Kita perlu tahu sedikit akar Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebelum jauh membahas banyak hal tentang Papua. Papua adalah salah satu wilayah di Indonesia yang telah dipisahkan dari Hindia oleh pemerintah Belanda setelah tahun kemerdekaan, 1945, untuk diri mereka sendiri. Waktu itu 1950, Belanda membentuk rencana pembangunan di bawah tanggung jawab UNTEA (United Nation Temporary Administration – Pemerintahan Sementara PBB) untuk proses transisi.

Berbagai langkah dilakukan, Belanda menunjuk seorang masyarakat lokal menjadi legislatif dari Nieuw Guinea Raad. Terjadilah pengibaran bendera bintang kejora dikibarkan bersama dengan bendera Belanda dan launching lagu kebangsaan Papua “Hai Tanahku Papua”. Menurut saya, sejarah ini cukup menjadi salah satu bukti akar gerakan separatis, OPM. Meskipun dalam sisi lain masih banyak yang menjadi penyebabnya.

Harus diakui, OPM adalah salah satu organisasi yang cukup berpotensi memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berkali-kali tanah Papua diguncang konflik yang menjadi pusat perhatian banyak orang. Terakhir, 30 Desember 2019 mereka melakukan serangan terhadap anggota TNI secara keji ketika bertugas mengambil logistik dalam menjaga masyarakat. Selain menyerang anggota TNI, OPM semakin liar melakukan serangan terhadap orang-orang yang dianggap musuh dan bahkan orang yang tidak bersalahpun menjadi korban kekejian mereka.

OPM memenuhi syarat disebut pemberontak. Istilah yang dipergunakan dalam fora internasional tentang pemberontak sangat beragam antara lain ‘kesatuan non negara’ (non state entites), ‘kelompok subversif’ (subversive groups), ‘gerombolan penduduk sipil bersenjata’ (armed civilian groups), ‘kelompok perlawanan bersenjata’ (armed opossision groups), ‘pasukan gerilya’ (guerillas), ‘pemberontak’ (rebels: gradasinya lebih rendah/ insurection: gradasinya lebih tinggi).

Walaupun menyandang predikat yang sangat beragam, namun terdapat kesamaan-kesamaan yang pada hakikatnya merupakan ciri khas dari gerakan pemberontakan. Kesamaan tersebut adalah motivasi, pada umumnya motivasi gerakan pemberontakan adalah mengangkat senjata melawan pemerintahan yang berdaulat atau berkeinginan untuk menggulingkan dan menggantikan pemerintahan yang resmi (Pemanasari, 799).

Menurut data kepolisian daerah Papua tahun 2019 terdapat 23 kasus criminal penembakan yang berakibat pada tewasnya 20 orang meninggal dunia. Jumlah itu berasal dari anggota TNI, Polri dan juga masyarakat sipil. Lokasi kejadiannya berada di wilayah Puncak Jaya Wijaya, Paniai dan Mimika. Tahun sebelumnya yakni 2018 tepatnya di Kabupaten Nduga, juga telah terjadi penyerangan terhadap 17 orang yang berakibat tewasnya mereka.

Selama ini mungkin pihak keamanan hanya menyebut OPM sebagai salah satu kelompok criminal bersenjata. Namun jika dilihat kembali dari sejarah sampai sekarang ini. Gerakan yang dilakukan OPM tidak hanya bergerak dalam usaha melakukan kerusuhan di internal NKRI dengan berbagai terror yang ada.

Namun mereka juga melakukan gerakan politik, di mana dalam hal ini ingin memisahkan diri dari NKRI. Gerakan yang dilakukan pun dengan kekerasan, mulai dari penculikan, penyanderaan hingga pembunuhan secara keji. Kelompok ini tidak jarang juga melakukan teror dan menciptakan ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Olehnya itu, predikat yang cocok dalam hemat saya, mereka sudah termasuk dalam kategori teroris.

Prof. Hikmahanto Juwana, pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) menyatakan kesetujuaannya untuk mendorong Indonesia memasukan OPM sebagai organisasi teroris di PBB dengan berbagai alasan di atas. Usulan tersebut harus didukung dan dikawal betul apalagi saat ini posisi Indonesia sebagai salah satu anggota Dewan Keamanan PBB yang sangat terbuka lebar dan memiliki tugas untuk menjaga kondusifitas keamanan dunia.
Konsekuensi logisnya, ketika sudah ditetapkan sebagai organisasi teroris OPM tidak akan bisa mendapat intervensi dari Negara-negara anggota PBB untuk mendapatkan sumbangan dana dalam fasililitasi gerakan mereka. Meskipun ini juga berpotensi menambah konflik dalam hubungan antar Negara.
Para kelompok yang menentang pemerintahan sah, bisa disebut insurgensi dan pada tahap tertentu bisa masuk dalam kategori belligerensi (pemberontak).

Dalam konteks hukum internasional kelompok belligerensi masuk dalam kategori subjek hukum, artinya mereka memiliki hak dan kewajiban dalam hukum Internasional. Pengakuan ini dimunculkan karena kelompok semacam ini terkadang secara politis tidak diuntungkan mengingat keberadaan mereka dalam menentang sebuah rezim yang sedang berkuasa.

