Rektor Universitas Pancasila (UP) Profesor Wahono Sumaryono mengatakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sangat relevan untuk menangkal radikalisme dan isu separatisme.
"Saya mengajak civitas akademika khususnya, dan masyarakat Indonesia umumnya tidak terpancing dengan isu-isu separatisme dan tidak menumbuhkan prasangka antargolongan dan meletakkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan," kata Wahono di Kampus Universitas Pancasila, Rabu.
Ia berharap semua pihak di kampus mengaplikasikan nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu kewajiban secara moral, terus menyosialisasikan nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan kampus dan juga kehidupan bermasyarakat.
Baca juga: BNPT: Jangan biarkan radikalisme tumbuh di lingkungan kampus
"Para jurnalis juga mempunyai fungsi yang sama yakni sama-sama bagaimana kita bersinergi untuk berbagi informasi yang benar, yang sifatnya mencerdaskan masyarakat, mencerdaskan bangsa dan menuju cita-cita nasional," katanya.
Sedangkan Ketua Pusat Studi Pancasila UP Hendra Nurtjahyo berharap dari pendidikan Pancasila yang dikembangkan di UP selain mahasiswa dapat menerapkan pada kehidupan sehari-hari juga untuk mencegah benih-benih gerakan dan isu-isu radikalisme maupun separatisme agar tidak mendapat tempat di kalangan generasi muda.
"Jangan sampai isu radikalisme dan separatisme berkembang di kalangan generasi muda," ujarnya.
Sementara itu Direktur Kantor Internasional Universitas Pancasila Profesor Eddy Pratomo yang juga Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro (Undip) Semarang menegaskan hukum internasional tidak mengenal referendum bagi wilayah yang sudah merdeka.
Baca juga: Tangkal radikalisme, MUI Bogor gelar "Halaqah Kebangsaan" di 12 lokasi
"Bukan hanya hukum nasional yang melarang referendum bagi Papua, melainkan juga hukum internasional," kata pakar hukum internasional Eddy Pratomo.
Profesor Pratomo mengatakan referendum bagi penentuan nasib sendiri hanya dapat dilakukan dalam konteks kolonialisme dan ini sudah dilakukan oleh Papua Bersama seluruh wilayah NKRI lainnya bersama-sama pada tanggal 17 Agustus 1945.
Menurut Pratomo, keinginan segelintir kelompok untuk referendum bagi Papua bukan lagi penentuan nasib sendiri namun masuk kategori separatisme.
"Sayangnya hukum internasional tidak mengakui adanya hak separatisme bagi suatu bagian wilayah, karena hukum ini mengenal prinsip penghormatan terhadap integritas wilayah negara," tegasnya.
Baca juga: Sekitar 1.600 konten radikalisme ditutup
Pratomo juga menyayangkan adanya opini yang dikembangkan oleh kelompok pro kemerdekaan Papua bahwa seolah-olah Papua memiliki hak yang mirip dengan Timtim, sehingga menganjurkan agar referendum yang sama juga diberikan kepada Papua.
"Ini pandangan keliru yang tidak paham hukum internasional sehingga tidak bisa membedakan status Papua dan Timtim dalam sistem hukum ini," kata Pratomo.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019
"Saya mengajak civitas akademika khususnya, dan masyarakat Indonesia umumnya tidak terpancing dengan isu-isu separatisme dan tidak menumbuhkan prasangka antargolongan dan meletakkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan," kata Wahono di Kampus Universitas Pancasila, Rabu.
Ia berharap semua pihak di kampus mengaplikasikan nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu kewajiban secara moral, terus menyosialisasikan nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan kampus dan juga kehidupan bermasyarakat.
Baca juga: BNPT: Jangan biarkan radikalisme tumbuh di lingkungan kampus
"Para jurnalis juga mempunyai fungsi yang sama yakni sama-sama bagaimana kita bersinergi untuk berbagi informasi yang benar, yang sifatnya mencerdaskan masyarakat, mencerdaskan bangsa dan menuju cita-cita nasional," katanya.
Sedangkan Ketua Pusat Studi Pancasila UP Hendra Nurtjahyo berharap dari pendidikan Pancasila yang dikembangkan di UP selain mahasiswa dapat menerapkan pada kehidupan sehari-hari juga untuk mencegah benih-benih gerakan dan isu-isu radikalisme maupun separatisme agar tidak mendapat tempat di kalangan generasi muda.
"Jangan sampai isu radikalisme dan separatisme berkembang di kalangan generasi muda," ujarnya.
Sementara itu Direktur Kantor Internasional Universitas Pancasila Profesor Eddy Pratomo yang juga Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro (Undip) Semarang menegaskan hukum internasional tidak mengenal referendum bagi wilayah yang sudah merdeka.
Baca juga: Tangkal radikalisme, MUI Bogor gelar "Halaqah Kebangsaan" di 12 lokasi
"Bukan hanya hukum nasional yang melarang referendum bagi Papua, melainkan juga hukum internasional," kata pakar hukum internasional Eddy Pratomo.
Profesor Pratomo mengatakan referendum bagi penentuan nasib sendiri hanya dapat dilakukan dalam konteks kolonialisme dan ini sudah dilakukan oleh Papua Bersama seluruh wilayah NKRI lainnya bersama-sama pada tanggal 17 Agustus 1945.
Menurut Pratomo, keinginan segelintir kelompok untuk referendum bagi Papua bukan lagi penentuan nasib sendiri namun masuk kategori separatisme.
"Sayangnya hukum internasional tidak mengakui adanya hak separatisme bagi suatu bagian wilayah, karena hukum ini mengenal prinsip penghormatan terhadap integritas wilayah negara," tegasnya.
Baca juga: Sekitar 1.600 konten radikalisme ditutup
Pratomo juga menyayangkan adanya opini yang dikembangkan oleh kelompok pro kemerdekaan Papua bahwa seolah-olah Papua memiliki hak yang mirip dengan Timtim, sehingga menganjurkan agar referendum yang sama juga diberikan kepada Papua.
"Ini pandangan keliru yang tidak paham hukum internasional sehingga tidak bisa membedakan status Papua dan Timtim dalam sistem hukum ini," kata Pratomo.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019