Ali Hidayat (23) tak pernah mengira sebelumnya, program yang diikutinya semasa berkuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada membawa dampak besar dalam kehidupannya.

Pada usianya yang terbilang muda, ia sudah menduduki posisi sebagai Assistant Manager Network and Relations di salah satu bank plat merah. Padahal untuk menduduki posisi itu biasanya butuh waktu bertahun-tahun, tapu Ali berhasil meraih posisi itu hanya dalam kurun waktu satu tahun saja.

Ia merupakan alumni program Transformasi Edukasi untuk Melahirkan Pemimpin Masa Depan (TELADAN) Tanoto Foundation. Program itu diikutinya sejak berada di semester tiga hingga lulus pada 2024.

Pelatihan soft skill atau nonteknis dan kepemimpinan yang diterimanya menjadi modal penting ketika memasuki dunia kerja. Ali merasa lebih siap karena apa yang dihadapinya di dunia kerja, sudah pernah dilaluinya pada saat mengikuti program TELADAN.

Berbagai pelatihan intensif didapatkannya, mulai dari public speaking, teamwork, hingga penguatan karakter calon pemimpin masa depan. Hal itu berbeda dengan pendidikan kampus yang lebih fokus kepada hard skill, pendidikan formal, teoritis, dan teknis.

“Kalau misalnya di kampus kan lebih ke arahnya, ke arah akademis kan, teoritis dan juga teknis. Tapi kalau misalnya dari aspek soft skill dan kepemimpinan itu benar-benar dari teladan itu sendiri,” kata Ali di Jakarta, Selasa.

Saat memasuki dunia kerja, manfaat program tersebut langsung dirasakannya karena ia merasa lebih mudah beradaptasi lingkungan kerja.

“Secara nggak langsung, program ini bikin saya lebih siap. Saya jadi tahu potensi diri, tahu arah skill saya harus dikembangkan ke mana, dan sudah terbiasa menghadapi orang dengan berbagai karakter,” ungkapnya.

Ia juga dengan mudah mendapatkan tawaran pekerjaan berkat kombinasi pengalaman, pelatihan profesional, dan jejaring yang dibangun selama mengikuti program TELADAN.

Program TELADAN dirancang melalui tiga tahapan pengembangan kepemimpinan yakni lead self (memimpin diri sendiri), lead others (memimpin orang lain), dan professional preparation atau menghadapi tantangan profesional.

“Banyak sekali modul-modul pembelajaran terkait dengan pengembangan diri di bidang kepemimpinan. Jadi benar-benar dari awal masuk tuh, pokoknya kita dibagi jadi tiga building block gitu,” kata Ali.

Selama menjadi peserta program, ia dibimbing dan dibantu untuk persiapan masuk dunia kerja.

“Mungkin kalau misal dari yang paling saya rasakan selama jadi awardee, ini adalah ya self-growth itu, terkait bidang leadership gitu. Jadi kayak bisa gimana mengenal diri sendiri, terus gimana juga kita bisa menjadi sosok pemimpin yang berdampak bagi masyarakat dan lingkungan sekitar,” imbuh dia.

Selama mengikuti program, Ali tidak hanya mendapatkan pengembangan dari aspek kepemimpinan, tetapi juga menerima dukungan finansial berupa beasiswa UKT dari semester dua hingga semester delapan.

Ia juga mendapat kesempatan untuk mengikuti kegiatan kolaboratif dengan perusahaan maupun lembaga pemerintah. Salah satu pengalaman paling berharga baginya adalah kesempatan mengikuti Global Experience Program (GEP) di Korea Selatan. Melalui program itu, ia mendapatkan pengalaman internasional melalui leadership camp dan aktivitas lintas budaya.

Meski Ali menilai program ini sudah sangat baik dan terstruktur, Ali berharap kegiatan tersebut dapat menjangkau mahasiswa lebih luas dan dilakukan pertemuan secara luring untuk memperkuat jejaring antarpeserta lintas universitas. Menurut dia, interaksi langsung memberi dampak lebih besar dibanding sesi daring.

