Indonesia dalam waktu dekat akan semakin mengandalkan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) untuk memonitoring lahan dan produksi pertanian.

Hal itu terungkap dalam sidang Doktoral Muhammad Hikmat di Institut Pertanian Bogor, pada Rabu, 27 Maret 2019.

Menurut Hikmat, yang juga peneliti di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor, selama ini penggunaan remote sensing optik di Indonesia terkendala tutupan awan yang hampir sepanjang tahun menyelimuti wilayah nusantara.

Sebaliknya, teknologi remote sensing dengan Radar terkendala biaya yang mahal dan pengolahan data yang rumit.

"Jalan keluarnya dengan kombinasikan kedua teknologi remote sensing tersebut ditambah data lapangan," kata Hikmat.

Dengan kombinasi tersebut Indonesia akan mendapatkan informasi lahan dan produksi pertanian yang lebih akurat.

"Selama ini beberapa instansi terus berseteru karena metode berbeda," kata Dr Ir Baba Barus, ketua pembimbing yang mempromosikan Hikmat.

Sementara menurut Staf Ahli Menteri Pertanian, Prof. Dedi Nursyamsi, yang menjadi penguji luar komisi, perbedaan data di Indonesia ibarat khilafiyah yang harus diterima seraya terus diperbaiki bersama karena dampak dari perbedaan metode.

"Model-model yang ditemukan dapat digunakan sebagai basis pemikiran bahwa Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan metode remote sensing saja atau metode lapangan saja," kata Dedi.

IPB saat ini juga sedang diminta oleh pemerintah untuk memperbaiki dan menyempurnakan metode Kerangka Sample Area (KSA) penghitungan luas sawah dengan metode yang digunakan pemerintah.

Dengan demikian, terdapat model dan proses baru yang ditemukan oleh Hikmat sebagai basis untuk riset berikutnya.

Keunggulan lainnya adalah Hikmat mampu mengolah data besar menjadi data yang lebih sederhana sehingga berpeluang digunakan di tempat lain.

Pewarta: Arief Amarudin

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019