Boogr (Antara Megapolitan) - Selama puluhan tahun, masyarakat Indonesia dan juga etnis Asia telah menjadikan belut sawah, Monopterus albus sebagai makanan lezat dari tangkapan alam. Meningkatnya kebutuhan hidup, baik untuk pemenuhan gizi dan pendapatan keluarga, menjadikan belut sawah menjadi komoditas bernilai ekonomis yang ditangkap, dikonsumsi dan diperdagangkan baik di pasar lokal, nasional maupun internasional.

Permintaan pasar akan belut terus meningkat. Sementara tangkapan menurun dikarenakan polusi dan penyusutan areal pesawahan. Seorang peneliti dari Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (FPIK IPB), Dr Yani Hadiroseyani menjelaskan, pasokan belut di pasar makanan umumnya berasal dari stok liar dari perairan alami dan sawah.

“Namun dalam sepuluh tahun terakhir tangkapannya cenderung menurun karena kerusakan habitat, polusi air dan penggunaan pestisida yang berlebihan,” tutur Yani.

Situasi tersebut akhirnya mendorong kegiatan budidaya ikan seperti yang telah dikembangkan di China, Thailand, dan Vietnam. Di Indonesia sendiri belut dibudidayakan secara tradisional di kolam dengan substrat tanah yang ditutupi air dangkal sejak tahun 1986. Namun sejauh ini belum ramai kisah sukses yang dilaporkan.

Peneliti ini menjelaskan bahwa sejak tahun 1979 belut telah dibudidayakan secara tradisional di tangki berbentuk drum yang diisi dengan campuran lumpur sebagai habitat buatannya. Namun sampai saat ini panen yang dilakukan belum memberikan hasil yang optimal dikarenakan tingkat kelangsungan hidup belut yang sangat rendah. Percobaan demi percobaan terus berlanjut untuk menghasilkan sebuah metode  terbaik dalam budidaya belut.

Baru-baru ini, penelitian tentang budidaya belut dalam air jernih dilakukan untuk mempermudah proses budidaya serta pemantauan ikan yang lebih baik dibandingkan dengan metode tradisional. Yani dan timnya mencoba membudidayakan belut pada sistem air bersih tanpa lumpur. Dari percobaannya diperoleh tingkat kelangsungan hidup yang tinggi yaitu 90 sampai 100 persen dengan penambahan garam pada air pemeliharaan.

“Meningkatkan salinitas (kadar garam) air sampai 9 gram per liter mengurangi gradien osmotik belut ke tingkat isosmotik dan mencegah kebocoran natrium darah. Mengingat penambahan garam akan meningkatkan produksi biaya, maka sistem resirkulasi diterapkan pada tangki kultur untuk meminimalkan penggunaan jumlah garam dan juga mengurangi volume air secara efektif. Sistem ini juga terbukti mampu mendukung tingkat kepadatan tinggi hingga 55 gram per liter dengan menghasilkan kelangsungan hidup 90 persen setelah sembilan bulan periode budidaya,” ungkapnya.

Berbagai percobaan lainnya telah dilakukan seperti yang dilakukan Rahmat pada tahun 2016, budidaya belut dalam media air memperoleh kelangsungan hidup 93-96 persen dengan penambahan garam 3-9 gram per liter dan dengan pergantian air.

Begitu pula Herwanti tahun 2017 membudidayakan belut dalam sistem resirkulasi memperoleh kelangsungan hidup mencapai 99 persen dengan pengenceran air laut pada 9 gram per liter. Sistem budidaya dalam kolam air tanpa lumpur dapat diterapkan pada belut sawah dengan menggunakan sistem resirkulasi. Hal ini juga dapat menghasilkan kelangsungan hidup belut yang tinggi secara efisien. (IRM/ris)

Pewarta: Oleh: Humas IPB/Dr Yani Hadiroseyani

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017