Bogor (Antaranews Megapolitan) - Kurang lebih 30 tahun Kustirah bergelut dengan kedelai mengolahnya menjadi tempe. Selama itu pula, wanita paruh baya ini menantikan suatu saat bisa memproduksi tempe dari kedelai lokal.

Menurut Kustirah rasa tempe dari kedelai lokal lebih enak dibandingkan dengan kedelai impor. Rasa enak itu ia rasakan ketika memakan tempe berbahan kedelai lokal yang dibuat oleh bapaknya.

Kustirah salah satu dari 300 pengrajin tempe dan tahu yang menetap di Cimanggu Bharata, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat sejak 30 tahun silam. Ia belajar menjadi pengrajin tempe berbekal ilmu dari orang tuannya.

Ilmu itu diwariskan secara turun temurun hingga saat ini pun anaknya turut serta menjadi pengrajin tempe. Bedanya, tempe yang diproduksi saat ini kebanyakan berbahan kedelai impor.

Kustirah khawatir jika kedelai impor yang digunakannya tidak organik. Ia pun memiliki sedikit rasa nasionalis dan berpandangan bahwa sebaiknya diproduski oleh petani, agar Indonesia tidak lagi impor kedelai, dan menyejahterakan petani.

"Kepinginnya begitu, wong tempe kedelai lokal lebih enak, lebih gurih, apalagi untuk tahu juga lebih enak menggunakan kedelai lokal ketimbang impor," kata wanita 48 tahun ini saat ditemui akhir April lalu.

Ahli pertanian dan pemerhati kedelai menilai bahwa harapan Kustirah masih jauh dari kenyataan. Meskipun beberapa daerah sudah menggunakan kedelai lokal sebagai bahan baku tempe, namun kedelai impor masih akan terus mendominasi dalam industri tempe nasional karena berbagai isu kompleks di bidang sosial, ekonomi pertanian kedelai.

Menurut Edhie Sudaryanto, Pemerhati Kedelai yang juga pembina Rumah Kedelai Grobogan (RKG), Jawa Tengah, mayoritas kedelai yang saat ini beredar di kalangan produksi tempe adalah kedelai impor yang kebanyakan bersifat transgenik.

Fenomena ini dikarenakan perbedaan harga yang cukup signifikan antara kedelai impor transgenik dan kedelai lokal non-transgenik. Untuk setiap kilogram kedelai lokal non-transgenik, pengrajin tempe harus mengeluarkan uang sebesar Rp8.500. Sedangkan untuk kedelai impor transgenik, pengrajin tempe hanya mengeluarkan Rp6.500 per kilogramnya.

Selain itu, menurut Edhie, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan kedelai lokal kalah saing dari kedelai impor, di antaranya adalah produktivitas kedelai lokal yang rendah karena tidak optimalnya pemeliharaan, industri perbenihan kedelai tidak berkembang dikarenakan rendahnya permintaan petani, serta konsumen belum memperhatikan faktor `hygien and local`.


Harus diperjuangkan

Meskipun begitu, Edhie berpendapat bahwa penggunaan kedelai lokal harus tetap diperjuangkan. Sejak tahun 2008 kedelai Grobogan terus dibudidayakan di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Kedelai ini adalah benih kedelai lokal unggul yang dilepas oleh Kementerian Pertanian tahun 2008 dengan SK Menten Nomor 238/Kpts/SR120/2008.

Kabupaten Grobogan adalah salah satu wilayah yang berpotensi menjadi sentra penanaman kedelai. Potensi besar varietas Grobogan dengan keunggulan usia tanam yang pendek 76 hari, berat biji kedelai 18 gram per 100 biji dan rata-rata produksi 3,4 ton per hektare menjadikan Grobogan sebagai sentra penghasil kedelai berkualitas.

Berdasarkan data RKG, saat ini Grobogan adalah penghasil kedelai terbesar di Jawa Tengah dengan kontribusi yaitu 43,08 persen untuk Jateng dan 5,62 persen untuk kebutuhan nasional.

"Grobogan menjadi penyangga kedelai nasional, jadi tidak heran Kementerian Pertanian menjadikan Grobogan sebagai sentral produksi kedelai," katanya.

Namun Edhie menilai bahwa tata niaga kedelai lokal di Indonesia masih tidak menguntungkan petani. Harga kedelai lokal harus mengikuti harga kedelai non transgenik impor yang mencapai Rp.12.000 per kilogram. Dengan begitu, harga kedelai lokal berada di antara kedelai transgenik impor dan kedelai non-transgenik impor.

Oleh karena itu, lanjutnya, kebanyakan pengrajin tempe memilih kedelai transgenik impor. Kedelai Indonesia yang non transgenik dijual dengan harga Rp8.500 ditingkat petani, dan Rp9.200 ditingkat konsumen. Ini sesuai dengan peratuan harga pembelian pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 63/M-DAG/PER/2016 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di petani dan Harga Acuan Penjual di konsumen.

