Dalam rapat Paripurna ke-8 di Senayan pada hari Rabu, 22 Januari 2020, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan 50 Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Satu di antara 50 RUU yang dijadikan prioritas adalah RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). RUU ini semula merupakan usulan Komisi X DPR, namun kemudian menjadi usulan pemerintah.
Belakangan, program “Merdeka Belajar” yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) diperhatikan banyak kalangan. Kemendikbud menyebutkan di website-nya bahwa program itu berhubungan dengan (a) Ujian Berstandar Nasional (USBN), (b) Ujian Nasional (UN), (c) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan (d) Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
Empat perubahan di atas tentu digagas demi menunjang “kemerdekaan belajar”. Perubahan terhadap ujian (USBN dan UN) dilakukan demi memperbaiki mutu lulusan, sekaligus memerdekakan siswa dari berbagai aktivitas belajar yang tak perlu dilakukan. Perombakan RPP yang dibuat guru dilakukan untuk efisiensi dan memerdekakan guru dari segala administrasi pembelajaran yang tidak benar-benar diperlukan. Dan, perubahan pada PPDB Zonasi dilakukan agar penerimaan siswa di sekolah-sekolah bisa dilaksanakan lebih fleksibel.
Program “Merdeka Belajar” dengan empat fokus di atas hendak menawarkan perubahan signifikan—bahkan bisa dibilang revolusioner—dalam dunia pendidikan. Berita tentang penghapusan UN menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter pada tahun 2021, misalnya, menjadi ramai, menimbulkan pro dan kontra.
Ada yang mengatakan UN tetap perlu sebagai alat ukur kemampuan seseorang atau lulusan secara akademis. Namun, beberapa pihak berpendapat, karena UN selama ini telah menimbulkan ketakutan dan rasa waswas, dihapuskan saja. Bertahun-tahun belakangan, lembaga bimbingan belajar pun bermunculan di mana-mana, seperti hendak menggantikan peran sekolah dalam mempersiapkan siswa mengikuti UN. Kecurangan demi kecurangan di dalam UN pun terus terjadi setiap tahun walaupun sejak beberapa tahun lalu UN tak lagi berperan sebagai penentu kelulusan siswa.
Pelaksanaan UN di Indonesia diatur dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kedua kebijakan itu menyebutkan adanya evaluasi pendidikan yang diberlakukan dalam skala nasional.
Misal, dalam pasal 57 ayat (1) disebutkan: “Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.” Kata-kata “pengendalian mutu pendidikan secara nasional” dalam ayat tersebut dapat ditafsirkan dan diimplementasikan berbeda-beda.
Karena itu, dalam pembicaraan tentang RUU Sisdiknas di DPR perlu ada tinjauan payung hukum terhadap penggantian UN menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Dan bukan hanya perihal penggantian UN, tapi tiga program lainnya dalam “Merdeka Belajar” juga perlu ditinjau lebih mendalam dasar hukumnya agar ia tak menyalahi atau bertentangan dengan undang-undang.
“Ganti menteri ganti kebijakan” adalah istilah yang sudah sangat familiar di masyarakat dalam memandang pendidikan. Dengan RUU Sidiknas diharapkan hal tersebut tidak terjadi lagi. Selain itu RUU Sidiknas diharapkan dapat bersifat kontinyu dan visioner bagi dunia pendidikan di Tanah Air. (20/*).
*) Penulis adalah, Mahasiswa Doktoral bidang Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
Belakangan, program “Merdeka Belajar” yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) diperhatikan banyak kalangan. Kemendikbud menyebutkan di website-nya bahwa program itu berhubungan dengan (a) Ujian Berstandar Nasional (USBN), (b) Ujian Nasional (UN), (c) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan (d) Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
Empat perubahan di atas tentu digagas demi menunjang “kemerdekaan belajar”. Perubahan terhadap ujian (USBN dan UN) dilakukan demi memperbaiki mutu lulusan, sekaligus memerdekakan siswa dari berbagai aktivitas belajar yang tak perlu dilakukan. Perombakan RPP yang dibuat guru dilakukan untuk efisiensi dan memerdekakan guru dari segala administrasi pembelajaran yang tidak benar-benar diperlukan. Dan, perubahan pada PPDB Zonasi dilakukan agar penerimaan siswa di sekolah-sekolah bisa dilaksanakan lebih fleksibel.
Program “Merdeka Belajar” dengan empat fokus di atas hendak menawarkan perubahan signifikan—bahkan bisa dibilang revolusioner—dalam dunia pendidikan. Berita tentang penghapusan UN menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter pada tahun 2021, misalnya, menjadi ramai, menimbulkan pro dan kontra.
Ada yang mengatakan UN tetap perlu sebagai alat ukur kemampuan seseorang atau lulusan secara akademis. Namun, beberapa pihak berpendapat, karena UN selama ini telah menimbulkan ketakutan dan rasa waswas, dihapuskan saja. Bertahun-tahun belakangan, lembaga bimbingan belajar pun bermunculan di mana-mana, seperti hendak menggantikan peran sekolah dalam mempersiapkan siswa mengikuti UN. Kecurangan demi kecurangan di dalam UN pun terus terjadi setiap tahun walaupun sejak beberapa tahun lalu UN tak lagi berperan sebagai penentu kelulusan siswa.
Pelaksanaan UN di Indonesia diatur dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kedua kebijakan itu menyebutkan adanya evaluasi pendidikan yang diberlakukan dalam skala nasional.
Misal, dalam pasal 57 ayat (1) disebutkan: “Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.” Kata-kata “pengendalian mutu pendidikan secara nasional” dalam ayat tersebut dapat ditafsirkan dan diimplementasikan berbeda-beda.
Karena itu, dalam pembicaraan tentang RUU Sisdiknas di DPR perlu ada tinjauan payung hukum terhadap penggantian UN menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Dan bukan hanya perihal penggantian UN, tapi tiga program lainnya dalam “Merdeka Belajar” juga perlu ditinjau lebih mendalam dasar hukumnya agar ia tak menyalahi atau bertentangan dengan undang-undang.
“Ganti menteri ganti kebijakan” adalah istilah yang sudah sangat familiar di masyarakat dalam memandang pendidikan. Dengan RUU Sidiknas diharapkan hal tersebut tidak terjadi lagi. Selain itu RUU Sidiknas diharapkan dapat bersifat kontinyu dan visioner bagi dunia pendidikan di Tanah Air. (20/*).
*) Penulis adalah, Mahasiswa Doktoral bidang Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020