Indonesia, dikenal dengan keunggulan sumber daya alamnya di mata dunia. Berbagai kebutuhan bisa diakses dengan mudah, karena didukung dengan berbagai infrastruktur yang memadai. Baik dari pelosok daerah hingga perkotaan. Namun, kekayaan sumber daya alam tersebut seakan sia-sia jika tidak didukung dengan sistem kepemerintahan yang bagus pula.

Contohnya saja dalam hal investasi. Dari data ceoworld.biz, Indonesia sebagai salah satu negara di Asia Tenggara, jurtru menduduki peringkat keempat di dunia dalam hal investasi dan bisnis di tahun 2019. Sedangkan, peringkat pertama negara terbaik dalam berinvestasi adalah Malaysia, disusul Polandia dan Filipina. Lantas, apa yang membuat para investor lebih melirik negara tetangga dibandingkan Indonesia?

Rupanya, para penanam modal hanya membutuhkan dua hal agar inevestasinya bisa berjalan lancar dan sempurna. Pertama adalah terkait dengan proses perijinan. Jika seandainya proses perijinan bisa lebih cepat dan tak terkesan bertele-tele, maka para penanam modal akan berjamaah berinvestasi di Indonesia. Hal ini pun diakui oleh Presiden RI Joko Widodo bahwa, telah banyak para penanam modal yang sudah mengantre untuk berinvestasi, namun harus balik kanan karena terbentur dengan regulasi.

Sistem regulasi yang dimaksudkan adalah proses perijinan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat yang belum terintegrasi. Misalnya saja soal online single submission (OSS) dibawa Badan Koordinasi Penanam Modal (BKPM) pusat dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) milik pemerintah daerah masih terhambat dengan sinkronisasi ijin wilayah.

Mungkin, daerah-daerah lain di Indonesia bisa mencontoh sedikit dari Kota Mojokerto dalam hal regulasi perijinan untuk penanam modal yang ramah. Kota terkecil di Indonesia tersebut, mampu meraup pendapatan sedikitnya Rp 1 triliun dalam kurun waktu satu tahun, karena banyaknya para investor yang beramai-ramai berinvestasi.

Sistem yang mudah, ramah dan cepat dimanfaatkan oleh pemerintah kota yang hanya memiliki tiga kecamatan tersebut, untuk menarik pehatian para investor. Salah satunya dengan memudahkan proses ijin mendirikan bangunan (IMB) yang bisa diakses secara online. Kemudahan terkait perijinan yang anti ribet, menjadi solusi pasti yang dibutuhkan para pemilik usaha untuk berinvestasi selama ini.

Selain terbentur dengan sistem regulasi, hal kedua yang menjadi sorotan bagi para investor adalah terkait keamanan dan stabilitas. Tingkat keamanan dan stabilitas yang rendah, membuat para penanam modal memilih berinvestasi ke negara tetangga yang notabennya memiliki kekuatan keamanan yang bagus.

Contoh kecilnya, terkait produktivitas tenaga kerja yang dimiliki suatu perusahaan. Tidak adanya demontrasi yang menuntut kenaikan upah, membuat para investor dari negara lain lebih mempercayakan modalnya kepada Vietnam, Malaysia hingga Filipina. Ini artinya, tenaga kerja yang produktif, sangat berpengaruh bagi perkembangan perusahaan.

Hal ini pun, berbanding terbalik dengan Indonesia. Lihat saja, setiap 1 Mei yang diperingati sebagai Hari Buruh, seakan menjadi momentum untuk menyuarakan isi hati mereka kepada pemerintah agar memenuhi semua permintaan. Tuntutan kenaikan upah, tuntutan tunjangan dan tututan lainnya, seakan tak pernah berhenti.

Kenaikan upah namun tidak diimbangi dengan produktivitas, membuat para investor berpikir ulang untuk berinvestasi di Indonesia. Padahal, produktivitas merupakan kunci utama bagi para penanam modal untuk berinvestasi, meskipun pemerintah pusat telah memberikan dukungan berupa infrastruktur yang memadai.

Untuk itu, jika Indonesia tak mau dikatakan sebagai negara yang tertinggal dalam hal merebutkan hati para investor, maka mau tidak mau pemerintah pusat harus membuat perubahan yang signifikan. Tentunya, perubahan tersebut harus didukung dengan pemerintah daerah. Dengan begitu, sinergitas antara pusat dengan daerah pun, akan terbentuk dengan baik. (9/*).

*) Penulis: Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gunadarma.

Pewarta: Oleh: Almira Fadhillah *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020