Jakarta (Antara) - Direktur Eksekutif "Center for Indonesia Reform" (CIR) Sapto Waluyo mengemukakan penghargaan yang diberikan Badan Pangan Dunia (FAO) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Pertanian Suswono layak diapresiasi.

"Penghargaan itu terkait dengan penurunan kelaparan dan kemiskinan dalam kurun waktu 1990/1992 hingga 2010/2012 (20 tahun) yang diberikan kepada 38 negara dengan beberapa kategori," katanya di Jakarta, Jumat.

CIR merupakan lembaga kajian strategi dan kebijakan, serta rujukan informasi untuk masalah ekonomi, sosial-budaya, sains-teknologi, politik, serta hukum dan hak asasi manusia (HAM), yang didirikan pada 30 November 2001 di Jakarta.

Di antara kategori itu, yakni negara yang mampu menurunkan angka mutlak kelaparan dan kemiskinan hingga di atas 50 persen sesuai target berdasar "World Food Summit", dimana ada 18 negara termasuk Vietnam dan Thailand.

"Indonesia masuk kategori dua, yakni negara yang mampu menurunkan persentase kelaparan dan kemiskinan per total penduduk sesuai target berdasar tujuan pembangunan milenimum (MDGs), bersama 19 negara lain," kata alumni Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) yang menamatkan S-2 di S Rajaratnam School of International Studies (RSIS) kampus Nanyang Technological University (NTU) Singapura itu.

Ia menjelaskan bahwa penghargaan itu disampaikan karena MDGs akan berakhir 2015.

"Negara-negara yang telah mencapai target penurunan angka kelaparan dan kemiskinan sebelum 2015 dianggap lulus, sehingga mendapat `Diploma` dari FAO," katanya.

Menurut dia, sebenarnya pada 2008 ada pula pengakuan Dirjen FAO kepada Pemerintah RI, yang saat itu diwakili Mentan Anton Apriyantono, mengenai keberhasilan Indonesia dalam swasembada pangan.

"Bahkan, dalam pertemuan menteri-menteri pertanian se-dunia di Jerman pada awal 2009, pengakuan tersebut ditegaskan ulang. Itu menunjukkan kinerja Mentan cukup positif," katanya.

Aanalis politik UI Yon Mahmudi melihat sisi lain, yakni prestasi menteri-menteri berasal dari PKS membuat pilihan sulit Presiden SBY untuk melakukan "reshuffle".

Dia mengemukakan bahwa sebagaimana saat pencopotan Menristek Suharma Surapranata pada 2011, Presiden SBY mendapat informasi dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) bahwa kinerja Menristek positif dengan menyelesaikan `grand design` inovasi teknologi dan pengembangan SDM Iptek, serta renumerasi untuk pegawai.

"Sehingga alasan pencopotan jadi murni politis, bukan objektif," katanya.

Menurut Yon Mahmudi, situasi saat ini amat mirip, karena suara keras Fraksi PKS di DPR soal penolakan kenaikan harga BBM, maka perjanjian koalisi terputus secara harfiah sesuai "code of conduct".

"Partai lain anggota koalisi menuntut sanksi tegas agar Presiden tetap berwibawa dan publik menangkap pesan jelas. Komunikasi politik PKS, partai koalisi dan SBY lebih bertujuan memengaruhi

persepsi publik, bukan terkait kinerja menteri," katanya.

Ia mengatakan dalam persidangan kasus suap daging impor, Mentan Suswono terbukti menolak upaya membuka keran impor.

Sikap tegas itu kemudian menimbulkan kegerahan importir dan makelar.

Pewarta: Oleh Andi Jauhari

Editor : Teguh Handoko


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2013