Front Pembela Islam/FPI dalam pernyataan sikapnya tertanggal 15 Desember 2019 yang ditandatangani Ahmad Shabri Lubis dan Munarman mengkritik habis kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang dinilai pro kemaksiatan.
Inti dari pernyataan sikap FPI yang berisi nasehat, masukan dan mengingatkan Gubernur DKI Jakarta yaitu: pertama, umat Islam yang memilih Anies Baswedan di Pilkada 2017 karena ingin adanya perubahan mendasar orientasi pembangunan yang dari mengejar PAD yang tinggi menuju pembangunan yang mengedepankan aspek religius yang nyaman bagi semua agama.
Kedua, umat Islam di Jakarta masih percaya kepada Gubernur DKI Jakarta untuk mewujudkan kehidupan Jakarta berdasarkan sejarah berdirinya dimana Jakarta adalah kota yang penuh nilai religius.
Ketiga, protes keras terhadap kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang sangat memberi peluang, memfasilitasi berbagai kemaksiatan. Pemprov DKI Jakarta kurang mampu merubah secara fundamental kebijakan dari "maksiat friendly" menjadi pembangunan manusia yang beriman dan bertaqwa. Anies Baswedan perlu mereview kebijakannya dengan berkonsultasi dengan ulama dengan mengedepankan kebijakan pariwisata dan perekonomian yang halal.
Keempat, menuntut Gubernur untuk mencabut ijin tempat hiburan yang menjadi ajang kemungkaran dan kemaksiatan serta berhenti memberi penghargaan terhadap tempat tempat hiburan yang tidak bermanfaat untuk mencapai indeks manusia yang beriman dan bertaqwa.
Bagi kelompok pendukung FPI, pernyataan sikap FPI sangat benar, karena pertama, Anies Baswedan dinilai lalai menunaikan amanah dan janjinya dalam Pilkada 2017. Kedua, pendukung FPI mulai meragukan Gubernur DKI Jakarta terkait "halal" dan "haram" dalam mencari PAD buat Jakarta. Ketiga, bisa jadi merupakan refleksi kekecewaan kelompok selain FPI seperti PA 212, GPI, GNPF Ulama, dan lain-lain terhadap Anies, sehingga koneksi politik diantara mereka menjadi terganggu. Dampaknya langkah Anies Baswedan menuju 2024 agak sulit mendapat dukungan dari umat Islam, walaupun Anies Baswedan ikut menghadiri reuni 212 tahun ini.
Meskipun demikian, kelompok yang anti FPI menilai FPI mencari momentum ditengah kemelut maju mundurnya ijin SKT FPI dengan membuat pernyataan yang dapat dinilai FPI sudah "friendly" dengan umat yang lain, karena sejatinya maksiat dan mendukung maksiat tidak dikenal dalam ajaran agama manapun juga.
Selain itu, diksi yang dipakai FPI yaitu indeks pembangunan manusia yang beriman dan bertaqwa patut dipertanyakan kapan FPI membuat indeks tersebut dan kapan melaunchingnya. Jika hanya diksi dan tidak ada bukti indeks yang pernah dibuat FPI, maka dapat dinilai sebagai kebohongan publik dan menimbulkan pertanyaan sebenarnya ada apa antara FPI dengan Anies Baswedan?. (49/*).
*) Penulis adalah pemerhati masalah strategis.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019
Inti dari pernyataan sikap FPI yang berisi nasehat, masukan dan mengingatkan Gubernur DKI Jakarta yaitu: pertama, umat Islam yang memilih Anies Baswedan di Pilkada 2017 karena ingin adanya perubahan mendasar orientasi pembangunan yang dari mengejar PAD yang tinggi menuju pembangunan yang mengedepankan aspek religius yang nyaman bagi semua agama.
Kedua, umat Islam di Jakarta masih percaya kepada Gubernur DKI Jakarta untuk mewujudkan kehidupan Jakarta berdasarkan sejarah berdirinya dimana Jakarta adalah kota yang penuh nilai religius.
Ketiga, protes keras terhadap kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang sangat memberi peluang, memfasilitasi berbagai kemaksiatan. Pemprov DKI Jakarta kurang mampu merubah secara fundamental kebijakan dari "maksiat friendly" menjadi pembangunan manusia yang beriman dan bertaqwa. Anies Baswedan perlu mereview kebijakannya dengan berkonsultasi dengan ulama dengan mengedepankan kebijakan pariwisata dan perekonomian yang halal.
Keempat, menuntut Gubernur untuk mencabut ijin tempat hiburan yang menjadi ajang kemungkaran dan kemaksiatan serta berhenti memberi penghargaan terhadap tempat tempat hiburan yang tidak bermanfaat untuk mencapai indeks manusia yang beriman dan bertaqwa.
Bagi kelompok pendukung FPI, pernyataan sikap FPI sangat benar, karena pertama, Anies Baswedan dinilai lalai menunaikan amanah dan janjinya dalam Pilkada 2017. Kedua, pendukung FPI mulai meragukan Gubernur DKI Jakarta terkait "halal" dan "haram" dalam mencari PAD buat Jakarta. Ketiga, bisa jadi merupakan refleksi kekecewaan kelompok selain FPI seperti PA 212, GPI, GNPF Ulama, dan lain-lain terhadap Anies, sehingga koneksi politik diantara mereka menjadi terganggu. Dampaknya langkah Anies Baswedan menuju 2024 agak sulit mendapat dukungan dari umat Islam, walaupun Anies Baswedan ikut menghadiri reuni 212 tahun ini.
Meskipun demikian, kelompok yang anti FPI menilai FPI mencari momentum ditengah kemelut maju mundurnya ijin SKT FPI dengan membuat pernyataan yang dapat dinilai FPI sudah "friendly" dengan umat yang lain, karena sejatinya maksiat dan mendukung maksiat tidak dikenal dalam ajaran agama manapun juga.
Selain itu, diksi yang dipakai FPI yaitu indeks pembangunan manusia yang beriman dan bertaqwa patut dipertanyakan kapan FPI membuat indeks tersebut dan kapan melaunchingnya. Jika hanya diksi dan tidak ada bukti indeks yang pernah dibuat FPI, maka dapat dinilai sebagai kebohongan publik dan menimbulkan pertanyaan sebenarnya ada apa antara FPI dengan Anies Baswedan?. (49/*).
*) Penulis adalah pemerhati masalah strategis.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019