Bogor (Antaranews Megapolitan) - Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB), Prof. Dr. Muhammad Agus Suprayudi dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah di Kampus IPB Baranang Siang (19/7) memaparkan inovasinya, bungkil biji kedelai analog berbasis biji karet.

Menurutnya bungkil biji karet dapat menggantikan bungkil kedelai sebagai bahan pakan ikan. Bungkil biji karet bisa menggantikan fungsi bungkil kedelai tanpa menimbulkan efek negatif hingga level 50 persen. Selain bungkil biji karet, minyak biji karet juga dapat digunakan sebagai sumber lemak dan asam lemak esensial.

“Perkembangan akuakultur naik hingga 200 persen per tahun. Penangkapan ikan dunia pada akuakultur mencapai 44,1 persen. Amerika, Eropa, Afrika di bawah 5 persen sedangkan Asia mencapai 13,3 persen. Maka saya bilang pusat akuakultur itu di Asia. Indonesia ada di nomor dua setelah China,” ujarnya.

Dijelaskannya, dalam perikanan akuakultur, ada yang membutuhkan pakan ada yang tidak. Biaya pakan terhadap total biaya produksi paling besar dibandingkan dengan biaya lain. Kontribusi biaya pakan ikan air tawar itu paling besar. Biaya pakan untuk 1 kilogram ikan dipengaruhi oleh dua faktor yakni harga pakan dan efisiensi pakan.   

“Oleh karena itu, kita perlu re-evaluasi nutrien dan tekan harga pakan. Re-evaluasi nutrien bisa dilakukan dengan penambahan asam amino esensial serta pemberian rasio protein energi yang sesuai. Teknik ini dapat meningkatkan efisiensi protein sebesar 13 hingga 38,7 persen,” ujarnya.

Menurutnya hanya 25-30 persen dari energi dam protein pakan yang dapat diretensi dalam tubuh ikan. Selebihnya akan dikeluarkan melalui feses, insang dan hilang dalam bentuk panas. Oleh karena itu perlu peningkatan efisiensi protein dengan penambahan asam amino.

“Selain dengan suplementasi asam amino, peningkatan efisiensi protein juga dapat dilakukan dengan meningkatkan ketersediaan energi nonprotein yang berasal dari karbohidrat dan lemak.   Cara kedua dalam efisiensi pakan adalah dengan menekan harga pakan. Indonesia bisa memanfaatkan bahan pakan lokal untuk menurunkan harga pakan. Hampir 70-80 persen bahan penyusun pakan merupakan produk impor.  Sumber protein nabati terutama bungkil kedelai merupakan komoditas impor yang hingga saat ini belum mampu diproduksi Indonesia. Padahal bungkil kedelai adalah sumber protein termurah dan diantara sumber protein nabati dan hewani yang ada dan digunakan dalam pakan ikan, persentase bungkil kedelai sangat besar yakni 15-30 persen, “ jelasnya.

“Karena impor dan butuh dalam jumlah yang besar, maka perlu terobosan untuk menyediakan bahan pengganti bungkil kedelai agar akuakulutur Indonesia tetap berlangsung,” tandasnya.

Menurutnya pada tahun 2050 proyeksi konsumsi ikan akan naik 66 persen menjadi 339,5 ton. Akan dibutuhkan bahan pakan yang jauh lebih banyak. Saat ini Indonesia sudah kelabakan untuk memenuhi bahan pakan. Saat ini diperlukan 1.63 juta ton pakan ikan dan tahun 2050 diperkirakan dibutuhkan 4-5 juta ton.

“Saat ini baru 20 persennya bahan pakan dari lokal seperti dedak, palm kernel meal (sawit), singkong (beserta turunannya) dan kopra kelapa. Yang lainnya impor. Saat ini harga soybean naik drastis menjadi 7.300 rupiah per kilogram.  Kita sudah teliti berbagai bahan baku. Ternyata ada satu bahan yang punya potensi yang luar biasa yakni biji karet yang produksinya 4,1 juta ton per tahun. Biji karet ini baru dimanfaatkan 1 juta ton, sisanya belum termanfaatkan. Asam amino esensial dan A/E rasio biji karet dengan bungkil kedelai hampir sama,” terangnya.  

Disebutnya, minyak biji karet juga lebih bagus dari minyak sawit, minyak jagung, minyak kedelai dan minyak salmon. Linoleat mencapai  40,1 dan linolenatnya encapai dan 17,6.

“Tapi biji karet itu juga mengandung sianida. Jika sianidanya tidak dihilangkan akan mengakibatkan kerusakan ginjal pada ikan. Pada riset kami, minyak biji karet jika dipanaskan kandungan sianida akan turun 90 persen.  Uji coba di ikan dengan pakan biji karet yang sudah di-treatment, pakan biji karet mampu menggantikan bungkil kedelai 50-60 persen. Minyak biji karet juga dapat digunakan sebagai sumber lemak dan asam lemak esensial pada ikan nila,” imbuhnya.

“Memang ada hambatan dalam mengembangkan pakan biji karet ini. Yakni untuk mendapatkan biji karet (musiman) hanya bisa setahun sekali sehingga supply tidak terjamin. Solusinya adalah kerjasama dengan pemerintah bagaimana produksi bisa menjadi 2-3 kali setahun, “ jelasnya.   

Menurutnya jika inovasinya ini dikembangkan, kesejahteraan petani karet juga akan meningkat dan impor bungkil kedelai bisa ditekan serta bisa menghemat devisa negara,” tandasnya.(zul)

Pewarta: Oleh: Humas IPB

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018