Belum pulih rasanya ingatan kita akan dahsyatnya gempa dan tsunami di Palu dan Donggala akhir September 2018, gempa Lombok Utara pada awal Agustus 2018 dan letusan Gunung Agung di Bali pada November 2017 dan Juli 2018, sebuah bencana kembali terjadi yaitu tsunami di Banten dan Lampung yang diperkirakan karena longsoran Gunung Anak Krakatau akibat erupsi. 

Tsunami yang terjadi di Banten dan Lampung melanda daerah-daerah yang kerap menjadi tujuan wisata yaitu Pantai Carita, Pantai Anyer, Tanjung Lesung dan Lampung Selatan. Bencana ini terjadi di saat liburan akhir tahun ketika banyak orang sedang berlibur di kawasan-kawasan tersebut. 

Letak sebagian besar hotel dan resort yang berada tepat di tepi pantai memperbesar jumlah korban yang berasal dari kalangan wisatawan maupun para pekerja industri pariwisata. Seperti halnya bencana di kawasan wisata Provinsi Banten, bencana di Lombok dan Bali juga sangat berdampak terhadap sektor pariwisata. 

Gempa dan tsunami di Palu bahkan terjadi saat sebagian masyarakat sedang menunggu pembukaan sebuah Festival di pantai yang sedianya akan dibuka oleh pihak Kementerian Pariwisata.

Indonesia yang mempunyai potensi pariwisata yang luar biasa, memang terletak di antara dua lempeng aktif (Indoaustralia dan Eurasia) dan dua rangkaian gunung api (Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediterania) sehingga mempunyai potensi kerawanan bencana yang tinggi. 

Perencanaan dan pengelolaan pariwisata seharusnya dilakukan dengan memperhatikan risiko bencana. 

Apalagi mengingat kenyataan bahwa banyak destinasi pariwisata di Indonesia yang terletak di wilayah rawan bencana, seperti Yogyakarta yang terletak dekat dengan Gunung Merapi salah satu gunung api teraktif di dunia, Gunung Bromo yang mempesona justru karena aktivitas vulkaniknya dan Pantai Pangandaran yang pernah mengalami tsunami. 

Data yang berasal dari lapangan, yang difasilitasi oleh Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, perlu dicermati dan menjadi masukan untuk perbaikan ke depan. 

Pertama, dari survei terhadap pelaku pariwisata di lima kabupaten (dua di Provinsi DIY yaitu Sleman dan Bantul dan tiga di Provinsi Bali yaitu Karangasem, Bangli, dan Badung), 56 persen menyatakan bahwa mereka belum pernah berpartisipasi pada sosialisasi mitigasi bencana. 

Hal ini patut menjadi pertimbangan ke depan, mengingat seluruh kabupaten yang menjadi wilayah penelitian memiliki sektor pariwisata yang kontribusinya cukup besar pada perekonomian daerah. 

Kedua, hanya 27 persen responden yang menyatakan bahwa baik papan informasi mengenai risiko bencana dan jalur evakuasi telah tersedia dan tersosialisasikan dengan baik di daerahnya, sedangkan 50 persen menyatakan bahwa hanya salah satu yang tersedia dan kebanyakan berupa arah jalur evakuasi dan titik kumpul, sementara 14 persen menyatakan keduanya belum tersedia. 

Ketiga, sebagian besar responden mengharapkan unit pemerintahan terkecil seperti Kepala Desa atau Lurah dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai sumber informasi yang dapat diandalkan ketika terjadi bencana.
 
Rangkaian diskusi kelompok terarah dengan para pemangku kepentingan yang diselenggarakan di Yogyakarta dan Bali juga menghasilkan beberapa kesimpulan yang perlu dicermati.

Pertama, bahwa sosialisasi risiko bencana pada sektor pariwisata masih dilakukan secara sporadis dan belum menjangkau seluruh pemangku kepentingan. Sosialisasi maupun latihan evakuasi telah melibatkan BPBD setempat, namun biasanya dilakukan berdasarkan permintaan dari masing-masing hotel dan belum dilakukan secara terprogram. 

Anggaran BPBD terbatas sehingga BPBD lebih memprioritaskan sosialisasi ke sekolah-sekolah. 

