Bogor (Antara) - Ketua Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (HA-IPB) periode 2009-2013, Dr Said Didu, berpendapat kompensasi atas kenaikan harga BBM sebaiknya dialihkan ke industri padat karya bukan dalam bentuk bantuan langsung yang dinilai kurang tepat sasaran.

"Pemberian dana BLSM itu sebaiknya dialihkan dalam bentuk program yang lebih mensejahterakan melalui industri produktif atau padat karya, sehingga masyarakat miskin akan mendapat gaji untuk selanjutnya," katanya saat ditemui dalam Munas HA IPB ke-4 di Bogor, Sabtu.

Said Didu menyebutkan, jika dana BLSM sebesar Rp17 triliun dialihkan untuk membangun industri produktif, maka karyawan akan mendapat gaji yang menjamin pemenuhan kebutuhan kesejahteraan dan belanja rumah tangga.

"Jadi memperoleh dua keuntungan sekaligus, gaji dapat dan memperoleh proyek dari padat karya sehingga rakyat akan lebih baik hidupnya," ujarnya.

Terkait penyaluran BLSM, Said Didu mengaku tidak terlalu sepakat dengan pembagian bantuan tersebut. Jika dulu ada BLT karena kenaikan minyak tanah, sehingga dampak kenaikan BBM tidak langsung dirasakan.

Berbeda dengan saat ini, ketika harga BBM dinaikan, sedangkan minyak tanah sudah tidak ada lagi, sehingga masyarakat miskin masih terkena dampaknya.

Oleh karena itu, lanjut Didu, perlu mekanisme lain dalam memberikan bantuan kepada masyarakat, terutama untuk warga yang tidak mampu bekerja.

Menghadapi situasi ini, katanya, hendaknya pemerintah mulai mengendalikan harga pasar, karena kenaikan harga BBM akan membuat repot masyarakat akibat dampak melambungnya harga-harga kebutuhan pokok.

"Pemasalahan masyarakat sekarang adalah harga yang tidak terkendali. Nah kenaikan harga yang tidak terkendali, tidak ada bedanya mengendalikan harga dengan membagikan BLSM," ujarnya.

Ia menyebutkan, bagi masyarakat jika harga tidak naik maka tidak menjadi malah.

"Menurut saya kemarin ini pemerintah terlalu habiskan waktu mengurus BBM dan BLSM. Dari pada mengurus itu sudah saatnya menangani kesiapan kebijakan daftar harga-harga agar tidak naik," ujarnya.

Menurut Didu, kelompok masyarakat yang sangat merasakan dampak kenaikan harga BBM adalah yang berpenghasilan tetap, karena gaji mereka tidak bisa mengimbangi kenaikan harga-harga di pasaran.

Oleh karena itu, ada baiknya kompensasi kenaikan BBM dialihkan untuk industri agar mendorong produktivitas perusahaan dan karyawan.

Sementara itu, harga kebutuhan pokok di Kota Bogor terus merangkak naik. Tingginya harga didominasi pada sayuran dan cabai, seperti cabai rawit merah harganya mencapai Rp60.000 per kg, cabai rawit hijau Rp28.000 per kg, cabai merah keriting Rp32.000 per kg.

Harga sayuran lainnya seperti wortel kini dijual Rp9.000 per kg, kentang Rp9.000 per kg, begitu juga tomat Rp9.000 per kg.

Beberapa pedagang kecil mengeluhkan naiknya harga pascakenaikan BBM dan menjelang puasa Ramadhan ini membuat aktivitas jual beli menjadi sepi.

"Biasanya jam 8 sudah pulang, sekarang masih bertahan sampai dagangan laku. Kalau begini terus dagangan lambat laku kami yang rugi karena sayur-sayuran ini mudah busuk," kata Karip pedagang di pasar HM Salmun. 

Pewarta: Oleh Laily Rahmawati

Editor : Teguh Handoko


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2013