Di banyak pesisir Indonesia, garam masih dipandang sebagai komoditas sederhana. Sekilas, butiran putih itu tampak sepele, hanya pelengkap dapur yang memberi rasa pada makanan.

Jika ditelusuri lebih jauh, garam adalah bagian penting dari rantai industri bernilai tinggi yang meliputi makanan, farmasi, hingga industri kimia. Hilirisasi garam, istilah yang kini kian sering disebut, sejatinya adalah jalan panjang yang dapat mengubah wajah ekonomi pesisir.

Nusa Tenggara Barat dengan garis pantai yang luas dan potensi lahan tambak melimpah, berada di posisi strategis untuk membuktikan bahwa garam bukan sekadar cerita kemiskinan, tetapi juga masa depan yang menjanjikan.

Di Bima, Dompu, dan Lombok Timur, masyarakat pesisir sudah lama mengenal garam sebagai denyut kehidupan. Namun selama ini, sebagian besar garam hanya dijual mentah tanpa pengolahan, sehingga nilainya rendah.

Beberapa tahun terakhir, NTB mulai menjadi laboratorium kecil hilirisasi garam. Sejumlah pabrik pengolahan berdiri di Bima dan Lombok. Garam rakyat yang dulu dijual apa adanya kini diproses menjadi produk bernilai tambah.

Tahapan pencucian, pengeringan modern, hingga pengemasan menjadikan garam lebih bersih, lebih higienis, dan siap masuk pasar industri. Penerapan teknologi ini tidak hanya meningkatkan mutu, tetapi juga meningkatkan harga jual, memberi ruang bagi petani untuk mendapatkan pendapatan lebih baik.

Hilirisasi tidak berhenti pada teknologi. Ini juga soal membangun ekosistem industri, dari hulu hingga hilir. Tanpa bahan baku berkualitas dari tambak rakyat, pabrik kesulitan menghasilkan produk standar industri.

Tanpa jaringan distribusi yang efisien, garam olahan tidak bisa mencapai pasar dengan tepat waktu. Dengan kata lain, hilirisasi menuntut transformasi menyeluruh, baik di tingkat produksi maupun tata niaga.

Secara nasional, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat bahwa kebutuhan bahan baku garam pada tahun 2025 mencapai 4,9 juta ton, sama dengan tahun sebelumnya.  Pada 2023, kebutuhan sedikit lebih tinggi, yakni sekitar 5 juta ton, dengan lebih dari 3 juta ton digunakan sektor industri.

Di sisi produksi, rencana nasional 2025 memperkirakan 2,25 juta ton, dengan cadangan stok tambahan sekitar 836 ribu ton, sehingga total pasokan lokal hanya memenuhi sekitar 63 persen kebutuhan. Produksi 2024 tercatat 2,04 juta ton, melampaui target 2 juta ton.

Sementara itu, kontribusi NTB mencapai 180 ribu ton, meningkat dibanding 2024 sekitar 150 ribu ton dan 2023 yang diperkirakan 140 ribu ton. Meski meningkat, angka ini masih menjadi bagian kecil dari kebutuhan nasional, menunjukkan masih tingginya kebergantungan pada garam impor.

Hilirisasi garam seharusnya menjadi jembatan untuk menutup kesenjangan ini. Dengan pengolahan yang lebih baik, garam NTB bisa masuk ke pasar industri makanan, farmasi, bahkan ekspor.

Baca juga: Swasembada garam
Baca juga: Masa depan NTB

Pewarta: Abdul Hakim

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2025