Jakarta, 26/10 (Antara) - Dekan Fakultas Farmasi Universitas Pancasila (FFUP) Prof Dr Wahono Sumaryono Apt mengatakan perkembangan nanoteknologi farmasi di Indonesia akhir-akhir ini semakin maju.

"Dalam lima tahun terakhir ini perkembangan nanoteknologi farmasi di Indonesia cukup maju," kata Wahono disela acara seminar internasional yang bertajuk Biopolymeric Micro/nanoparticles for Drug and Protein Delivery di Aula
Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jakarta, Sabtu.

Seminar tersebut menampilkan pembicara dari luar negeri dan dalam negeri seperti adalah Prof Garnpimol C Ritthidej (Chulalangkorn University, Thailand), Jing Zhao (National University Singapore), Dr Mike Ahern (School of Science, Institute of Technology Tallaght, Dublin Irlandia).

Sedangkan dari dalam negeri adalah Prof. Habil H. J. Freisleben (Faklutas Farmasi Universitas Indonesia), Dr Heni Rachmawati (ITB) dan Dr Deni Rahmat (Universitas Pancasila).

Wahono mengatakan nanoteknologi farmasi merupakan ilmu-ilmu farmasi yang menggabungkan teknologi farmasi, kimia farmasi, biologi farmasi, bioteknologi farmasi, dan lainya.

Dengan adanya nanoteknologi farmasi katanya tentunya memberikan peluang baru dalam sistem penghantaran obat dan strategi dalam penargetan obat sehingga lebih tepat sasaran.

"Tapi kami juga perlu mengetahui efek samping seperti apa yang ditimbulkan," ujarnya.

Selain itu katanya nanoteknologi farmasi dapat mengatasi permasalahan yang timbul dalam formulasi obat, protein, peptida dan asam nukleat yang menghasilkan bio availabilitas dan efek klinis yang rendah.

Ia mengatakan dengan adanaya konferensi tingkat internasional yang membahas tidak hanya perkembangan terakhir dalam nanoteknologi farmasi akan tetapi juga pengembangan penemuan-penemuan dan teknologi baru untuk perbaikan efek klinis obat.

"Negara-negara di eropa barat, Jepang, Singapura bahkan Thailand perkembangan nanoteknologi sudah maju. Mereka sudah lebih dari sepuluh tahun lalu mengembangkannya," katanya.

Menurut dia dengan adanya nanoteknolgi farmasi tentunya akan menguak revolusi dunia dibidang farmasi tersebut, karena nanoteknologi mampu mengurangi bahan baku obat sehingga penggunaannya lebih sedikit dibandingkan tidak menggunakan nanoteknologi.

"Biaya bahan baku obat lebih murah dan sekidit, tetapi memang dibutuhkan investasi besar dalam mengembangkan nanoteknologi," katanya.

Ia mengatakan saat ini perkembangan nanoteknologi bukan hanya di farmasi tetapi juga dibidang lainnya seperti kosmetik. "Banyak industri kosmetik yang memanfaatkan keungggulan nanteknologi tersebut," ujarnya.

Sementara itu Rektor Universitas Pancasila Edie Toet Hendratno mengatakan perlu peran negara dalam mengembangkan nanoteknologi farmasi karena biaya yang dikeluarkan untuk investasi dibidang tersebut sangat besar.

"Untuk pembuatan laboratorium nanoteknologi dibutuhkan dana sekitar Rp1 sampai Rp2 triliun," katanya.

Menurut dia Indonesia harus mengikuti perkembangan nanoteknologi farmasi karena saat ini negara-negara lain sudah mengembangkannya jauh lebih maju. "Kalau kita tidak mengembangkan maka akan jauh tertinggal dengan negara-negara lain," ujarnya.

Dikatakannya pemerintah bisa menugaskan BUMN yang berkaitan dengan hal tersebut seperti Kimia Farma ataupun Biofarma untuk mengembangkan nanoteknologi farmasi.

"BUMN bidang farmasi ini bisa menjadi ujung tombak pengembangan nanoteknologi farmasi di Indonesia," katanya.



Pewarta: Oleh Feru Lantara

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2013