Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama Institut Pertanian Bogor (KMNU IPB) menggelar Seminar Bela Negara dengan tema “Penguatan kebangsaan dan keislaman dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika” di Kampus IPB Dramaga, Kabupaten Bogor, Sabtu (29/2).

Seperti seminar-seminar kebangsaan yang pernah digelar sebelumnya, seminar ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya bela negara dan peran pemahaman keislaman dalam usaha bela negara terutama pada kalangan mahasiswa dan akademisi.

Pembicara pertama, M. Zimamul Adli M. Si., menjelaskan tentang cinta tanah air dalam bingkai Islam. Cinta tanah air sebagian dari iman penting karena cinta dapat memancarkan aura kedamaian. KH Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama NU terdahulu mengingatkan akan hal ini jauh sebelum kemerdekaan Indonesia karena mereka ingin negeri ini dijaga dengan cinta.

Cinta tanah air belakangan ini tergerus karena orang saling caci maki dengan mengatasnamakan agama dan persatuan. Hal ini dapat berujung pada kehancuran negeri ini, memicu timbul dan menyebarnya paham radikalisme. Hal ini dapat terjadi karena tiga faktor yaitu 1) adanya pihak-pihak yang mementingkan kepentingan kelompok degan menghalalkan segala cara,  2) pemahaman keagamaan yang dangkal, dan 3) berkembangnya berita hoax yang menyesatkan masyarakat. Tidak ada pembenaran dalam terhadap orang yang menggunakan dalih agama untuk mencaci-maki.

Baca juga: Rektor IPB Ajak KMNU Kawal Reformasi Pertanian

Zimam memungkasi penjelasannya, menyatakan bahwa Para kyai NU juga selalu mengajarkan bahwa Pancasila sejalan dengan Islam. Pancasila apabila dipegang teguh sudah sesuai dengan nilai Islam. Setiap sila sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran dan tidak bertentangan satu sama lain. 

Mohammad Shohibuddin, M. Si., dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB, sebagai pemateri kedua menjelaskan tentang “Jawaban atas Radikalisme: Menjadi Antitesis atau Memberikan Sintesis?”. Menurut beliau, Islam dengan Indonesia bukanlah hubungan antagonistis namun merupakan perwujudan Islam yang rahmatan lil alamin dan dapat menjadi sintesis terhadap permasalahan-permasalahan bangsa.

Mahasiswa dan kalangan akademisi diharapkan memungkinkan membentuk sintesis dari paham-paham radikalisme bedasarkan pemahaman Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah. Radikalisme ini dapat diklasifikasikan dalam berbagai bentuk. Radikalisme dapat diartikan sebagai ideologi atau pandangan politik yang menghendaki perubahan politik dan sosial secara menyeluruh. Radikalisme yang tergolong takfiri yaitu radikalisme yang mewujud dalam pandangan keagamaan yang menganggap orang yang tidak menganut keyakinan tertentu dianggap kafir secara terang-terangan. Sedangkan jihadi sebagai bentuk takfiri ekstrem yang membolehkan tindakan kekerasan terhadap pandangan yang berbeda.

Bedasarkan Riset Setara Institut, IPB sudah memiliki tindakan-tindakan yang cukup baik dalam mencegah berkembangnya radikalisme di lingkungan kampus dibanding perguruan tinggi lainnya. Dalam hal ini, timbullah pertanyaan bahwa apakah peran kampus sekadar antitesis atau mampu memberikan sintesis? Shohibuddin menegaskan, “Apabila menjadi sintesis maka KMNU harus paham betul tentang Aswaja [Ahlussunnah wal Jamaah] An-Nahdliyah sebagai tahap internalisasi.”

Baca juga: Said Aqil Siradj Buka Munas IV KMNU

Selanjutnya, perlu tahapan eksternalisasi, mekanisme identitas Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah diejawantahkan dalam realitas objektif dan dapat dirasakan manfaatnya oleh orang lain bahkan non-NU. Objektifikasi ini disesuaikan dengan bidang ilmu yang didalami oleh setiap mahasiswa. Setiap mahasiswa diharapkan menyintesis pandangan Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah  dengan bidang ilmu masing-masing sehingga dapat menawarkan alternatif solusi baru yang dapat yang diterima dalam bidang keilmuannya. Objektifikasi ini sebagai bentuk tindakan amar makruf nahi mungkar yang mengandung nilai-nilai kebaikan universal. 

“Bela negara sesuai dengan ilmu masing-masing, tidak hanya reaksioner, tetapi menghasilkan objektifikasi hingga menjadi amar makruf,” tambah Shohibuddin.

Tantangan yang dihadapi saat ini adalah politik identitas; digunakannya perbedaan etnis, suku, agama, atau lainnya untuk menghimpun dukungan politik. Hal ini terjadi semakin parah karena adanya ketimpangan kesejahteraan yang terjadi di negeri ini. Politik identitas dimanfaatkan untuk mengaburkan ketimpangan yang ada dan dapat merapuhkan sendi-sendi persatuan bangsa.

Alokasi sumber daya setelah Reformasi sebagian besar diberikan kepada korporasi besar sehingga menyempitkan akses masyarakat terhadap sumber daya dibandingkan pada era Orde Baru. Ini yang harus menjadi fokus mahasiswa dalam mewujudkan bela negara dan amar makruf nahi mungkar. Inilah sintesis yang diharapkan muncul dari KMNU yang tersebar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. 

“Perlu adanya kesadaran tentang ketimpangan ini dan menjadi fokus dalam upaya bela negara,” jelas Shohibuddin.

Baca juga: KMNU-IPB Undang Menaker Pembicara Kunci Seminar Nasional

Pancasila dan Islam Nusantara merupakan landasan dalam upaya bela negara.  Pancasila dan Islam Nusantara yang digaungkan NU haruslah bukan hanya sebagai jargon. Namun, dua hal itu harus diobjektifikasi pula. Hal itu diwujudkan dengan cara nilai-nilai dalam Pancasila dan Islam Nusantara harus menjadi kenyataan objektif, nilai-nilainya hadir dalam realitas dan dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. KMNU IPB diharapkan dapat semakin membuka ruang diskusi intelektual ataupun menghasilkan sintesis-sintesis, tidak hanya pada ranah ideologi tetapi juga permasalahan-permasalahan masyarakat dengan cara khas NU.(KR-MFS).

Pewarta: M Fikri Setiawan

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020