Jakarta (Antaranews Bogor) - Kunjungan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo ke Blitar, Jawa Timur, yang terkesan dilakukan diam-diam dikritik tokoh muda Jakarta Muhammad Idrus.

"Kunjungan itu dilakukan di hari kerja. Tak ada tanda-tanda gubernur ambil cuti sehari. Media melaporkan gubernur ziarah ke makam Bung Karno. Kalau mau ziarah ya... minta cuti dulu dong. Sebagian wilayah Jakarta banjir saat Jokowi pergi tanpa pamit," kata Idrus, di Jakarta, Jumat.

Menurut Idrus, yang juga Ketua Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) menyayangkan sikap Jokowi yang kali ini tidak terbuka, berbeda dengan tradisi "blusukan"-nya yang diliput luas media massa.

"Ternyata Gubernur DKI lebih taat kepada pimpinan partai, sehingga tak sempat pamit atau mendelegasikan wewenang kepada Wakil

Gubernur. Kalau di perjalanan terjadi suatu insiden, bagaimana, Pemda DKI `lkan bisa kebingungan," katanya.

"Atau, bila di Jakarta terjadi peristiwa penting misalnya, Wagub Ahok `kan jadi repot. Gejala itu menunjukkan Gubernur DKI mulai tidak fokus mengurus rakyat. Kisruh di balik pembelian bus Trans Jakarta saja sampai sekarang belum jelas," tambahnya.

Ditegaskannya bahwa masih banyak pekerjaan rumah DKI Jakarta yang butuh perhatian khusus, seperti penataan pedagang di Tanah Abang dan pasar tradisional, relokasi warga di bantaran sungai dan pemukiman kumuh ke rumah susun, hingga penyediaan air bersih.

Ia mengatakan masih banyak pekerjaan rumah DKI Jakarta yang butuh perhatian khusus, seperti penataan pedagang di Tanah Abang dan pasar tradisional.

Selain itu, kata Muhammad Idrus, juga relokasi warga di bantaran sungai dan pemukiman kumuh ke rumah susun, hingga penyediaan air bersih.

Sementara itu, anggota Dewan Perwakilan Daerah RI Abdi Sumaithi memperkuat kritik itu.

"Pejabat eksekutif memang harus fokus melaksanakan kebijakan dan program, serta menyelesaikan persoalan yang muncul kapan saja. Bukan hanya berwacana atau pencitraan saja. Jika kemarin kita dengar ada kasus `trading of influence`, sekarang `kan kita saksikan ada pimpinan partai yang mengatur jadwal pejabat eksekutif, kebetulan kadernya sendiri," katanya.

Sumaithi berharap kasus semacam itu tidak berkelanjutan dan tidak "nyerempet" kebijakan substansial.

Ia melihat penerapan etika pejabat publik amat lemah.

"Semua bagus hanya di retorika belaka. Tapi dalam praktik, mulai dari disiplin waktu, perhatian penuh kepada urusan publik karena sudah digaji besar dan menghindari `conflict of interest` sering diabaikan," katanya.

"Banyak elite melompat dari suatu jabatan ke jabatan lain, padahal belum tuntas memenuhi janjinya, hanya mengejar kekuasaan atau kemahsyuran. Yang jadi korban adalah rakyat yang telah memilihnya," kata Sumaithi yang telah menerbitkan beberapa buku tentang etika politik.

"Mungkin sudah nasib rakyat Indonesia dipimpin elite yang tak pernah fokus," katanya.

Sedangkan Muhammad Idrus menambahkan bahwa dalam kaitan Pemilu, dirinya menggagas pelatihan relawan pemantau pemilihan umum.

Pelatihan itu diikuti 250 aktivis tua-muda, lelaki-perempuan dari Jakarta Barat, Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu.

Ia menjelaskan sebagian peserta terlambat hadir karena rumahnya terjebak banjir dan macet.

"Tapi, mereka antusias datang karena ingin melakukan perubahan. Simpul-simpul Rrlawan sudah digalang sejak sembilan bulan lalu dengan beragam aktivitas pemberdayaan," katanya.

Di antaranya, kelompok ibu-ibu dan kaum perempuan difasilitasi budi daya jamur dan cabai.

Sedangkan anak-anak muda dilibatkan dalam liga futsal atau aksi tanggap bencana.

Pewarta: Andy Jauhari

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014