Tindakan untuk menentang sebuah pemerintahan yang sah dengan tujuan mendirikan kekuatan sendiri atau bangsa terdapat dua tahapan dalam hukum internasional, tahap pertama adalah tahap pemberontakan atau disebut insurgensi dan kedua adalah tahap lanjutan atau disebut belligerensi. Tahapan yang kedua ini menunjukan kematangan organisasi serta gerakan yang semakin masif dan konsisten sehingga mirip dengan sebuah sistem pemerintahan. OPM sudah memasuki tahap kedua karena memiliki ULMWP, AMP, WPNA, KNPB termasuk didukung “sayap-sayap” non state actor seperti yang dilakukan Veronica Koman cs.

Pada wilayah dimana terjadi pemberontakan, pemerintah masih memiliki semua hak dan kewajiban sebagai penguasa yang sah. Dalam hubungan ini maka sesuai dengan resolusi majelis umum PBB Nomor 2131 (XX) yang dikeluarkan tahun 1965, maka setiap upaya negara asing membantu kaum pemberontak merupakan tindakan intervensi, dan karenanya merupakan pelanggaran hukum internasional (Samekto, 2003).

Dalam UU No 5 Tahun 2018 perubahan atas UU No 15 Tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU No 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, disebutkan pada intinya bahwa terorisme merupakan suatu perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga menimbulkan suasana terror atau rasa takut secara luas, menimbulkan korban secara massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.

Mengacu UU di atas, telah jelas bahwa kerusakan sepanjang tahun yang dilakukan oleh OPM sudah sangat luar biasa keji. Mereka lebih pantas disebut sebagai teroris dari pada hanya sekedar Kelompok Kriminal Sipil Bersenjata (KKSB) yang masih banyak keliaran aktor-aktornya secara bebas.
Pihak yang berhak menentukan status pemberontak adalah negara tempat pemberontakan itu sendiri atau oleh negara lain namun dengan ketentuan netralitas negara ketiga tersebut. Jika pengakuan muncul dari negara yang bersengketa maka konsekwensinya negara yang bersangkutan harus memperlakukan para pemberontak seperti tawanan perang bukan sebagai penjahat, serta setiap pihak baik pemberontak maupun pemerintah bertanggung jawab atas apa yang dilakukan pemberontak terhadap warga asing yang berada dalam wilayah sengketa.

Gerakan separatis atau pemberontakan berdasarkan hukum humaniter adalah suatu gerakan perlawanan bersenjata (armed opposition group) yang berperang melawan negara dengan maksud menjadi negara yang merdeka, setara dan sederajat dengan negara lain. Untuk dapat dinyatakan sebagai kelompok yang didalamnya berlaku hukum kebiasaan berperang di darat, maka konvensi Den Haag ke-IV tahun 1907 dalam lampiranya menyatakan bahwa sebuah kelompok harus memenuhi empat syarat tertentu (sering disebut sebagai persyaratan klasik), yakni; (1) Memiliki pemimpin yang jelas dan bertanggung jawab terhadap anak buahnya; (2) Memiliki uniform (seragam) yang dapat diketahui dari kejauhan; (3) Membawa senjata secara terbuka; dan (4) Mematuhi hukum kebiasaan berperang (Permanasari, Arlina. 2007. Analisis Yuridis Status Hukum Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Menurut Hukum Humaniter. Jurnal Hukum Humaniter).

Sedangkan Adolf memberikan persyaratan yang sedikit berbeda terkait dengan persyaratan kelompok gerakan bersenjata ini, yakni: (1) Pemberontakan telah terorganisir dalam satu kekuasaan pemimpin yang teratur serta bertanggungjawab atas tindakan bawahannya. (2) Pemberontak memiliki tanda pengenal atau uniform yang jelas serta menunjukan identitasnya. (3) Pemberontak secara de facto telah menguasai secara efektif atas beberapa wilayah. (4) Para pemberontak mendapatkan dukungan dari rakyat diwilayah yang didudukinya (Adolf, Huala. 1991. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) Menurut Adji terdapat satu tambahan lagi yang harus dipenuhi oleh kaum belligerensi adalah keharusan mereka menaati hukum dan kebiasaan perang seperti melindungi penduduk sipil dan membedakan diri dari penduduk sipil (Samekto; 2003).

Pemerintah harus segera secara serius mengambil langkah yang dapat membendung gerakan tersebut. Memperkuat pihak keamanan mulai dari TNI, Polri dan sejajarnya juga memperkuat hukum/ UU sebagai salah satu acuan regulasi dalam bernegara dan menjadi warga negara yang baik.

Meskipun di Papua banyak yang terlibat atau mendukung gerakan separatis, namun saya juga percaya bahwa saudara-saudara kita di Papua masih lebih banyak yang cinta terhadap NKRI meskipun banyak sekali isu disintegrasi yang menyerang keutuhan NKRI. Pemerintah harus mulai memetakan secara jeli dua kategori masyarakat Papua yang demikian. Sebab jika tidak segera dilakukan, masalah akan semakin bertambah di sepanjang tahun-tahun berikutnya.
 (36/*).

*) Penulis adalah, Pemerhati Bidang Sosial Politik dan Agama, Menetap di Surabaya.

Pewarta: Oleh: Aziz *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020