salah satu penegakan hukum yang dipertimbangkan adalah penyadapan.

Memang, penyadapan merupakan bentuk pelanggaran terhadap rights of privacy yang bertentangan dengan UUD 1945. Namun yang perlu diingat, Rights of privacy merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dapat dibatasi (derogable rights). Selama ini, regulasi mengenai penyadapan di berbagai instansi masih belum memiliki spesifikasi yang jelas, sehingga pada praktiknya justru memunculkan polemik saat aktivitas penyadapan hendak dilakukan. Mahkamah Konstitusi sendiri menyatakan bahwa Indonesia belum memiliki regulasi yang komprehensif tentang penyadapan. Perihal penyadapan masih tersebar pada beberapa UU seperti UU ITE, UU No. 40/1999 tentang Telekomunikasi, dan UU No. 35/2019 tentang Narkotika. Akibatnya tidak ada tata cara penyadapan yang baku, yang disertai dengan prosedur, batas kewenangan, maupun perizinannya.

Selain itu, kekhawatiran masyarakat terhadap keamanan privasi mereka juga menjadi salah satu hambatan rativikasi UU untuk penyadapan. Padahal hemat saya, hal ini justru akan memperjelas Standard Operating Procedure (SOP) dari penyadapan oleh alat negara. Penyadapan sebagai alat pencegah dan pendeteksi kejahatan justru akan cenderung berbahaya bagi Hak Asasi Manusia (HAM), apabila berada pada hukum yang tidak tepat (karena lemahnya pengaturan) dan tangan yang salah (karena ketiadaan kontrol). Penyadapan malah menjadi tindak pelanggaran hak privasi saat dilakukan diam-diam oleh sembarang orang. Berbeda kasusnya apabila hukum sudah masuk dan pihak yang menyadap sudah terikat oleh mekanisme.

Dengan demikian, masyarakat pun bisa ikut mengawasi apakah institusi pelaksana penyadapan telah berlaku di luar batas atau tidak terhadap kebebasan masyarakat dalam ranah privasi digital. Bagaimana apabila terjadi pelanggaran hak saat penyadapan?, maka dalam rancangan UU penyadapan juga disiapkan hak warga negara untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi. Di luar daripadanya, harus kita akui bahwa, instansi seperti Polri, kejaksaan, maupun KPK pun membutuhkannya untuk mempermudah proses pengumpulan barang bukti. Undang-undang tersebut kemudian yang akan menetapkan pihak mana yang berhak mengeluarkan perintah penyadapan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup, atau pihak mana yang dapat melakukan penyadapan untuk mencari bukti permulaan yang cukup.

Berdasarkan hal tersebut, tidak berlebihan rasanya bila kita menganggap perlu adanya Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentanh penyadapan. Sebagai instrumen penting dalam penyelidikan, penyidikan maka penyadapan harus mempunyai aturan yang sangat jelas sehingga pelaksanaan penyadapat tidak menjadi hal yang melanggar hukum yang justru bisa menjadi penghambat dalam penegakan hukum. Di saat yang bersamaan, ancaman pelanggaran hak privasi warga negara juga dapat diminimalisir oleh adanya regulasi yang mengikat para petugas penyadapan di dalamnya. (23/*).

*) Penulis adalah, Mahasiswa pasca sarjana di Jawa Barat.

Pewarta: Oleh: Damayanti *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020