 

Penguatan soft skill

Sebelumnya, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendiktisainstek) Brian Yuliarto menekankan pentingnya pengembangan diri yang seimbang antara kompetensi teknis dan nonteknis, partisipasi aktif dalam organisasi, serta membangun relasi yang sehat dengan sesama mahasiswa. Kampus, bukan hanya tempat belajar akademik, tetapi juga medan latihan kepemimpinan dan karakter.

Sejumlah program diselenggarakan Kementerian pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Sainstek) untuk mengembangkan keterampilan soft skill maupun hard skill. Diantaranya melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), Program Pembinaan Mahasiswa Wirausaha (P2MW), Program Peningkatan Kapasitas Organisasi Kemahasiswaan (PPK Ormawa), dan Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa.

 

Head of Leadership Development and Scholarship Tanoto Foundation, Yosea Kurnianto. (ANTARA/HO)

 

Meski demikian, Brian menyambut baik inisiatif yang dilakukan pihak swasta untuk meningkatkan kompetensi nonteknis mahasiswa seperti TELADAN.

Head of Leadership Development and Scholarship Tanoto Foundation, Yosea Kurnianto, mengatakan program TELADAN tidak lahir begitu saja. Sebelumnya program yang mereka lakukan fokus pada dukungan finansial pada penerima manfaat.

Program beasiswa yang dilakukan pada periode 2006 hingga 2018 yakni Tanoto Foundation yaitu National Champion Scholarship dan Regional Champion Scholarship.

“National Champion Scholarship ini bermitra dengan beberapa perguruan tinggi dan regional lebih banyak,” jelas Yosea.

Sebagai organisasi filantropi, pihaknya berkomitmen untuk meningkatkan kualitas soft skill atau kompetensi nonteknis generasi muda. Gagasan tersebut lahir dari strategi ulang yang dilakukan sejak 2017 terhadap investasi filantropi mereka. Keluarga Tanoto menilai bahwa beasiswa perlu memberikan nilai tambah lebih dari sekadar dukungan finansial.

Terutama dalam hal keprofesional dalam bekerja. Pihaknya meyakini profesionalisme dalam bekerja dipengaruhi oleh dua aspek, yaitu keterampilan teknis dan nonteknis.

Yosea menyebut keterampilan teknis merupakan keterampilan yang diperoleh oleh mahasiswa selaku penerima beasiswa melalui perguruan tinggi. Namun, investasi pada keterampilan nonteknis dinilai masih sangat terbatas.

“Jadi transisi antara education to employment atau dari pendidikan ke kebekerjaan. Salah satu yang kita percayai bahwa pekerjaan itu didukung oleh aspek teknis dan nonteknis. Teknis adalah hal-hal yang sifatnya mostly academic bersifat technical skills dan itu dikembangkan di area pendidikan tinggi yang mana mereka belajar secara akademik. Tapi yang nonteknis itu kami melihat belum banyak yang melakukan investasi di sana,” jelas Yose algi..

Beberapa inisiatif pengembangan soft skill yang telah hadir, seperti pelatihan kepemimpinan, komunikasi, kemampuan berpikir kritis, dan self awareness. Namun pelatihan tersebut banyak yang bersifat singkat seperti seminar yang dilakukan selama satu atau tiga hari pelaksanaan.

Hal tersebut mendorong Tanoto Foundation untuk memperkuat investasi pada keterampilan nonteknis, terutama bagi penerima beasiswa yang umumnya berasal dari keluarga kurang mampu. Penguatan soft skill tersebut dinilai mampu memberikan nilai tambah yang signifikan dalam proses transisi penerima beasiswa menuju dunia kerja.

Pada 2019, pihaknya kembali mengemas ulang berbagai program beasiswa yang sudah dijalani menjadi satu program yang bernama Teladan. Tak sekadar beasiswa, melainkan beasiswa kepemimpinan.

