Sistem pertanian boleh berubah, dari manual ke mekanisasi, tetapi tradisi "Katto Bokko" saat panen raya Kekaraengan (Kerajaan adat) Marusu di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan tak lekang oleh zaman.

Saat menjelang panen, seperti biasa, selepas salat subuh warga dan keturunan Kekaraengan Marusu di Kampung Kassi Kebo, Kecamatan Maros Baru, Kabupaten Maros berkumpul di rumah adat yang dikenal dengan nama "Balla Lompoa".

Sebelumnya, pemuka adat dan pemerintah setempat berkumpul di rumah adat untuk persiapan upacara adat yang digelar sekali setahun setiap musim panen awal tahun.

Suara gendang dan gong menyeruak di pagi buta, pertanda persiapan menuju sawah adat segera dilakukan.

Para pemuda dan pemudi yang menggunakan pakaian adat berbaris di gerbang Balla Lompoa, diikuti oleh para tokoh adat yang dipimpin oleh Pemangku Adat Kerajaan Marusu, Abdul Waris Karaeng Sioja.

Suara gendang dan gong yang menghentak memicu langkah barisan pelaku adat semakin cepat menuju sawah adat seraya melintasi rumah warga.

Perjalanan yang ditempuh dengan berjalan kaki itu sekitar satu kilometer dari rumah adat, dan sinar keemasan di ufuk timur menyambut kehadiran mereka di tengah sawah.

Bulir-bulir padi yang sudah siap dipanen, semakin menunjukkan keindahannya saat tertimpa warna keemasan dari ufuk timur.

Setelah pemangku adat berdoa sebagai awal penanda panen, Keluarga Kerajaan Marusu dan warga setempat berbaur memotong padi dengan menggunakan alat tradisional "anai-anai".

Kendati membutuhkan waktu yang cukup lama dibanding menggunakan sabit ataupun sistem mekanisasi saat ini dengan mobil pemotong padi, tapi pihak keluarga kerajaan dan warga setempat tetap semangat dan bergotong-royong menyelesaikan sepetak sawah yang dipanen.

Jenis padi yang dipanen pun berbeda dengan padi pada umumnya yang ditanam warga. Padi tersebut adalah jenis "Banda" yang bibitnya sudah turun-temurun dari Kerajaan Marusu.

Sekitar pukul 10.00 WITA saat matahari sudah mulai terik, padi-padi yang dipanen itu kemudian diikat dalam dua kelompok besar dan selebihnya dalam kelompok ikatan kecil. Kemudian dua kelompok besar tersebut dihiasi dengan bunga yang ada di sekitar rumah warga.

Setelah itu padi tersebut diusung beramai-ramai ke rumah adat. Sebelum padi tersebut disimpan di loteng atau lumbung rumah adat, terlebih dahulu dilakukan upacara penyambutan dengan "A'ngaru" dengan syair atau seloka yang sarat petuah.

Menurut Karaeng Sioja yang merupakan anak dari Karaeng (Raja) Marusu ke-18 Tajuddin Karaeng Masiga ini, tradisi 'Katto Bokko" adalah wujud kesyukuran setelah panen dan ajang silaturahmi keluarga kerajaan dan warga.

Dia mengatakan, upacara ini juga merupakan wujud kebersamaan tanpa ada sekat antara pihak bangsawan dan masyarakat.

Panen raya dengan tradisi "Katto Bokko" ini, sekaligus menjadi ajang halal bihalal ketika bertepatan setelah hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha.

Perlakuan pada sistem pertanian sawah adat yang masih menggunakan alat tradisional termasuk menggunakan bajak yang ditarik dengan dua ekor sapi adalah bentuk menjaga kearifan lokal yang ramah lingkungan. Pemupukannya pun masih menggunakan pupuk organik.


Pelaksanaan "Kattu Bokko" yang dilaksanakan sekali dalam setahun umumnya digelar pada pekan terakhir bulan Maret atau April.

Suasana prosesi adat "Katto Bokko" dengan iring-iringan membawa hasil panen menuju rumah adat "Balla Lompoa di Kassi Kebo, Kecamatan Maros Baru, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. ANTARA/ Suriani Mappong

Baca juga: Panen raya berkah kesejahteraan petani
Baca juga: Menyerap gabah petani

Pewarta: Suriani Mappong

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2025