Bogor (Antaranews Megapolitan) - Pro dan kontra reklamasi Teluk Jakarta masih terus terjadi. Pencemaran reklamasi serta penyewaan pulau menjadi isu utama yang berkembang. Jalan panjang reklamasi Teluk Jakarta yang tak berkesudahan menimbulkan tiada akhir. Berbagai kebijakan pemerintah yang dikeluarkan pun berbeda. Mulai dari yang menolak kegiatan reklamasi, ada pula yang mendukung untuk dilakukan.

Kebijakan terbaru yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI Jakarta yakni Pergub No. 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi dan Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta, menjadi hal yang cukup kontroversial di kalangan publik.

Pergub tersebut mengatur pembentukan Badan Koordinasi dan Pengelolaan Reklamasi (BKP) Pantai Utara Jakarta. Badan yang mempunyai tugas mengoordinasikan perencanaan, pelaksanaan dan penyelenggaraan Reklamasi Pantura Jakarta, pengelolaan hasil Reklamasi Pantura Jakarta dan penataan kembali kawasan daratan pantai utara Jakarta serta memberikan rekomendasi kebijakan dalam rangka penyelenggaraan Reklamasi Pantura Jakarta, dan penataan kembali kawasan daratan pantai utara Jakarta.

Oleh karena ini, tiga unit kerja di Institut Pertanian Bogor (IPB) Pusat Studi Bencana Center for Disaster Studies (CERDAS) dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) serta Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) melakukan kajian secara komprehensif terhadap pengelolaan Teluk Jakarta secara berkelanjutan. Kajian yang dilakukan di Pusat Studi Bencana, Bogor (13/7) ini menghadirkan Dr. Sudirman Saad, Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Provinsi DKI Jakarta bidang pengelolaan pesisir.

“Pro-kontra terjadi dalam kegiatan reklamasi, tapi sudah menghasilkan empat pulau reklamasi. Dengan adanya tarik ulur kebijakan dari masa ke masa, menimbulkan pertanyaan mau dibawa ke mana Teluk Jakarta serta bagaimana pengelolaan hasil dari reklamasi yang telah dilakukan. Adanya hasil pulau reklamasi tersebut perlu dikaji secara komprehensif dengan kacamata akademis objektif. Ini  untuk menghasilkan rumusan terbaik tentang pengelolaan Teluk Jakarta secara berkelanjutan,” ujar Dr. Yonvitner, Kepala Pusat Studi Bencana IPB.

Kegiatan ini dihadiri dihadiri oleh praktisi, akademisi, dan ahli yang memiliki fokus terhadap isu ini. Hadir juga Wakil Kepala PKSPL IPB Dr. Ahmad Fachrudin, Kepala Bidang Program Pusat Studi Bencana, Dr Syamsul Bahri Agus, dan Anggota TGUPP.

Dari pertemuan ini setidaknya ada 12 pembahas yang berasal dari peserta yang menyampaikan pandanganya tentang Teluk Jakarta ke depan. Beberapa poin penting yang berhasil dirumuskan adalah perlu penguatan areal konservasi pesisir seperti mangrove harus dikencangkan. Karena sebagian berperan sebagai fungsi ekologi, ekonomi dan mitigasi.

Kedua, pentingnya mendorong areal yang telah dikonservasi menjadi ruang publik dengan zonasi yang sesuai untuk kebutuhan masyarakat. Ketiga, zonasi harus menjadi basis utama dalam tata kelola ke depan, termasuk kawasan pulau. Keempat, kajian penguatan termasuk resiko ekosistem risk, larva transport dan potensi social disaster jika terjadi penguasaan swasta.

Kelima, Pemda DKI harus memanfaatkan aset DKI termasuk ruang perairan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat DKI seperti penguatan kembali budidaya laut, seafarming serta kegiatan wisata bahari. Dan terakhir adalah perlu pendekatan partisipatif dalam pelaksanaan perencanaan dan pengembangan ke depan.

“Kita harus memiliki cara pandang melihat Jakarta sebagai sebuah teluk yang memiliki connectivity yang luar biasa dari sekedar sebagai penyelia jasa ekonomi. Mainstreaming ekonomi sangat kuat dalam upaya membangun pulau-pulau di Jakarta. Padahal kita sangat memerlukan keberadaan teluk sebagai sebuah ekosistem pelindung bagi Jakarta. Pasti ada maksud yang secara logika pantas menurut manusia, tetapi secara history, ekologi, sosial dan lingkungan akan keberadaan Teluk Jakarta penting untuk dijaga,” ujarnya.

Menurutnya, Teluk Jakarta atau Sunda Kelapa adalah bagian dari sejarah perjuangan para pendahulu bangsa. Berbagai history ini akan hilang dengan berbagai bukti yang tidak lagi autentik.  Daerah yang pada awalnya menjadi batas laut akan hilang makna sejarahnya ketika kawasan tersebut ditutupi oleh berbagai aktivitas di kawasan teluknya yang tidak lagi bersinggungan dengan laut.(**/Zul)

Pewarta: Oleh: Humas IPB

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018