Bogor (Antaranews Megapolitan) - Salah satu aktivis di Advokasi Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah mengatakan bahwa pembangunan pertanian di Indonesia dilakukan dengan setengah hati. Menurutnya pencapaian kedaulatan pangan masih belum terwujud karena laju impor pangan masih besar.
Menurut alumni Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) ini, tingginya laju impor pangan menunjukkan negara berada dalam kekuasaan pihak lain dan mengindikasikan kegagalan dalam menjaga kedaulatan. Hal ini ia ungkapkan saat menjadi narasumber dalam Studium Generale "Masa Depan Kebijakan Agro-Maritim Indonesia di Auditorium Toyib Hadiwijaya Fakultas Pertanian, Kampus IPB Dramaga,Bogor (9/11). Kegiatan ini merupakan bagian dari mata kuliah Politik Pertanian yang diikuti ratusan mahasiswa IPB.
Semakin tingginya impor, mengindikasikan adanya ketergantungan pada pihak lain dalam hal ini negara lain yang memiliki pangan, jika sudah tergantung ke pihak lain maka kita mudah untuk mengikuti apa yang diputuskan negara lain, dengan demikian kita tidak lagi memiliki kedaulatan atas apa yang kita inginkan dalam konteks pangan.
"Ketika impor tinggi sesungguhnya kita sedang bergantung dan diatur oleh pasar pangan yang dimiliki oleh perusahaan besar seperti negara maju. Salah satu contoh, untuk komoditas kedelai dan gandum memang benar bahwa yang menanam adalah petani di negara Amerika misalnya, namun distribusi dalam kerangka tata niaganya diatur atau dimainkan oleh cargil dan beberapa perusahaan trader besar".Ungkapnya.
"Disamping itu urusan dengan para "mafia" yang kadang tidak punya perusahaan tapi mampu mengendalikan harga dan jalur distribusi pangan. Uang diperdagangkan dalam pasar pangan global. "tambahnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Pertanian, Dr. Suwardi mengatakan bahwa kuliah politik pertanian seperti ini dalam rangka mendukung harapan mahasiswa IPB yang ingin memberikan kontribusi dalam ketahanan pangan sehingga terwujud swasembada pangan.(**/Zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018
Menurut alumni Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) ini, tingginya laju impor pangan menunjukkan negara berada dalam kekuasaan pihak lain dan mengindikasikan kegagalan dalam menjaga kedaulatan. Hal ini ia ungkapkan saat menjadi narasumber dalam Studium Generale "Masa Depan Kebijakan Agro-Maritim Indonesia di Auditorium Toyib Hadiwijaya Fakultas Pertanian, Kampus IPB Dramaga,Bogor (9/11). Kegiatan ini merupakan bagian dari mata kuliah Politik Pertanian yang diikuti ratusan mahasiswa IPB.
Semakin tingginya impor, mengindikasikan adanya ketergantungan pada pihak lain dalam hal ini negara lain yang memiliki pangan, jika sudah tergantung ke pihak lain maka kita mudah untuk mengikuti apa yang diputuskan negara lain, dengan demikian kita tidak lagi memiliki kedaulatan atas apa yang kita inginkan dalam konteks pangan.
"Ketika impor tinggi sesungguhnya kita sedang bergantung dan diatur oleh pasar pangan yang dimiliki oleh perusahaan besar seperti negara maju. Salah satu contoh, untuk komoditas kedelai dan gandum memang benar bahwa yang menanam adalah petani di negara Amerika misalnya, namun distribusi dalam kerangka tata niaganya diatur atau dimainkan oleh cargil dan beberapa perusahaan trader besar".Ungkapnya.
"Disamping itu urusan dengan para "mafia" yang kadang tidak punya perusahaan tapi mampu mengendalikan harga dan jalur distribusi pangan. Uang diperdagangkan dalam pasar pangan global. "tambahnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Pertanian, Dr. Suwardi mengatakan bahwa kuliah politik pertanian seperti ini dalam rangka mendukung harapan mahasiswa IPB yang ingin memberikan kontribusi dalam ketahanan pangan sehingga terwujud swasembada pangan.(**/Zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018