Jakarta (Antaranews Megapolitan) - Diskusi yang diselenggarakan Pusat Studi Pembangunan Strategis (Center for Strategic Development Studies/CSDS) menyoroti tentang pembentukan opini publik yang dilakukan oleh media konvensional.

"Media konvensional membentuk opini publik dengan melakukan `agenda setting`, mengajukan pertanyaan/isu yang dianggap penting dan mendiamkan isu yang dinilai tidak penting, meskipun kenyataan sebaliknya," kata Ketua Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII), sebuah komunitas keamanan siber, Dr Rudi Lumanto, seperti dilansir dari Humas CSDS di Jakarta, Minggu.

Diskusi bertema "Socmed Behaviour: Social Political Engineering by Social Media" yang berlangsung di gedung Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Center, Depok, Jawa Barat, dengan moderator peneliti CSDS Drs Sapto Waluyo, M.Sc itu, juga menghadirkan narasumber lain mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia Dr Adiseno.

Pada diskusi itu juga mencuat isu kekhawatiran bahwa di samping manfaatnya yang besar, media sosial dapat disalahgunakan untuk memanipulasi opini publik di berbagai belahan dunia.

Menurut Rudi Lumanto, sebagai contoh ia memberi rujukan mengenai isu pemanasan global.

"Isu pemanasan global begitu gencar dikampanyekan di seluruh dunia. Padahal, di sejumlah negara seperti Indonesia yang lebih mengerikan adalah polusi air sungai dan laut, polusi udara dan sampah di darat, serta kerusakan hutan tropis. Semua itu tenggelam oleh isu pemanasan global yang abstrak bagi sebagian orang awam," kata alumni University of Electro Communication, Tokyo, Jepang itu.

Ia mengutip penelitian terkini dari Samuel Woolley dan Philip Howard tentang propaganda komputasional berskala global.

Riset itu mengamati penggunaan media sosial di sembilan negara, yakni Rusia, Brazil, Kanada, China, Jerman, Polandia, Ukraina dan Amerika Serikat, dan Taiwan, untuk mempengaruhi opini publik.

Kesimpulannya, kebohongan dan misinformasi yang diproduksi media tradisional telah diamplifikasi secara "online" dan didukung algoritma "Facebook" serta "Twitter".

Di Rusia, katanya, sebanyak 45 persen akun Twitter aktif ternyata robot, termasuk yang konon digunakan untuk mempengaruhi pemilihan umum di AS tahun 2016 hingga memenangkan Donald Trump dan menyingkirkan Hillary Clinton.

Kasus intervensi itu sedang menjadi perdebatan hangat di negeri "Paman Sam".

Di Taiwan, ribuan akun media sosial yang sangat terkoordinasi tapi tidak sepenuhnya robot, digunakan untuk menyerang Presiden Tsai Ing-wen yang berbeda pandangan dengan pemimpin RRC.

Akun robot atau terkontrol itu menciptakan ilusi tentang popularitas dunia maya, termasuk isu yang dianggap penting dan genting.

Pembicara lain, Adiseno sepakat media sosial dapat mempengaruhi opini publik, bahkan bisa menggerakkan revolusi sosial, seperti pernah terjadi di Iran tahun 2009.

Ketika itu, pemilihan presiden di Iran yang menghadapkan dua kandidat: Mahmoud Ahmadinejad versus Mir Hossain Mousavi.

"Kecaman dan umpatan dalam media sosial sangat tinggi terhadap petahana Presiden Ahmadinejad menjelang Pemilu (12 Juni 2009). Bahkan, hasil pemilu yang memenangkan petahana dinilai penuh kecurangan. Namun, setelah pemerintah mengendalikan oposisi dan peringatan ulang tahun Revolusi Islam (11 Februari 2010), justru kecaman tertuju kepada Mousavi," kata Adiseno, yang menamatkan doktor bidang platform mobile di Royal Institute of Technology (KTH), Swedia.

Peneliti CSDS yang juga moderator diskusi Sapto Waluyo menyimpulkan perhatian harus diberikan untuk memproduksi konten positif di media sosial, agar tidak berkembang ujaran kebencian atau provokasi untuk konflik.

Selain itu, jalur distribusi untuk menyebarkan konten itu juga harus terbuka dan dapat diakses semua pihak.

"Saat ini, pengguna internet di Indonesia sangat tergantung pada platform yang dikuasai produsen asing. Padahal, aplikasi yang dikembangkan programer domestik cukup banyak, namun kurang didukung," kata alumni Hubungan Internasional Fisip Universitas Airlangga (Unair) yang menamatkan S-2 di S Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Kampus Nanyang Technological University (NTU) Singapura itu.

Sapto menunjukkan inisiatif China dan Jepang untuk mengembangkan platform komunikasi buatan sendiri.

Namun, tambahnya, pengelolaan informasi di era media sosial menuntut kompetensi dan profesionalitas tinggi, karena informasi yang diproduksi dan didistribusikan berbagai jalur sangat melimpah.

Instansi pemerintah, yakni Kemkominfo sebagai regulator, disebutnya harus profesional dan akuntabel.

"Sedangkan masyarakat pengguna harus semakin cerdas, agar tidak menjadi korban manipulasi. Media sosial dapat diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan konsensus nasional," demikian Sapto Waluyo.

(TZ.A035/B/F006/F006) 18-03-2018 13:43:07

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018