Tanggal 20 Desember 2019, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilantik bersama pimpinan KPK yang baru. Namun, publik telah berani menilai kompetensi calon dewan pengawas dan kinerjanya yang hanya akan memperkeruh dinamika perkorupsian di Indonesia. Padahal, dewan pengawas sampai saat ini belum sama sekali bekerja untuk menunjukkan kinerjanya. Oleh sebab itu, bukankah sebaiknya publik memberi kesempatan terlebih dahulu, lalu menilai, dan kemudian mengevaluasi kinerja dewan pengawas, sebagaimana sebuah perusahaan menilai kompetensi dan kinerja para karyawan/pegawainya?.
Publik sebaiknya lebih sabar seperti Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Saut Situmorang, yang enggan menilai kompetensi calon dewan pengawas KPK, meski dirinya mengakui menolak keberadaan dewan pengawas KPK. Saut lebih memilih mendoakan dan menunggu perubahan yang mungkin muncul setelah ada dewan pengawas KPK. Karena, dewan pengawas bukanlah dibentuk dalam kelembagaan eksternal yang dapat mempengaruhi KPK, tetapi merupakan lembaga yang merupakan bagian integral dari tubuh KPK. Dengan demikian, dewan pengawas akan memaksimalkan dalam menindak pemberantasan korupsi. Kehadiran dewan pengawas pun bisa disebut sebagai subsistem pembuatan good governance.
Dalam berbagai pemberitaan, sejumlah nama yang santer akan menduduki posisi itu di antaranya mantan anggota panitia seleksi pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Adi Toegarisman, Guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Marcus Priyo Gunarto, mantan Ketua KPK Taufiqurrachman Ruki, dan mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra.
Kehadiran Dewan Pengawas di bawah Presiden diatur dalam Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, Pasal 37G, Pasal 69A, Pasal 69B, Pasal 69C, dan Pasal 69D UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Yang pasti, Presiden tidak akan main main menunjuk Dewan Pengawas KPK, karena keprofesionalan mereka bekerja akan membuat harum citra Jokowi dalam memberantas korupsi, atau sebaliknya jika Dewan Pengawas KPK tidak becus bekerja dengan indikasi korupsi semakin menggila, maka kemarahan akan memuncak dan menjatuhkan pemerintahan atau tuntutan mundur Presiden atau Perdana Menteri karena maraknya korupsi seperti terjadi di Albania, Yaman, dan Iraq, yang tentunya tidak diinginkan oleh Jokowi. (52/*).
*) Penulis adalah pemerhati KPK.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019
Publik sebaiknya lebih sabar seperti Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Saut Situmorang, yang enggan menilai kompetensi calon dewan pengawas KPK, meski dirinya mengakui menolak keberadaan dewan pengawas KPK. Saut lebih memilih mendoakan dan menunggu perubahan yang mungkin muncul setelah ada dewan pengawas KPK. Karena, dewan pengawas bukanlah dibentuk dalam kelembagaan eksternal yang dapat mempengaruhi KPK, tetapi merupakan lembaga yang merupakan bagian integral dari tubuh KPK. Dengan demikian, dewan pengawas akan memaksimalkan dalam menindak pemberantasan korupsi. Kehadiran dewan pengawas pun bisa disebut sebagai subsistem pembuatan good governance.
Dalam berbagai pemberitaan, sejumlah nama yang santer akan menduduki posisi itu di antaranya mantan anggota panitia seleksi pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Adi Toegarisman, Guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Marcus Priyo Gunarto, mantan Ketua KPK Taufiqurrachman Ruki, dan mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra.
Kehadiran Dewan Pengawas di bawah Presiden diatur dalam Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, Pasal 37G, Pasal 69A, Pasal 69B, Pasal 69C, dan Pasal 69D UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Yang pasti, Presiden tidak akan main main menunjuk Dewan Pengawas KPK, karena keprofesionalan mereka bekerja akan membuat harum citra Jokowi dalam memberantas korupsi, atau sebaliknya jika Dewan Pengawas KPK tidak becus bekerja dengan indikasi korupsi semakin menggila, maka kemarahan akan memuncak dan menjatuhkan pemerintahan atau tuntutan mundur Presiden atau Perdana Menteri karena maraknya korupsi seperti terjadi di Albania, Yaman, dan Iraq, yang tentunya tidak diinginkan oleh Jokowi. (52/*).
*) Penulis adalah pemerhati KPK.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019