Permasalahan Papua menimbulkan problematika tersendiri dalam konteks pemahaman kebangsaan bagi kedaulatan Republik Indonesia. Sejarah mencatat bahwa awal mula permasalahan yang terjadi di Papua dikarenakan ada perbedaan antara pihak Indonesia dengan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada akhir tahun 1949.
Dalam perundingan tersebut, pihak Indonesia dan Belanda tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai wilayah kedaulatan Indonesia. Oleh karena itu, guna menghadapi politik dekolonisasi dari Pemerintah Belanda, maka Presiden Soekarno mencetuskan Tri Komando Rakyat (Trikora), sehingga Pemerintah Belanda menandatangani Perjanjian Newyork pada 15 Agustus 1962, yang berisikan pengalihan adminstrasi di Irian Barat kepada United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 10 Oktober 1962, dan pada akhirnya pada 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.
Terhadap hal tersebut, Indonesia berkewajiban melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), yang pada akhirnya dengan hasil yang diterima oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi No. 2504 (XXIV) pada 19 November 1969. Dengan demikian, dalam persepektif hukum internasional, sejak saat itu Irian Jaya resmi menjadi wilayah Indonesia.
Namun, Taufik Tuhana dalam bukunya berjudul “Mengapa Papua Bergejolak” menyatakan bahwa, kader-kader nasionalis Papua yang dahulu membutuhkan Pemerintah Belanda berusaha membujuk organisasi atau perkumpulan putra-putri Irian Barat untuk menghimpun kekuatan dalam bentuk gerakan bawah tanah, bertujuan untuk memperjuangkan Papua atau Irian Jaya terlepas dari Pemerintahan Belanda dan Pemerintahan Indonesia. Hal tersebut tercermin dalam pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dimulai pada 26 Juli 1965, dipimpin oleh Sersan Mayor Permanes Ferry Awom (Mantan Anggota Batalyon Sukarelawan Papua/Papua Vrijwillegers Korps/PVK) ciptaan Belanda.
Sejak awal berdiri, OPM sering melakukan tindakan militan yang dilakukan sebagai bagian dari upaya pemberontakan yang bertujuan ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, hingga pada akhirnya menimbulkan banyak korban jiwa baik dari penduduk sipil maupun militer. Bahkan OPM berusaha mempropaganda masyarakat internasional agar mendukung gerakan free West Papua dengan berbagai cara, seperti salah satu perwakilan OPM yakni Benny Wenda yang selalu menyuarakan isu pelanggaran HAM di tanah Papua.
Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan pemberian nama dari Pemerintah Indonesia, karena OPM merupakan gerakan separatis bersenjata yang mengancam kedaulatan NKRI. Dalam perspektif hukum, gerakan OPM dapat diasosiasikan sebagai suatu perbuatan makar dari suatu kelompok yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah (fighting against the legitimate government).
Apabila pemberontak tidak segera dipadamkan dan mereka menduduki dan mengusai wilayah yang cukup luas dan mempunyai pemerintahan sendiri, maka dalam literatur hukum internasional pemberontak tersebut bisa diakui sebagai Belligerent. Menurut Jawahir Thontowi (2006 : 125), Belligerent adalah kelompok atau kaum pemberontak yang sudah mencapai tingkatan yang lebih kuat dan mapan, baik secara politik, organisasi dan militer, sehingga tampak sebagai satu kesatuan politik yang mandiri. Kemandirian kelompok semacam ini tidak hanya ke dalam tetapi juga keluar. Maksudnya adalah bahwa dalam batas-batas tertentu dia sudah mampu menampakkan diri pada tingkat internasional atas keberadaannya sendiri.
Adolf Huala (1991 : 125) memberikan persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu kaum pemberontak dapat disebut sebagai kaum Belligerent diantaranya, 1) Terorganisir dalam satu kekuasaan kepemimpinan, 2) Memiliki tanda pengenal dan seragam yang jelas menunjukkan identitasnya, 3) Secara defacto menguasai secara efektif atas beberapa wilayah, 4) Mendapat dukungan dari rakyat di wilayah yang didudukinya. Melihat kriteria tersebut, semakin menguatkan bahwa OPM sebagai gerakan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah dan berdaulat, Hal semacam ini tentunya mengancam kedaulatan Indonesia.
Namun, pemberontakan OPM dalam perspektif hukum internasional belum dapat dikategorikan sebagai Belligerent, berdasarkan syarat-syarat pemberontak yang tertuang pada Pasal 1 HR Konvensi Den Haag IV 1907, diantaranya, 1) Dipimpin oleh seorang komandan, 2) Mempunyai suatu lambang pembeda khusus yang dapat dikenali. 3) Membawa senjata secara terbuka. 4) Melakukan operasinya sesuai dengan ketentuan perang.
Untuk itu, guna meredam gerakan pemberontakan OPM tumbuh kembang termasuk dalam hubungan internasional, diperlukan suatu pengakuan hukum yang memperjelas kriteria-kriteria kaum pemberontak OPM di tingkat nasional maupun internasional, agar mendapat pengakuan sebagai subjek hukum internasional. Namun di sisi lain, sebagai jalan damai diperlukan suatu Memorandum of Understanding (MoU) seperti layaknya Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sehingga memberikan kesepahaman dan kesepakatan terhadap OPM untuk secara bersama-sama mempercayakan kepada Pemerintah Indonesia dalam mensejahterakan Tanah Papua dalam mencapai perdamaian positif di Papua. (65/*).
