Bogor (Antaranews Megapolitan) - Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Dede Setiadi mempelajari model arsitektur tanaman guna menghitung laju erosi tanah saat musim hujan.

“Jika kita bisa mengitung laju erosi tanah ini, maka kita bisa mencegah terjadinya logsor, “ demikian disampaikan Prof. Dede saat Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah di Kampus IPB Baranangsiang, (19/7).

Dari beberapa riset yang telah Prof. Dede lakukan, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara konservasi tanah dan air dengan model arsitektur tanaman.  

“Jika sudah masuk musim hujan, daerah yang memiliki tingkat kemiringan tinggi, kondisi tanahnya itu sering terjadi longsor. Seperti Banjarnegara atau di daerah Cikijing Kuningan yang kebun kopinya terbawa longsor. Kelihatannya dalam masalah lingkungan ini, perlu penanggulangan untuk konservasi tanah dan air terutama di tanah miring. Perlu ada upaya yang harus dilakukan. Kami di Program Studi Biologi melihat bahwa model arsitektur vegetasi atau tanaman bisa menjadi upaya pencegahan longsor,” ujarnya.

Lebih lanjut dikatakannya, konservasi tanah dan air ini merupakan upaya untuk memanfaatkan tanah sesuai dengan kemampuan tanahnya.

“Salah satu parameter untuk mengukur konservasi tanah adalah dengan mengukur erosi tanah. Erosi tanah bisa untuk mengukur besar kecilnya kerusakan tanah akibat air hujan, “ jelasnya.

Menurutnya, tumbuhan mempunyai model arsitektur melalui bentuk morfologi pohonnya seperti pola pertumbuhan suatu batang (lurus atau bercabang). Saat hujan besar sebagian curah hujan ada yang turun melalui batang, ada yang ke tajuk pohon. Antar tajuk ada intersepsinya. Setelah itu air jatuh dari tajuk.

Air dari aliran batang dan curahan tajuk akan jatuh ke tanah dan akan mendispersi butir-butir tanah permukaan. Air ini akan mengalir di atas permukaan tanah. Ada juga sebagian yang akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi tanah) menjadi air perkolasi tanah (di dalam tanah ada tempat penampungan air). Tapi sebagian lagi (kalau tanahnya curam), air akan mengalir sebagai aliran permukaan yang akan membawa butir-butir tanah yang terdispersi curah hujan tadi.

“Menurut Halle et al dimana saya pernah mempelajari khusus model arsitektur pohon ini, ada 24 model arsitekur pohon. Hasil penelitian saya terhadap enam model arsitektur pohon  dimana setiap model arsitektur pohon akan punya rumus yang berbeda, kami melihat apakah model ini berpengaruh terhadap besarnya erosi atau tidak,” ujarnya.

Penelitiannya dilakukan  di Kampung Naga dan Bantar Sari yang memiliki kondisi kemiringan datar sampai bergelombang. Kampung Naga adalah daerah yang menganut kearifan lokal tinggi. Mereka memiliki penghasilan dari kerajian bambu sehingga di lahan kampung ini banyak ditanami bambu tali.   

“Bambu tali ini punya model arsitekur McClure. Ternyata McClure ini menimbulkan erosi 3,74 ton per hektar per tahun. Sedangkan di Kampung Bantar Sari, yang mode arsitektur Troll menimbulkan erosi 10,59 ton per hekar per tahun. Di daerah Gambung Bandung Selatan, model arsitekturnya Massart yang menimbulkan erosi 5,31 ton per hektar per tahun, “ jelasnya.

“Hasil ini membuktikan bahwa ada hubungan antara tanah dan air. Bentuk pohon mempengaruhi konservasi tanah dan air sehingga perlu pemilihan model arsitektur pohon pada saat reboisasi, terutama di lahan miring atau daerah yang memiliki curah hujan tinggi untuk mengurangi bencana longsor,” terangnya. (Zul).

Pewarta: Oleh: Humas IPB/Prof. Dr. Dede Setiadi

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018