Bogor (Antaranews Megapolitan) - Sepanjang tahun 2017 dunia bisnis di Indonesia menyaksikan banyak sekali perubahan-perubahan, baik yang dapat diprediksi maupun yang terjadi dengan sangat tiba-tiba. Pemain-pemain baru datang dengan membawa teknologi dan proses bisnis yang baru mampu menumbangkan market leader yang sudah mapan.

Revolusi internet telah merombak arsitektur bisnis di Indonesia, seperti munculnya angkutan berbasis aplikasi serta bertumbuhnya toko online yang sangat pesat telah menjadi challenger yang mengerikan bagi pemain-pemain utama. Angkutan konvensional harus berusaha keras agar tetap mendapatkan pasar, sementara ritel-ritel banyak yang tumbang baik karena menurunnya daya beli masyarakat maupun karena perubahan perilaku konsumsi masyarakat.

Hal ini terungkap dalam acara Knowledge Sharing yang berlangsung di Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) Institut Pertanian Bogor (IPB) (27/12). Acara yang mengangkat tema ”Menyambut Era Disrupsi” ini merupakan rangkaian dari kegiatan refleksi akhir tahun dari sivitas akademika di IPB.

Ketua Departemen Manajemen FEM IPB, Dr. Mukhamad Najib menjelaskan bahwa saat ini perubahan berlangsung dengan cepat dan merusak berbagai tatanan mapan yang sudah ada, bagi mereka yang tidak siap akan segera hilang ditelan zaman. Oleh karena itu, ia menyarankan agar pengelola bisnis selalu waspada dan berusaha agar bisnisnya tetap relevan di tengah perubahan yang sering bersifat mendadak, inilah yang disebut disrupsi.

“Kita lihat Nokia, tidak ada masalah dengan kualitas Nokia. Nokia komunikator merupakan smart phone terbaik di zamannya. Tapi tiba-tiba pasarnya dihantam tsunami Android dan IOS, Nokia dengan basis operasi Symbian-nya pun lempar handuk, tak sanggup melanjutkan pertarungan dengan pendatang baru. Hal itu bukan karena kualitas Nokia yang buruk, tapi fungsi-fungsinya dianggap tidak relevan setelah Android dan IOS datang," papar Najib.

Knowledge Sharing ini juga dihadiri oleh Dr. Abdul Basith yang merupakan motivator nasional. Basith menjelaskan bahwa 50 persen dari perusahaan-perusahaan yang terdapat di Fortune’500 telah menghilang sejak tahun 2000. Hal ini merupakan dampak dari disrupsi yang telah mengubah cara orang berbisnis sebagaimana juga telah mengubah kehidupan personal konsumen.

Disrupsi, menurutnya, telah menyebabkan siklus hidup produk menjadi semakin pendek. ”Produk menjadi cepat usang karena produk baru bermunculan dengan sangat cepat. Dalam situasi ini, perusahaan yang terlambat melakukan inovasi akan tergilas oleh persaingan dan segera punah," tambah Basith.

Menurutnya, di era disrupsi ini bukan hanya produk atau bisnis yang akan hilang, tapi juga profesi. Diperkirakan ada beberapa profesi yang kemungkinan akan tergantikan dengan teknologi, seperti sales counter, kasir supermarket, bahkan mungkin dosen juga akan hilang. Saat ini orang bisa belajar dari internet dan perusahaan tidak lagi memandang kompetensi identik dengan tingkat dan jenis pendidikan.

“Sekarang beberapa perusahaan besar lebih fokus pada kemampuan apa yang dimiliki oleh calon pekerja, bukan ijazah apa yang dimiliki. Kemampuan ini ternyata tidak harus didapat dari dosen atau lembaga pendidikan, tapi bisa darimana saja termasuk internet," jelas Basith.

Meski disrupsi ini mengerikan bagi mereka yang tidak siap, Basith sendiri menyarankan agar kita tidak terlalu paranoid. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh perusahaan untuk bisa tetap survive dalam lingkungan yang terdisrupsi, yaitu perusahaan harus bisa menawarkan experience-centric, dimana konsumen bisa memperoleh pengalaman yang unik dan membuatnya ingin dan ingin mengkonsumsi lagi; sustainable innovation, dimana kebaruan menjadi kunci untuk memanjakan konsumen yang semakin cepat bosan, dan service oriented, dimana model bisnis dikembangkan dengan berfokus pada pelayanan yang memuaskan konsumen.

Pewarta: Oleh: Humas IPB

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017