Dalam kunjungannya ke Rusia Expo, Dr. Devie Rahmawati mengamati bagaimana Rusia menghidupkan sejarah yang bukan sekadar memamerkan artefak, tetapi merangkai narasi yang menyentuh jiwa dan mengajak pengunjung untuk menyelami perjalanan panjang bangsa Rusia.
“Sejarah adalah guru kehidupan,” ujar Dr. Devie, mengutip filsuf Romawi Cicero.
“Di Rusia, sejarah tidak dibiarkan mati dalam buku, tetapi dihadirkan sebagai pengalaman yang menginspirasi. Ini adalah bentuk penghormatan yang konkret terhadap masa lalu, sekaligus cara untuk memperkuat identitas bangsa di masa kini dan masa depan," kata Devie dalam keterangannya, Rabu.
Salah satu pameran yang menarik perhatian Dr. Devie adalah The Birth of Scale. Pameran ini tidak hanya menampilkan model skala dan peta interaktif, tetapi juga menceritakan evolusi arsitektur Rusia dari era kekaisaran hingga modernitas.
Setiap gaya bangunan, seperti gaya Baroque di era Peter Agung, mencerminkan pergulatan politik, budaya, dan identitas nasional.
“Pameran ini bukan sekadar hiburan,” jelas Dr. Devie.
Ia adalah alat pemersatu yang membangun kebanggaan nasional melalui kejayaan masa lalu dan inovasi masa kini.
Rusia membuktikan bahwa teknologi digital dapat menjadi jembatan yang menghubungkan generasi masa lalu, kini, dan masa depan.
Berdasarkan data dari situs resmi Rusia Expo (https://en.russia.ru/), sejak dibuka. Tidak hanya warga Rusia, tetapi juga turis internasional, 95 persen pengunjung menyatakan bahwa mereka merasa lebih memahami dan menghargai sejarah Rusia setelah mengunjungi pameran.
Dr. Devie menambahkan Rusia telah membuktikan bahwa menghidupkan sejarah melalui teknologi digital bukan hanya menarik, tetapi juga efektif dalam membangun identitas nasional.
Ini adalah pelajaran berharga bagi kita semua, terutama di era di mana globalisasi seringkali mengikis identitas lokal.
Mengutip Marcus Garvey, Dr. Devie mengingatkan, “A people without the knowledge of their past history, origin, and culture is like a tree without roots.” Sejarah dan budaya adalah fondasi yang membuat sebuah bangsa tegak berdiri.
Rusia, melalui pameran-pameran ini, telah menunjukkan bagaimana sejarah dapat menjadi alat untuk memperkuat identitas dan kebanggaan nasional.
“Belajar dari Rusia, Sejarah bukanlah sesuatu yang statis. Ia harus dihidupkan, diceritakan, dan dijadikan inspirasi bagi generasi mendatang. Dengan begitu, kita tidak hanya menghormati masa lalu, tetapi juga membangun masa depan yang lebih kuat dan bermartabat.” tegas Dr. Devie.
Bagaimana Indonesia bisa meniru kesuksesan ini? Untuk menjadikan sejarah sebagai jiwa bangsa, Indonesia perlu langkah strategis.
Walau tantangan terbesar dalam merealisasikan expo imersif adalah anggaran dan kesinambungan.
Pemerintah perlu mengalokasikan dana untuk program edukatif, agar kebebasan untuk memahami identitas bersama dapat terwujud.
Solusinya bisa dimulai dari skala kecil. Contoh-contoh aktivitas yang bisa dilakukan antara lain:
Expo Keliling dengan Konsep Pop-Up
Menggunakan kontainer bekas yang diubah menjadi galeri portable. Setiap kontainer mewakili satu pulau, dengan konten yang didesain oleh komunitas lokal. Biayanya terjangkau, dan bisa menjangkau daerah terpencil.
Kemitraan dengan UMKM dan Desa Wisata
Desa Penglipuran di Bali atau Kampung Naga di Tasikmalaya Jawa Barat bisa menjadi mitra untuk menyediakan artefak atau workshop budaya. Dengan ini, expo sekaligus mendongkrak ekonomi kreatif.
Teknologi Ramah Kantong
Daripada VR mahal, gunakan QR Code yang terhubung ke video dokumenter pendek di YouTube, atau podcast naratif yang bisa diakses via smartphone.
Harapannya, expo tidak hanya jadi ajang pajangan, tetapi laboratorium kebudayaan.
Ambil contoh Proyek Seni Rupa Komunitas di Yogyakarta: seniman jalanan, akademisi, dan anak muda berkolaborasi menciptakan mural bertema sejarah perjuangan Indonesia.
Karya ini tidak hanya indah, tetapi memicu diskusi tentang makna kemerdekaan di era digital.
Editor : Feru Lantara
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2025