Bogor (Antaranews Megapolitan) - Berdasarkan penelitian yang dilakukan Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr.Ir. M. Faiz Syuaib, M.Agr terungkap bahwa untuk mendapatkan penghasilan setara Upah Minimum Regional (UMR), petani harus bekerja dua kali lipat kapasitas atau kemampuan tenaga fisiologisnya. Hal ini disampaikannya dalam orasi pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Teknologi Pertanian di Kampus IPB Dramaga (5/5).
“Kita asumsikan seorang petani bisa bekerja sebagaimana jam pekerja di sektor industri untuk mendapatkan penghasilan sesuai standar UMR. Maka jika panen per hektar mencapai lima ton dan harga gabah 5000 rupiah untuk luasan lahan 1 hektar, petani tersebut harus bekerja secara penuh. Padahal dari sudut pandang kapasitas kerja ergonomis, kapasitas rata-rata tenaga petani adalah setara dengan dua orang per hektar. Artinya, petani tersebut harus kerja dua kali lipat kapasitas atau kemampuan tenaga fisiknya untuk mendapatkan upah setara UMR,” ujarnya.
Dari 191 juta hektar daratan di Indonesia, hanya 8 juta hektar lahan untuk sawah dan 30 juta hektar lahan yang terkategori lahan garapan untuk area pertanaman. Pertanian menyerap setidaknya sepertiga angkatan kerja dan sebagai sumber mata pencaharian bagi 40 juta kepala keluarga. Ironisnya, sektor pertanian ternyata hanya berkontribusi sebesar 11 persen pada Produk Domestik Bruto (PDB). Sebanyak 15 juta-an Kepala Keluarga (KK) petani kita tergolong “petani gurem” alias miskin tak beraset.
“Walaupun produksi gabah kita telah berlipat ganda (400 persen) jika dibandingkan dengan data tahun 70 an, namun rata-rata nilai tukar petani kita masih di angka 1,1. Artinya produktivitas kerja masyarakat dan sistem pertanian kita masih rendah. Kurang kompetitif dibandingkan sektor lainnya. Padahal curahan waktu, tenaga, pikiran hingga investasi sudah begitu besar diberikan,” ujarnya.
Menurut Prof. Faiz, hal ini terjadi karena kita kurang memperhatikan gap atau kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dengan keinginan atau kebijakan dalam proses transfer, implementasi dan prioritas pengembangan teknologi. Ada kesenjangan juga pada karakteristik teknologi yang diterapkan dan kesenjangan antara faktor keekonomian dan kompatibilitas skala usaha atau garapan petani terhadap teknologi yang diadopsi.
Pemerintah selalu menjadikan jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar sebagai beban berat yang harus dijamin kebutuhan pangannya. Padahal populasi ini bisa dipandang sebagai potensi prosumer (produser sekaligus konsumer) yang bisa diberdayakan. Dengan total wilayah yang meliputi 6,7 persen dari total wilayah daratan Indonesia, Jawa dihuni 57 persen penduduk negeri ini. Sementara Kalimantan hanya dihuni 6 persen penduduk Indonesia dan Papua hanya ada 1,5 persen populasi Indonesia.
“Saya rasa bukan jumlah penduduk yang jadi masalah, tetapi pemerataan sebaran penduduk. Di Jawa itu sangat padat. Kepadatan di Jawa setara 9 kali lipat rata-rata nasional, ada 135 orang per kilometer persegi. Bandingkan dengan di Papua yang hanya ada 10 orang per kilometer perseginya,” terangnya.
Untuk itu mari luruskan kembali cara pandang kita terhadap pertanian. Pertanian kita tidak efisien dan produktivitasnya rendah, artinya pendapatannya pun rendah.
Oleh karena itu perlu rekayasa faktor manusia untuk memperbaiki kondisi ini. Salah satu contoh pendekatannya adalah pertimbangan antropometri (dimensi manusia) dalam perancangan alat atau mesin yang akan menghasilkan peningkatan kinerja dan efisiensi. Hasil studi antropometri, orang Indonesia memiliki dimensi dan karakteristik yang mirip dengan orang India, namun cenderung lebih kecil dibandingkan dengan bangsa Timur lainnya seperti Philipina, Cina dan Jepang.
Contoh lainnya adalah kapasitas kerja manusia, yaitu kemampuan metabolik yang dialokasikan oleh seseorang untuk melakukan suatu aktivitas dalam menghasilkan sesuatu dalam batasan waktu tertentu.
