Harimau Sumatra jantan yang diberi nama Inung Rio yang ditemukan terjerat dan dibawa ke Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatra Dharmasraya (PRHSD) untuk menjalani perawatan, akhirnya mati.
Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Rabu malam, Kepala BKSDA Sumatera Barat Dr. Erly Sukrismanto menjelaskan Inung Rio sempat menjalani masa karantina selama 14 hari, meliputi observasi dan perawatan intensif.
Inung Rio ditemukan salah satu pekerja di perusahaan PT Gemilang Cipta Nusantara (RAPP Group) di kawasan Restorasi Ekosistem Riau (RER), tergeletak tak berdaya karena terkena jerat di Desa Sangar, Kecamatan Teluk Meranti, Pelalawan Riau, Maret 2019.
Selanjutnya, Wildlife Rescue Unit (WRU) yang terdiri atas BBKSDA Riau dan PRHSD menuju lokasi untuk mengevakuasi Inung Rio.
Tim membutuhkan waktu sampai lokasi selama 22 jam, yang harus ditempuh melalui sungai dengan perahu kecil, kemudian dilanjutkan kendaraan darat untuk sampai PRHSD Dharmasraya, Sumatera Barat.
Pada 25 Maret hingga 11 April 2019, Inung Rio menjalani masa karantina karena luka parah di bagian kaki depan kiri dan sempat demam lebih dari 40 derajat Celcius.
Selama dikarantina, harimau berumur tiga tahun dengan berat 95 kilogram saat ditemukan itu, terlihat masih normal beraktivitas dan sifat keliarannya masih ada.
Sifat kewaspadaan Inung Rio juga masih tinggi dan langsung mengeluarkan suara peringatan ketika didekati manusia, sementara nafsu makan sangat baik ketika diberi daging babi.
Sampai 12 April 2019, kondisi Inung Rio baik dan tidak memperlihatkan sakit serius, namun Minggu (14/4), harimau itu terlihat mengalami penurunan aktivitas.
Hasil pengamatan menunjukkan kerontokan rambut, air liur berlebih (hypersalivasi), mata berair (hiperlakrimasi) dan hilangnya nafsu makan. Bahkan, terjadi peningkatan frekuensi nafas mulai pukul 16.00-24.00 WIB.
Pada Senin (15/4), pukul 02.00 WIB, terdapat lendir dalam rongga hidung dan terlihat adanya refleks batuk dengan rata-rata frekuensi nafas 48 kali per menit. Pada pukul 16.42 WIB, Inung Rio mengalami kejang-kejang dengan durasi sekitar dua menit.
Setelah itu, tim langsung melakukan prosedur tindak darurat pacu jantung (PCR). Namun, pada pukul 16.53 WIB Inung Rio dinyatakan meninggal setelah percobaan tindak darurat CPR dilakukan dan gagal.
Berdasarkan gejala klinis yang terlihat berupa hilangnya nafsu makan, hipersalivasi, hiperlakrimasi, kerontokan rambut, muntah, batuk dan kejang, maka harimau Inung Rio diduga mengalami gangguan pernafasan yang disebabkan infeksi sistemik.
Pada 16 April 2019 diakukan pemeriksaan kematian nekropsi/otopsi Inung Rio oleh tim medis KKH, BBKSDA Riau, BKSDA Sumatera Barat dan PRHSD.
Diagnosa sementara adalah gangguan sistem pernafasan (pneumonia) dengan suspect infeksi jamur dan bakteri Clostridium tetani, kegagalan sirkulasi darah, gangguan fungsi saraf ringan dan Distemper.
Hasil pemeriksaan laboratorium patologi yang baru keluar pada 25 Mei 2019 menyimpulkan perubahan pada organ utama, terutama paru-paru, berkontribusi besar terhadap kematian dan infeksi yang terjadi secara menyeluruh (sistemik), namun belum dapat ditentukan agen patogennya bakteri atau virus.