"Petani tidak diuntungkan dari sisi harga. Ketika kedelai impor non transgenik dibandrol dengan harga tinggi, sedangkan kedelai lokal yang sudah pasti non transgenik dipaksa mengikuti harga impor transgenik," kata Edhie.

Selain itu, menurut Edhie, salah satu persoalan dalam peningkatan produktivitas kedelai lokal di Indonesia adalah kepemilikan lahan petani yang rendah, data dari sejumlah lembaga kajian menyebutkan rata-rata kepemilikan lahan petani kurang dari 1 hektare per orang. Selain itu juga minimnya dukungan pemerintah untuk penyerapan komoditas kedelai lokal.

Rumah Kedelai Grobogan (RKG) menjawab persoalan ini dan menjadi "oase" di tengah persoalan kedelai lokal, dengan menampilkan budi daya kedelai lokal yang terintegrasi dan konsisten, dari hulu sampai hilir.

Saat ini terdapat sekitar 80 ribu petani yang menanam kedelai Grobogan, dengan luas areal tanam 28 ribu hektare, di Kabupaten Grobogan.

"Tahun 2018 ini kami berencana memperluas areal tanam menjadi 100 ribu hektare," kata Edhie.

Kedelai Grobogan menjadi unggulan karena memiliki hasil rata-rata 2,77 ton per hektare, potensi hasil 3,40 ton per hektare, memiliki kandungan protein 43,9 persen, kadungan lemak 18,4 persen.

Tingginya kandungan protein pada kedelai lokal inilah yang menyebabkan tempe atau tahu yang berasal dari kedelai lokal (non transgenik) jauh lebih enak dibanding kedelai impor yang transgenik (rekayasan genetika).

Menurut Edhie, Grobogan tidak hanya memproduksi kedelai tetapi juga benih kedelai. RKG menjadi tempat perbanyakan, membina 24 produsen atau penangkar benih kedelai lokal.

Pada tahun 2016 produksi benih kedelai Grobogan masih berkutat di sekitar wilayah Grobogan dan daerah lainnya di Jawa Tengah. Namun pada tahun 2018 ini, benih sudah disebar ke sejumlah wilayah di Indonesia mulai dari Aceh sampai NTT.


Swasembada Kedelai

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian menargetkan tanam kedelai seluas 500 ribu hektare (ha) dengan anggaran APBN-P 2017 yang dipusatkan di 20 provinsi mulai dari Sumatera seluas 153 ribu ha, Jawa 130 ribu ha, Kalimantan 27 ribu ha, Sulawesi 110 ribu ha, NTT dan NTB masing-masing 40 ribu ha.

Kementerian Pertanian pun menargetkan Indonesia bisa swasembada kedelai pada 2018 dengan penyaluran bantuan benih dan sarana produksi kepada petani. Saat ini pemerintah menargetkan produksi kedelai sebanyak 1,5 juta ton per tahun, sedangkan saat ini rata-rata produktivitas kedelai rata-rata nasional 1,3 ton per hektare.

Melalui upaya khusus (Upsus) kedelai pemerintah mendorong petani untuk mampu mengembangkan tanaman kedelai dan meningkatkan produktivitas pertaniannya guna memenuhi kebutuhan pasar domestik. Upaya peningkatkan produktivitas ini selain penyaluran benih ungguhl, juga melalui penerapan teknologi budi daya komoditi tersebut.

Guru Besar IPB Prof Sony Suharsono mengatakan perlu ada teknologi baru yang diterapkan dalam meningkatkan budi daya kedelai lokal Indonesia. Salah satunya kedelai transgenik (GMO), yang secara keilmuan telah terbuktik tidak ada resikonya.

Ia mencontohkan di Amerika, 80 persen kedelai yang diproduksi adalah transgenik. Dan selama itu belum ada pernah dilaporkan orang Amerika mati karena mengkonsumsi GMO.

?Misalnya kita buat kedelai yang resisten herbisida, kalau ada hama penganggu tinggal semprot. Ini akan menghemat biaya produksi juga,? katanya.

Menurut Kepala Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB ini persoalan kedelai Indonesia secara ekonomi kurang menguntungkan karena beberapa faktor, pertama ketersediaan lahan.

Menanam kedelai satu hektare sudah dianggap luas, sedangkan di Amerika, petani menanam kedelai di lahan seluas 50 hektare lebih. Dengan luasan lahan tersebut, akan jauh lebih ekonomis dibanding hanya sepetak dua petak lahan. Karena dengan sistem mekanisasi, dan dikelola secara perkebunan, maka budi daya kedelai jadi lebih efisien.

Persoalan berikutnya, kedelai berkompetisi dengan produk pertanian lainnya, Pemikiran petani yang lebih ekonomis, memilih komoditi lain untuk ditanam karena menghasilkan lebih banyak misalnya padi dengan delapan ton produksi bisa mendapatkan Rp80 juta, sedangkan kedelai, berproduksi dua ton dengan harga jual Rp8.500 hanya mendapatkan Rp17 juta.

"Petani itu cerdas, mereka lebih memilih yang menanam padi karena lebih menguntungkan dari sisi ekonomi," kata Sony.

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018