“Hasil penelitian kami, dari sudut pandang kapasitas kerja ergonomis, telah menghitung bahwa sistem budidaya padi pada lahan pegunungan berteras di Kabupaten Bogor rata-rata dibutuhkan 2 orang per hektar. Atau kapasitas kerja tenaga petani adalah 0,5 hektar per orang,” ujarnya.(Zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018
“Kita asumsikan seorang petani bisa bekerja sebagaimana jam pekerja di sektor industri untuk mendapatkan penghasilan sesuai standar UMR. Maka jika panen per hektar mencapai lima ton dan harga gabah 5000 rupiah untuk luasan lahan 1 hektar, petani tersebut harus bekerja secara penuh. Padahal dari sudut pandang kapasitas kerja ergonomis, kapasitas rata-rata tenaga petani adalah setara dengan dua orang per hektar. Artinya, petani tersebut harus kerja dua kali lipat kapasitas atau kemampuan tenaga fisiknya untuk mendapatkan upah setara UMR,” ujarnya.
Dari 191 juta hektar daratan di Indonesia, hanya 8 juta hektar lahan untuk sawah dan 30 juta hektar lahan yang terkategori lahan garapan untuk area pertanaman. Pertanian menyerap setidaknya sepertiga angkatan kerja dan sebagai sumber mata pencaharian bagi 40 juta kepala keluarga. Ironisnya, sektor pertanian ternyata hanya berkontribusi sebesar 11 persen pada Produk Domestik Bruto (PDB). Sebanyak 15 juta-an Kepala Keluarga (KK) petani kita tergolong “petani gurem” alias miskin tak beraset.
“Walaupun produksi gabah kita telah berlipat ganda (400 persen) jika dibandingkan dengan data tahun 70 an, namun rata-rata nilai tukar petani kita masih di angka 1,1. Artinya produktivitas kerja masyarakat dan sistem pertanian kita masih rendah. Kurang kompetitif dibandingkan sektor lainnya. Padahal curahan waktu, tenaga, pikiran hingga investasi sudah begitu besar diberikan,” ujarnya.
Menurut Prof. Faiz, hal ini terjadi karena kita kurang memperhatikan gap atau kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dengan keinginan atau kebijakan dalam proses transfer, implementasi dan prioritas pengembangan teknologi. Ada kesenjangan juga pada karakteristik teknologi yang diterapkan dan kesenjangan antara faktor keekonomian dan kompatibilitas skala usaha atau garapan petani terhadap teknologi yang diadopsi.
Pemerintah selalu menjadikan jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar sebagai beban berat yang harus dijamin kebutuhan pangannya. Padahal populasi ini bisa dipandang sebagai potensi prosumer (produser sekaligus konsumer) yang bisa diberdayakan. Dengan total wilayah yang meliputi 6,7 persen dari total wilayah daratan Indonesia, Jawa dihuni 57 persen penduduk negeri ini. Sementara Kalimantan hanya dihuni 6 persen penduduk Indonesia dan Papua hanya ada 1,5 persen populasi Indonesia.
“Saya rasa bukan jumlah penduduk yang jadi masalah, tetapi pemerataan sebaran penduduk. Di Jawa itu sangat padat. Kepadatan di Jawa setara 9 kali lipat rata-rata nasional, ada 135 orang per kilometer persegi. Bandingkan dengan di Papua yang hanya ada 10 orang per kilometer perseginya,” terangnya.
Untuk itu mari luruskan kembali cara pandang kita terhadap pertanian. Pertanian kita tidak efisien dan produktivitasnya rendah, artinya pendapatannya pun rendah.
Oleh karena itu perlu rekayasa faktor manusia untuk memperbaiki kondisi ini. Salah satu contoh pendekatannya adalah pertimbangan antropometri (dimensi manusia) dalam perancangan alat atau mesin yang akan menghasilkan peningkatan kinerja dan efisiensi. Hasil studi antropometri, orang Indonesia memiliki dimensi dan karakteristik yang mirip dengan orang India, namun cenderung lebih kecil dibandingkan dengan bangsa Timur lainnya seperti Philipina, Cina dan Jepang.
Contoh lainnya adalah kapasitas kerja manusia, yaitu kemampuan metabolik yang dialokasikan oleh seseorang untuk melakukan suatu aktivitas dalam menghasilkan sesuatu dalam batasan waktu tertentu.
“Hasil penelitian kami, dari sudut pandang kapasitas kerja ergonomis, telah menghitung bahwa sistem budidaya padi pada lahan pegunungan berteras di Kabupaten Bogor rata-rata dibutuhkan 2 orang per hektar. Atau kapasitas kerja tenaga petani adalah 0,5 hektar per orang,” ujarnya.(Zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018