Kesimpulannya, penyebab utama kematian adalah Pneumonia oleh infeksi yang sistemik, Inung Rio mengalami ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh, infeksi fungal (jamur) berkontribusi besar terhadap kasus Pneumonia pada harimau itu, apalagi dipicu kondisi stres yang mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019
Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Rabu malam, Kepala BKSDA Sumatera Barat Dr. Erly Sukrismanto menjelaskan Inung Rio sempat menjalani masa karantina selama 14 hari, meliputi observasi dan perawatan intensif.
Inung Rio ditemukan salah satu pekerja di perusahaan PT Gemilang Cipta Nusantara (RAPP Group) di kawasan Restorasi Ekosistem Riau (RER), tergeletak tak berdaya karena terkena jerat di Desa Sangar, Kecamatan Teluk Meranti, Pelalawan Riau, Maret 2019.
Selanjutnya, Wildlife Rescue Unit (WRU) yang terdiri atas BBKSDA Riau dan PRHSD menuju lokasi untuk mengevakuasi Inung Rio.
Tim membutuhkan waktu sampai lokasi selama 22 jam, yang harus ditempuh melalui sungai dengan perahu kecil, kemudian dilanjutkan kendaraan darat untuk sampai PRHSD Dharmasraya, Sumatera Barat.
Pada 25 Maret hingga 11 April 2019, Inung Rio menjalani masa karantina karena luka parah di bagian kaki depan kiri dan sempat demam lebih dari 40 derajat Celcius.
Selama dikarantina, harimau berumur tiga tahun dengan berat 95 kilogram saat ditemukan itu, terlihat masih normal beraktivitas dan sifat keliarannya masih ada.
Sifat kewaspadaan Inung Rio juga masih tinggi dan langsung mengeluarkan suara peringatan ketika didekati manusia, sementara nafsu makan sangat baik ketika diberi daging babi.
Sampai 12 April 2019, kondisi Inung Rio baik dan tidak memperlihatkan sakit serius, namun Minggu (14/4), harimau itu terlihat mengalami penurunan aktivitas.
Hasil pengamatan menunjukkan kerontokan rambut, air liur berlebih (hypersalivasi), mata berair (hiperlakrimasi) dan hilangnya nafsu makan. Bahkan, terjadi peningkatan frekuensi nafas mulai pukul 16.00-24.00 WIB.
Pada Senin (15/4), pukul 02.00 WIB, terdapat lendir dalam rongga hidung dan terlihat adanya refleks batuk dengan rata-rata frekuensi nafas 48 kali per menit. Pada pukul 16.42 WIB, Inung Rio mengalami kejang-kejang dengan durasi sekitar dua menit.
Setelah itu, tim langsung melakukan prosedur tindak darurat pacu jantung (PCR). Namun, pada pukul 16.53 WIB Inung Rio dinyatakan meninggal setelah percobaan tindak darurat CPR dilakukan dan gagal.
Berdasarkan gejala klinis yang terlihat berupa hilangnya nafsu makan, hipersalivasi, hiperlakrimasi, kerontokan rambut, muntah, batuk dan kejang, maka harimau Inung Rio diduga mengalami gangguan pernafasan yang disebabkan infeksi sistemik.
Pada 16 April 2019 diakukan pemeriksaan kematian nekropsi/otopsi Inung Rio oleh tim medis KKH, BBKSDA Riau, BKSDA Sumatera Barat dan PRHSD.
Diagnosa sementara adalah gangguan sistem pernafasan (pneumonia) dengan suspect infeksi jamur dan bakteri Clostridium tetani, kegagalan sirkulasi darah, gangguan fungsi saraf ringan dan Distemper.
Hasil pemeriksaan laboratorium patologi yang baru keluar pada 25 Mei 2019 menyimpulkan perubahan pada organ utama, terutama paru-paru, berkontribusi besar terhadap kematian dan infeksi yang terjadi secara menyeluruh (sistemik), namun belum dapat ditentukan agen patogennya bakteri atau virus.
Kesimpulannya, penyebab utama kematian adalah Pneumonia oleh infeksi yang sistemik, Inung Rio mengalami ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh, infeksi fungal (jamur) berkontribusi besar terhadap kasus Pneumonia pada harimau itu, apalagi dipicu kondisi stres yang mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019