------oo00oo------
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019
Dalam perundingan tersebut, pihak Indonesia dan Belanda tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai wilayah kedaulatan Indonesia. Oleh karena itu, guna menghadapi politik dekolonisasi dari Pemerintah Belanda, maka Presiden Soekarno mencetuskan Tri Komando Rakyat (Trikora), sehingga Pemerintah Belanda menandatangani Perjanjian Newyork pada 15 Agustus 1962, yang berisikan pengalihan adminstrasi di Irian Barat kepada United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 10 Oktober 1962, dan pada akhirnya pada 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.
Terhadap hal tersebut, Indonesia berkewajiban melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), yang pada akhirnya dengan hasil yang diterima oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi No. 2504 (XXIV) pada 19 November 1969. Dengan demikian, dalam persepektif hukum internasional, sejak saat itu Irian Jaya resmi menjadi wilayah Indonesia.
Namun, Taufik Tuhana dalam bukunya berjudul “Mengapa Papua Bergejolak” menyatakan bahwa, kader-kader nasionalis Papua yang dahulu membutuhkan Pemerintah Belanda berusaha membujuk organisasi atau perkumpulan putra-putri Irian Barat untuk menghimpun kekuatan dalam bentuk gerakan bawah tanah, bertujuan untuk memperjuangkan Papua atau Irian Jaya terlepas dari Pemerintahan Belanda dan Pemerintahan Indonesia. Hal tersebut tercermin dalam pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dimulai pada 26 Juli 1965, dipimpin oleh Sersan Mayor Permanes Ferry Awom (Mantan Anggota Batalyon Sukarelawan Papua/Papua Vrijwillegers Korps/PVK) ciptaan Belanda.
Sejak awal berdiri, OPM sering melakukan tindakan militan yang dilakukan sebagai bagian dari upaya pemberontakan yang bertujuan ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, hingga pada akhirnya menimbulkan banyak korban jiwa baik dari penduduk sipil maupun militer. Bahkan OPM berusaha mempropaganda masyarakat internasional agar mendukung gerakan free West Papua dengan berbagai cara, seperti salah satu perwakilan OPM yakni Benny Wenda yang selalu menyuarakan isu pelanggaran HAM di tanah Papua.
Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan pemberian nama dari Pemerintah Indonesia, karena OPM merupakan gerakan separatis bersenjata yang mengancam kedaulatan NKRI. Dalam perspektif hukum, gerakan OPM dapat diasosiasikan sebagai suatu perbuatan makar dari suatu kelompok yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah (fighting against the legitimate government).
Apabila pemberontak tidak segera dipadamkan dan mereka menduduki dan mengusai wilayah yang cukup luas dan mempunyai pemerintahan sendiri, maka dalam literatur hukum internasional pemberontak tersebut bisa diakui sebagai Belligerent. Menurut Jawahir Thontowi (2006 : 125), Belligerent adalah kelompok atau kaum pemberontak yang sudah mencapai tingkatan yang lebih kuat dan mapan, baik secara politik, organisasi dan militer, sehingga tampak sebagai satu kesatuan politik yang mandiri. Kemandirian kelompok semacam ini tidak hanya ke dalam tetapi juga keluar. Maksudnya adalah bahwa dalam batas-batas tertentu dia sudah mampu menampakkan diri pada tingkat internasional atas keberadaannya sendiri.
Adolf Huala (1991 : 125) memberikan persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu kaum pemberontak dapat disebut sebagai kaum Belligerent diantaranya, 1) Terorganisir dalam satu kekuasaan kepemimpinan, 2) Memiliki tanda pengenal dan seragam yang jelas menunjukkan identitasnya, 3) Secara defacto menguasai secara efektif atas beberapa wilayah, 4) Mendapat dukungan dari rakyat di wilayah yang didudukinya. Melihat kriteria tersebut, semakin menguatkan bahwa OPM sebagai gerakan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah dan berdaulat, Hal semacam ini tentunya mengancam kedaulatan Indonesia.
Namun, pemberontakan OPM dalam perspektif hukum internasional belum dapat dikategorikan sebagai Belligerent, berdasarkan syarat-syarat pemberontak yang tertuang pada Pasal 1 HR Konvensi Den Haag IV 1907, diantaranya, 1) Dipimpin oleh seorang komandan, 2) Mempunyai suatu lambang pembeda khusus yang dapat dikenali. 3) Membawa senjata secara terbuka. 4) Melakukan operasinya sesuai dengan ketentuan perang.
Untuk itu, guna meredam gerakan pemberontakan OPM tumbuh kembang termasuk dalam hubungan internasional, diperlukan suatu pengakuan hukum yang memperjelas kriteria-kriteria kaum pemberontak OPM di tingkat nasional maupun internasional, agar mendapat pengakuan sebagai subjek hukum internasional. Namun di sisi lain, sebagai jalan damai diperlukan suatu Memorandum of Understanding (MoU) seperti layaknya Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sehingga memberikan kesepahaman dan kesepakatan terhadap OPM untuk secara bersama-sama mempercayakan kepada Pemerintah Indonesia dalam mensejahterakan Tanah Papua dalam mencapai perdamaian positif di Papua. (65/*).
------oo00oo------
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019