Bogor (Antaranews Megapolitan) - Ubi kayu merupakan komoditas pertanian yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku produk pangan, pakan, maupun bahan baku industri. Akan tetapi komoditas ini kurang mendapat perhatian yang serius dalam pengembangannya.
Peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yaitu Dr. Nurul Khumaida mengungkapkan bahwa kebutuhan ubi kayu sangat tinggi. Beberapa tahun ini Indonesia mengimpor ubi kayu (dalam bentuk chips dan tapioka). Seyogyanya pemerintah memberikan perhatian yang lebih serius, selain terfokus pada pajale (padi, jagung, kedelai).
“Kebutuhan ubi kayu itu luar biasa karena pemanfaatannya tidak hanya untuk pangan tetapi juga industri. Diantaranya tapioka kemudian untuk pakan ternak, juga potensi untuk menjadi bioenergi,” tuturnya.
Dalam pengusahaan ubi kayu untuk industri, para pembudidaya masih terkendala untuk mendapatkan bibit, sebagai peneliti ia merasa tertantang untuk mencoba mengembangkan teknologi perbanyakan bibit ubi kayu secara in-vitro.
Teknik in vitro itu adalah suatu teknik untuk perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian jaringan dari suatu tanaman yang ditumbuhkan pada media tanam secara in vitro. Kita sering menyebutnya sebagai kultur jaringan. Perbanyakan tanaman secara in vitro dapat dilakukan pada tanaman ubi kayu untuk mendukung industri pembibitannya.
“Teknik in vitro atau kultur jaringan hanya untuk perbanyakan tanaman secara massal dan tidak mengubah apapun (genetik tanaman). Akan tetapi bibit yang dihasilkan itu seragam, vigor dan bebas virus,” ujarnya.
Untuk itulah ia bersama anggota tim peneliti yang tergabung dalam Catalyst (Cassava for life style), yaitu tim yang fokus menekuni tentang ubi kayu, memulai riset menyeluruh tentang ubi kayu.
Peneliti yang aktif di Asian Cassava Breeders Network (ACBnet) dan sebagai perwakilan Indonesia sebagai steering comitee untuk ACBnet ini, mendapat tantangan bersama tim untuk menghasilkan varietas baru ubi kayu.
“Saya diberi tantangan oleh reviewer Dikti saat monev hibah penelitian untuk mengupayakan varietas baru ubi kayu IPB. Maka pada tahun 2014 dan melibatkan mahasiswa pascasarjana, saya mulai bergerak untuk berupaya menghasilkan varietas baru. Pendekatan yang digunakan adalah dengan memanfaatkan mutagen fisik yaitu iradiasi sinar gamma untuk meningkatkan keragaman. Pada tahun 2014 kami mendapat mutan potensial. Lebih dari 100 varian hasil iradiasi kita seleksi dan evaluasi. Saat ini ada sekitar 48 mutan potensial yang kami peroleh, selanjutnya kami akan coba uji daya hasil lalu dilanjutkan dengan uji multilokasi,” tuturnya.
Dalam memperoleh varietas baru, tim ini mempertimbangan karakter-karakter penting terkait dengan produktivitas dan kandungan pati yang tinggi. Kalau produktivitas per hektar dan kandungan patinya tinggi, maka rendemen pati yang dihasilkan dari satu areal itu akan tinggi.
Kemudian dipilih ubi kayu yang memiliki kandungan HCN (asam sianida) yang rendah untuk tujuan pangan dan HCN sedang-tinggi untuk tujuan industri.
Proses pengembangan terus berlanjut, tim Catalyst ini juga menyediakan berbagai program pelatihan terkait budidaya ubi kayu berkelanjutan, pascapanen dan pengolahan produk antara pengolahan menjadi produk pangan serta teknik perbanyakan bibit tanaman secara in-vitro.
“Sudah ada training modul, rencana online course untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan ubi kayu. Ini salah satu produk yang ditawarkan Catalyst, jadi tidak hanya menjual produk tetapi juga sharing teknologi melalui pelatihan. Publikasi yang dihasilkan selama riset mulai dari tahun 2009 sampai saat ini dapat dilihat di google scholar. Artinya riset ubi kayu untuk di IPB sudah lumayan kuat menurut saya,” tuturnya.
Tak hanya itu ia juga mengembangkan ubi kayu dalam aspek kewirausahaan. Pada tahun 2017 tim riset ini mendapat hibah skema CPPBT (calon perusahaan pemula berbasis teknologi), yang mengangkat ubi kayu menjadi produk yang bernilai bagi masyarakat. Selama satu tahun mereka mendapatkan hibah skema CPPBT.
