Bogor (ANTARA News Megapolitan) - Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengatakan pemerintah harus serius menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional atau SJSN.

"Asal pemerintah komitmen melaksanakan Pasal 48 Undang-Undang SJSN, hiruk pikuk defisit dana JKN tidak akan menyebabkan kegaduhan," kata Anggota DJSN, Subiyanto, dalam workshop evaluasi kinerja Forum Media DJSN, di Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat malam.

Pada Pasal 48 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN menyebutkan "Pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan BPJS".

Dengan pasal ini hendaknya pemerintah tidak perlu gaduh, menyuruh kementerian terkait untuk rapat mengatasi defisit tersebut. Hampir semua kementerian lembaga melakukan rapat, dan melakukan perhitungan, tetapi data yang diperoleh berbeda hasilnya.

Rapat dan evaluasi yang dilakukan membutuhkan biaya. Setiap kementerian mengeluarkan data yang berbeda. Puncaknya Kementerian Keuangan melakukan audit terhadap rumah sakit. Hal ini menunjukkan bentuk ketidakkonsistennya dalam melaksanakan SJSN, dan ketidakpercayaan dengan DSJN.

"Padahal hitungan BPJS bukan defisit, tetapi kurang bayar (underpaid). Contohnya PBI harusnya 36.300, dibayarkan baru 23.300 itu di tahun 2015, harusnya naik tahun 2017 tetapi belum naik juga," katanya.

Selain itu, karena mau Pemilu, menaikkan tarif JKN tidak populis bagi pemerintahan saat ini.

Subiyanto juga mengkritisi SJSN belum berjalan sesuai konstitusi, yakni untuk keadilan dan kesejahteraan. Ia menilai masih banyaknya persoalan BPJS menunjukkan SJSN belum berjalan dengan benar.

"Ini persoalan serius dalam undang-undang ini. Undang-undang BPJS ini ambigu," katanya.

Ia mencontohnya, di BPJS Ketenagakerjaan, kalau perusahan tidak mendaftar ke JKN hanya diberikan saksi administrasi seperti tertuang dalam PP Nomor 86 tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi BPJS Ketenagakerjaan. Aturan ini menimbulkan pertanyaan siapa yang akan memberikan sanksi.

Selain itu, undang-undang SJS tidak mengikat undang-undang yang lain. Jika terjadi pengusaha menunggak iuran, jika terjadi resiko sosial, maka perusahaan harus membayar sesuai JKN.

"Artinya undang-undang ini boleh dilanggar," katanya.

Menurutnya, akibat undang-undang yang ambigu tersebut menimbulkan berbagai persoalan. Salah satunya kejadian ketika bencana terjadi baru-baru ini.

Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi DJSN ada ketidaksikronan antara JKN dengan PP 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

Ia mengatakan, peraturan pemerintah ini menyebutkan masa tanggap darurat tidak ada batas waktu. Tetapi BPJS Kesehatan mengatakan, kalau ada yang patah tulang, tidak bisa berobat menggunakan kartu JKN.

"Alasanya karena penyakit disebabkan oleh gempa bumi, BPJS beralasan PP 21 ini. Sangat ironis, presiden bagi-bagi KIS, tapi masyarakatnya tidak bisa berobat," kata Subiyanto.

Subiyanto mengatakan, temuan-temuan ini menjadi catatan DJSN untuk melakukan perbaikan-perbaikan.

"DJSN perlu membuat undang-undang tentang daerah kebencanaan," kata Subiyanto.

Persoalan penting lainnya, kebijakan kepersertaan JKN harus berdasarkan NIK. Dirjen Dukcapil menyebutkan 99,9 persen masyarakat sudah punya NIK. Tetapi fakta di lapangan, masyarkaat tidak bisa mendaftar BPJS karena tidak punya NIK.

"Undang-undang BPJS ambigu, DJSN menyarankan revisi," kata Subiyanto.

Editor berita: B. Santoso

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018