Bogor (Antaranews Megapolitan) - Pembukaan lahan dengan pembakaran sering mengakibatkan dampak buruk terhadap manusia dan lingkungannya, seperti kabut asap. Namun, proses pembakaran masih dilegalkan sampai dengan hari ini untuk masyarakat adat atau tradisional, misalnya bagi masyarakat Dayak Ngaju.

Prof. Dr. Bambang Hero Saharjo peneliti dari Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) menjelaskan bahwa terdapat cara penyiapan lahan dengan menggunakan api (pembakaran) yaitu dengan pembakaran terkendali yang dilakukan oleh masyarakat adat atau tradisional.

“Penyiapan lahan dengan pembakaran dilakukan karena menurut mereka cara ini lebih praktis dan efektif, murah, mudah, cepat dan dapat menyuburkan tanah. Penyiapan lahan yang dilakukan oleh masyarakat adat atau tradisional dengan menggunakan api dilakukan secara terkendali karena dijamin oleh perundang-undangan yang berlaku, seperti tercantum dalam UU No.32 tahun 2009 dan penjelasan pasal 17 PP No.4/2001, selama apinya tidak melompat ke lahan non target, ” tuturnya.

Penyiapan lahan dengan cara pembakaran terkendali biasanya dilakukan dengan kearifan lokal masing-masing di setiap daerah di Indonesia. Masyarakat Dayak Ngaju memiliki suatu aturan tertentu dalam proses pembukaan lahan. Penelitian yang dilakukan oleh Erekso Hadiwijoyo yang merupakan mahasiswa S2 bimbingan Prof. Bambang Hero Saharjo dan Dr. Erianto Indra Putra ini menganalisa pola penyiapan lahan menggunakan api (pembakaran) oleh masyarakat Dayak Ngaju di Provinsi Kalimantan Tengah.

Dalam penyiapan lahannya, ada dua hal penting yang diperhatikan oleh masyarakat Dayak Ngaju, yakni aturan dan ritual adat serta teknik yang digunakan dalam pembakaran. Ritual adat yang dilakukan sebelum pembakaran yaitu berupa penghormatan terhadap makhluk-makhluk gaib yang ada di lahan tersebut, sedangkan teknik pembakaran meliputi pemilihan waktu dan tata urutan pembakaran.

Pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut yang masih tradisional atau kearifan lokal ini disebut dengan sistem handel. Dalam sistem ini terdapat struktur organisasi yaitu ketua, wakil ketua, bendahara, kepala badan dan anggota.

“Sistem handel yaitu pengelolaan lahan gambut secara berkelompok di satu hamparan lahan yang luas pada satu sungai kecil mulai dari pemilihan lokasi tanah, penebasan, penebangan, pengeringan, pembakaran, penanaman sampai pemanenan. Pembakaran biasanya dilakukan pada bulan Agustus atau September sesuai dengan kondisi iklim yang terjadi di tahun tersebut. Jika musim kemarau lebih panjang, proses pembakaran bisa dilakukan pada akhir bulan September atau awal bulan Oktober,” ungkapnya.

Masyarakat Dayak Ngaju melakukan proses pembakaran secara bergotong royong, semua kegiatan dilakukan dengan cara barunding. Penyiapan lahan dilakukan dengan membuat sekat bakar berupa parit atau membersihkan kayu, rumput dan dedaunan sekeliling lahan selebar 3-6 meter serta, pemberian hukuman Jipen jika terjadi pelanggaran aturan adat.

Semua anggota melakukan pembakaran secara bersama pada waktu yang telah ditentukan. Waktu terbaik untuk pembakaran adalah ketika matahari sedang terik pada jam 12.00 atau 13.00 dan angin yang kencang. Jika kondisi lingkungan tidak sesuai maka waktu pembakaran ditunda dan disepakati kembali.

“Penyiapan lahan dengan menggunakan api masih tetap dilakukan masyarakat adat atau tradisional karena kegiatan tersebut merupakan bagian dari kehidupannya serta menurut mereka tidak adanya teknologi lain yang dianggapnya lebih baik. Pembakaran lahan dilakukan oleh masyarakat untuk membuat tanah lebih produktif agar mereka memperoleh hasil pertanian (misal padi) yang lebih banyak. Saat ini masyarakat adat Dayak Ngaju sering merasa kesulitan dalam menentukan waktu pembakaran yang tepat akibat terjadinya perubahan iklim,” ujarnya.(IR/Zul)

 

Pewarta: Oleh: Humas IPB/Bambang Hero Saharjo

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018