Program itu diperkuat melalui pendekatan yang lebih fokus pada kemitraan. Kampus mitra pun diseleksi berdasarkan kemampuan mereka dalam mencetak mahasiswa yang berpotensi tinggi dengan daya lenting yang besar dan mahasiswa yang punya daya juang, yaitu individu yang dinilai mampu memberi dampak luas pada masa mendatang.

“Daya lenting itu maksudnya ketika kita berinvestasi ke mahasiswa ini dan dia punya daya jual dan kepemimpinan yang cukup baik maka nanti di masa depan kita percaya dia akan bisa memberikan dampak luas gitu ya, multiplier effect pada sistem dimana dia akan bekerja,” ujar Yosea

Pada 2022, lanjut Yosea, Tanoto Foundation kembali melakukan peninjauan terhadap komitmen yang dibuat sejak 2019. Menurut dia, peninjauan yang dilakukan penting karena transisi yang dinilai cukup signifikan, dari beasiswa yang sebelumnya bersifat finansial menjadi program terstruktur yang terukur dan berkelanjutan hingga 3,5 tahun. Proses review dilakukan baik pada aspek program maupun kemitraan untuk memastikan konsistensi tujuan dan efektivitas pelaksanaan.

Dalam mengembangkan soft skill generasi muda, organisasi Filantropi tersebut merancang program Teladan untuk memberikan equal opportunity bagi para penerima, dengan pengembangan aspek non-teknis seperti kemampuan berpikir kritis dan kepemimpinan.

“Jadi kami melihat program TELADAN juga bisa memberikan atau membantu mereka memiliki kesempatan yang sama dengan pengembangan sisi nonteknis maupun kepemimpin, sebagai pelengkap dari academic performance yang difasilitasi oleh kampus,” paparnya.

Yosea menyebut Tanoto Foundation juga membuka ruang inovasi dan eksperimen dalam sejumlah aspek program. Namun, lembaga ini menilai perluasan dampak tidak dapat dilakukan hanya dengan menambah jumlah kampus mitra atau memperbanyak sekolah penerima hingga ribuan.

Sebagai gantinya, pihaknya memilih memperluas dampak melalui pendekatan ekosistem. Organisasi ini mendorong agar pengembangan nonteknis mendapat perhatian lebih serius di lingkungan pendidikan tinggi.

Yosea mengaku telah melakukan upaya advokasi sejak tahun lalu melalui koordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Sainstek), dan berbagai pemangku kepentingan untuk memasukkan aspek soft skill ke dalam kebijakan nasional.

Hasilnya, penguatan soft skill telah masuk dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) selama 20 tahun perancangan. Selain itu, Yosea mengungkap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) telah mengadopsi model pengembangan soft skill secara struktur.

Sementara itu, beberapa kampus mitra juga mulai menerapkan soft skill sebagai kurikulum yang melengkapi kompetensi akademik.

“Kami masih terus melakukan technical assistance kepada kampus-kampus mitra kami untuk membuat desain kurikulum kemahasiswaan atau kurikulum soft skill mereka,” ungkap Yosea.

Upaya advokasi terus dilakukan dengan berbagai pihak untuk memetakan kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya terkait kebutuhan soft skill. Kemudian, hasil diskusi yang dilakukan dituangkan ke dalam sebuah buku putih.

Tahun ini, lanjut Yosea, Tanoto Foundation menggandeng 10 kampus mitra untuk membentuk gugus tugas untuk mendorong diskursus nasional mengenai pentingnya pengembangan soft skill di perguruan tinggi.

Ia menilai pengembangan nonteknis harus mendapatkan perhatian serius, dilakukan dengan terstruktur, internasional, dan mampu memberikan kesempatan luas bagi mahasiswa Indonesia, sehingga diharapkan lahir generasi-generasi unggul dan berdaya saing yang memiliki peran nyata dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Pewarta: Indriani

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2025