Bogor, 6/12 (ANTARA) - Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia Roma, Italia, menggelar seminar internasional mengenai pembangunan pertanian di Indonesia, khususnya berkaitan dengan ketahanan pangan.

Dekan FEM IPB Dr Ir Yusman Syaukat, MEc, di sela-sela seminar itu di kampus IPB Darmaga, Selasa menjelaskan bahwa kegiatan itu diikuti oleh berbagai lembaga yang berkaitan dengan masalah pangan dunia, seperti Program Pangan Dunia (WFP) dan Kementerian Pertanian Republik
Indonesia, dan IFAD, yakni badan khusus PBB berfungsi sebagai badan untuk mendanai pembangunan pertanian.

Menurut dia, keterlibatan FEM IPB dalam masalah pertanian, karena dalam pembangunan sektor tersebut tidak sekadar masalah alih teknologi semata, namun juga terkait dengan aspek sosial-ekonomi.

"Petani di perdesaan seringkali kesulitan mengakses modal ke perbankan, mereka kemudian terjebak pada ketergantungan pada rentenir dan pada gilirannya membuat penghasilan mereka harus dialokasikan untuk membayar," katanya.

"Di sini lah kami (FEM-IPB) berperan untuk memberikan kontribusi bagaimana dari dana-dana alokasi pembangunan pertanian itu bisa mudah diakses petani, yakni dapat meminjam modal namun tidak terlalu berbelit prosesnya," tambahnya.

Dalam seminar internasional bertema "Optimizing Rome-Based Un Agencies Program by Strengthening The Role of Universities in Agricultural Development in Indonesia" di Auditorium Toyib Hadiwijaya, kampus Fakultas Pertanian IPB Darmaga itu, sejumlah
narasumber juga berbicara.

Di antaranya perwakilan FAO Dr Mustafa Imir, Perwakilan IFAD di Indonesia Mariam Rihanna, Indonesia Country Director World Food Programme (WFP) Coco Ushiyama, Kementrian Luar Negeri RI, perwakilian KBRI Roma di Indonesia, serta dan Dekan FEM IPB Yusman Syaukat.

Sementara itu, saat membuka seminar tersebut, Rektor IPB Prof Herry Suhardiyanto, MSc mengungkapkan bahwa banyak rumah tangga di Indonesia tidak mampu mengakses makanan bergizi seperti daging dan telur.

Bahkan jika menggunakan rekomendasi dari Food and Agriculture Organization (FAO), kecukupan gizi penduduk Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain.

"Porsi yang signifikan dari beras sebagai makanan utama di Indonesia juga mempengaruhi. Di era tahun 1950-an, komposisi beras sebesar 53,6 persen, singkong sebesar 22,3 persen dan jagung sebesar 18,9 persen," katanya.

Ia menambahkan, penduduk Indonesia merasa lebih prestisius jika mengonsumsi beras (nasi), khususnya bagi warga yang sudah berpindah dari perdesaan ke perkotaan.

Pada tahun 2005, komposisi tersebut sudah berubah menjadi 87,8 persen, 8,8 persen dan 3,1 persen.  "Sekarang, tantangan untuk mampu mencukupi beras dari dalam negeri sendiri menjadi sulit untuk diwujudkan," katanya.

Menurut rektor, pertumbuhan sektor pertanian menjadi titik kritis untuk mengurangi kemiskinan, ketahanan pangan dan untuk energi terbarukan.

Total pertumbuhan produktivitas pertanian secara keseluruhan turun dari 2,5 persen (tahun 1968-1992) menjadi 0,1 persen (tahun 1993-2000).

Oleh karenanya, kata dia, sektor pertanian butuh lebih banyak perhatian dari pemerintah agar pertumbuhannya semakin baik. 

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2011