Pada diskusi kelompok terarah tersebut kemudian muncul rekomendasi agar industri pariwisata melalui asosiasi seperti Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan Asosiasi Tour dan Travel Indonesia (ASITA) aktif memprakarsai sosialisasi mitigasi bencana bekerjasama dengan BPBD dengan prinsip berbagi beban biaya di antara para pengusaha. Hal ini agar pengusaha akomodasi, restoran, dan biro perjalanan skala kecilpun dapat berpartisipasi. 

Kedua, walaupun peta rawan bencana telah tersedia, seringkali belum terdistribusikan dan tersosialisasikan dengan baik karena minimnya anggaran sosialisasi. Perencanaan pariwisata yang biasanya tertuang pada Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPARDA) pada destinasi rawan bencana juga belum mempertimbangkan aspek kebencanaan.

Ketiga, aturan tata ruang mengenai keamanan bangunan sering diabaikan, sehingga banyak hotel masih terletak kurang dari jarak aman dari bibir pantai. 

Keempat, mengacu kepada pengalaman Dinas Pariwisata Provinsi Bali yang membentuk gugus tugas khusus untuk penanganan wisatawan di kala bencana, para pemangku kepentingan berharap gugus tugas semacam ini bisa dibentuk di setiap destinasi yang mempunyai risiko bencana. 

Hal ini sesuai dengan rencana Kementerian Pariwisata untuk membentuk Forum Manajemen Krisis Kepariwisataan, yang diketahui melalui wawancara sebelumnya antara peneliti dengan pejabat terkait. 

Pengelolaan bencana dalam pariwisata sejatinya terdiri dari tiga tahap yaitu sebelum bencana, saat bencana, dan setelah bencana. Upaya-upaya yang dibahas para pemangku kepentingan di atas adalah pada tahap sebelum dan saat bencana. Namun demikian penting pula untuk mengembalikan reputasi sebuah destinasi pascabencana dengan menunjukkan bahwa keadaan telah kembali pulih. 

Pada kesempatan melakukan survei di kalangan wisatawan aktual dan potensial dari kawasan Eropa, diketahui bahwa mayoritas responden menekankan pentingnya informasi resmi dari Pemerintah Indonesia di saat bencana. 

Walaupun demikian, diskusi kelompok terarah dengan perwakilan tour operator dan Visit Indonesia Tourism Officer (VITO) yang bertugas sebagai kaki tangan pemasaran pariwisata Indonesia di Inggris menyimpulkan bahwa ketika bencana terjadi, informasi melalui media sosial dan dari mulut ke mulut biasanya lebih cepat daripada yang berasal dari sumber resmi. 

Komunikasi yang efektif diharapkan dari pihak Indonesia, sebagian besar peserta diskusi merasa komunikasi masih kurang lancar saat terjadi bencana dan sering terjadi kebingungan mengenai pusat penanganan krisis yang dapat dihubungi. 

Informasi yang jelas dan cepat diperlukan, dengan proses komunikasi yang disederhanakan dan menunjukkan keahlian dalam menangani situasi. Sebagai destinasi pariwisata yang rawan bencana, Indonesia diharapkan bersikap proaktif bukan hanya reaktif, hal ini perlu dilakukan melalui perencanaan dan penyusunan standar prosedur operasi untuk mitigasi dan penanganan bencana. 

Hidup di daerah rawan bencana merupakan sebuah kenyataan yang harus kita terima. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya adaptasi agar masyarakat dan industri pariwisata mempunyai resiliensi atau kapasitas untuk mencegah dan meminimalkan dampak-dampak negatif dari bencana. 

Teknologi peringatan dini tentu sangat penting untuk dikembangkan dan dimanfaatkan, namun bencana tsunami di Banten dan Lampung menunjukkan bahwa bencana tidak selalu dapat diprediksi atau bahkan dipahami dengan segera penyebabnya. 

Penataan kembali tata ruang agar semua pihak tidak abai akan aturan batas aman merupakan upaya yang harus dilakukan sebagai bentuk adaptasi. Jalur evakuasi dan prosedur penanganan saat bencana perlu ditetapkan dan disosialisasikan, bukan hanya untuk para pekerja pariwisata tapi juga bagi wisatawan.***


*Penulis adalah Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Pancasila, Jakarta.
 

Pewarta: Devi Roza Kausar *

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019