“Saat evaluasi dinilai sukses, tim selanjutnya bekerjasama dengan alumni dan mahasiswa mengajukan proposal skema PPBT (perusahaan pemula berbasis teknologi) dan lolos didanai tahun 2018. Pada program ini, kolaborasi alumni dan mahasiswa yang tergabung dalam Catalyst dibina dan didampingi oleh Inkubator yang ditunjuk oleh Kemenristekdikti agar menjadi wirausahawan. Mereka mulai memutar roda bisnis di bidang ubi kayu di bawah payung perusahaan bernama Catalyst Agro Inovasi,” tandasnya.(IR/Zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018
Peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yaitu Dr. Nurul Khumaida mengungkapkan bahwa kebutuhan ubi kayu sangat tinggi. Beberapa tahun ini Indonesia mengimpor ubi kayu (dalam bentuk chips dan tapioka). Seyogyanya pemerintah memberikan perhatian yang lebih serius, selain terfokus pada pajale (padi, jagung, kedelai).
“Kebutuhan ubi kayu itu luar biasa karena pemanfaatannya tidak hanya untuk pangan tetapi juga industri. Diantaranya tapioka kemudian untuk pakan ternak, juga potensi untuk menjadi bioenergi,” tuturnya.
Dalam pengusahaan ubi kayu untuk industri, para pembudidaya masih terkendala untuk mendapatkan bibit, sebagai peneliti ia merasa tertantang untuk mencoba mengembangkan teknologi perbanyakan bibit ubi kayu secara in-vitro.
Teknik in vitro itu adalah suatu teknik untuk perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian jaringan dari suatu tanaman yang ditumbuhkan pada media tanam secara in vitro. Kita sering menyebutnya sebagai kultur jaringan. Perbanyakan tanaman secara in vitro dapat dilakukan pada tanaman ubi kayu untuk mendukung industri pembibitannya.
“Teknik in vitro atau kultur jaringan hanya untuk perbanyakan tanaman secara massal dan tidak mengubah apapun (genetik tanaman). Akan tetapi bibit yang dihasilkan itu seragam, vigor dan bebas virus,” ujarnya.
Untuk itulah ia bersama anggota tim peneliti yang tergabung dalam Catalyst (Cassava for life style), yaitu tim yang fokus menekuni tentang ubi kayu, memulai riset menyeluruh tentang ubi kayu.
Peneliti yang aktif di Asian Cassava Breeders Network (ACBnet) dan sebagai perwakilan Indonesia sebagai steering comitee untuk ACBnet ini, mendapat tantangan bersama tim untuk menghasilkan varietas baru ubi kayu.
“Saya diberi tantangan oleh reviewer Dikti saat monev hibah penelitian untuk mengupayakan varietas baru ubi kayu IPB. Maka pada tahun 2014 dan melibatkan mahasiswa pascasarjana, saya mulai bergerak untuk berupaya menghasilkan varietas baru. Pendekatan yang digunakan adalah dengan memanfaatkan mutagen fisik yaitu iradiasi sinar gamma untuk meningkatkan keragaman. Pada tahun 2014 kami mendapat mutan potensial. Lebih dari 100 varian hasil iradiasi kita seleksi dan evaluasi. Saat ini ada sekitar 48 mutan potensial yang kami peroleh, selanjutnya kami akan coba uji daya hasil lalu dilanjutkan dengan uji multilokasi,” tuturnya.
Dalam memperoleh varietas baru, tim ini mempertimbangan karakter-karakter penting terkait dengan produktivitas dan kandungan pati yang tinggi. Kalau produktivitas per hektar dan kandungan patinya tinggi, maka rendemen pati yang dihasilkan dari satu areal itu akan tinggi.
Kemudian dipilih ubi kayu yang memiliki kandungan HCN (asam sianida) yang rendah untuk tujuan pangan dan HCN sedang-tinggi untuk tujuan industri.
Proses pengembangan terus berlanjut, tim Catalyst ini juga menyediakan berbagai program pelatihan terkait budidaya ubi kayu berkelanjutan, pascapanen dan pengolahan produk antara pengolahan menjadi produk pangan serta teknik perbanyakan bibit tanaman secara in-vitro.
“Sudah ada training modul, rencana online course untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan ubi kayu. Ini salah satu produk yang ditawarkan Catalyst, jadi tidak hanya menjual produk tetapi juga sharing teknologi melalui pelatihan. Publikasi yang dihasilkan selama riset mulai dari tahun 2009 sampai saat ini dapat dilihat di google scholar. Artinya riset ubi kayu untuk di IPB sudah lumayan kuat menurut saya,” tuturnya.
Tak hanya itu ia juga mengembangkan ubi kayu dalam aspek kewirausahaan. Pada tahun 2017 tim riset ini mendapat hibah skema CPPBT (calon perusahaan pemula berbasis teknologi), yang mengangkat ubi kayu menjadi produk yang bernilai bagi masyarakat. Selama satu tahun mereka mendapatkan hibah skema CPPBT.
“Saat evaluasi dinilai sukses, tim selanjutnya bekerjasama dengan alumni dan mahasiswa mengajukan proposal skema PPBT (perusahaan pemula berbasis teknologi) dan lolos didanai tahun 2018. Pada program ini, kolaborasi alumni dan mahasiswa yang tergabung dalam Catalyst dibina dan didampingi oleh Inkubator yang ditunjuk oleh Kemenristekdikti agar menjadi wirausahawan. Mereka mulai memutar roda bisnis di bidang ubi kayu di bawah payung perusahaan bernama Catalyst Agro Inovasi,” tandasnya.(IR/Zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018