Bekasi, Jawa Barat (Antaranews Megapolitan) - Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi, Jawa Barat, mengingatkan jajaran eksekutif setempat untuk mewaspadai situasi keuangan daerah yang kini defisit sekitar Rp900 miliar.

"Ada beberapa hal yang memicu bengkaknya defisit APBD 2018 di Kota Bekasi. Ini harus menjadi perhatian serius pemangku kebijakan," kata Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Bekasi Chairoman J Putro di Bekasi, Jumat.

Faktor pemicu itu di antaranya, kebijakan kepala daerah yang menambah Tunjangan Penambahan Penghasilan (TPP) terhadap 6.000 lebih Aparatur Sipil Negara.

Pada 2018, pemerintah setempat mengalokasikan anggaran hingga Rp1,4 triliun untuk biaya gaji pegawai atau mengalami kenaikan 20 persen dibanding 2017.

Untuk kenaikan belanja pegawai, seorang pejabat eselon III B atau sekelas kepala bidang bisa mengantongi penghasilan rata-rata Rp35 juta dalam sebulan.

Rinciannya Rp25 juta tunjangan perbaikan penghasilan, dan sisanya adalah gaji pokok pegawai sesuai golongan dan masa kerja.

Choiroman menilai biaya belanja pegawai di Pemerintah Kota Bekasi dianggap cukup tinggi dibanding dengan daerah lain di Jawa Barat sehingga membebani postur keuangan daerah.

Faktor pemicu berikutnya adalah pengerjaan proyek tahun jamak yang menjadi janji politik kepala daerah, Rahmat Effendi.

Pada 2018 ada sejumlah proyek lanjutan infrastruktur, di antaranya relokasi Mapolrestro Bekasi, rehabilitasi kantor Kejaksanaan Negeri Bekasi, relokasi Kantor Layanan Imigrasi Bekasi, pembangunan kolam retensi penanggulangan banjir serta sejumlah proyek duplikasi jembatan penanggulangan kemacetan.

Seluruh kegiatan itu ditangani oleh dua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di antaranya Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air (BMSDA) serta Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Disperkimtan) Kota Bekasi dengan total kebutuhan anggaran berkisar Rp1 triliun.

Selain itu, pihaknya juga menyoroti tentang pembiayaan Kartu Sehat berbasis Nomor Induk Kependudukan (KS NIK) senilai Rp200 miliar untuk menutupi biaya kesehatan masyarakat.

Selain itu ada pula penambahan jumlah tenaga kerja kontrak (TKK) di seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) setempat yang dianggap jumlahnya terlalu banyak.

“Pemerintah sekarang sedang mati suri, karena dana yang tersisa saat ini hanya untuk keperluan gaji pegawai seperti honor tenaga kerja kontrak (TKK) dan tunjangan aparatur,” katanya.

Penambahan TKK di seluruh OPD juga menjadi beban keuangan daerah karena selain memperoleh gaji Rp3,9 juta per bulan, mereka juga mendapat TPP di kisaran Rp1 juta sampai Rp2,5 juta per bulan.

Pada 2017, jumlah TKK di Kota Bekasi sekitar 4.000 orang, namun 2018 ditambah sekitar 9.000 orang.

Menurut dia, persoalan itu perlu disikapi Pemkot Bekasi dengan berupaya memangkas sejumlah alokasi dana pemicu defisit APBD.

"Misalnya, nilai TPP di kalangan aparatur dipotong menyesuaikan keuangan daerah dan menghentikan sementara proyek tahun jamak," katanya.

Pewarta: Andi Firdaus

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018