Di era digital yang berkembang pesat, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan inovasi teknologi dengan keamanan siber.
Perkembangan pesat dalam bidang fintech, e-commerce, layanan digital pemerintahan, serta inisiatif transformasi digital nasional menjadi bukti bahwa negara ini tengah mengalami akselerasi digital yang signifikan. Tantangan utama yang muncul adalah bagaimana memastikan inovasi ini tetap aman dari ancaman siber yang semakin kompleks.
Perkembangan pengguna internet Indonesia yang terus naik dari tahun ke tahun yang mencapai angka 221 juta pengguna di tahun 2024, disertai dengan peningkatan ekonomi digital Indonesia dari 27 miliar dollar Amerika pada tahun 2018 menjadi 90 miliar dollar Amerika pada tahun 2024, juga menunjukkan semakin tingginya inovasi serta transformasi digital di Indonesia.
Transformasi ini bertujuan untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 yang diharapkan akan menjadikan Indonesia menjadi negara nusantara yang berdaulat, maju, dan berkelanjutan.
Namun, pertumbuhan pengguna internet dan ekonomi digital tersebut diikuti juga dengan banyaknya insiden keamanan siber yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2024.
Tentu saja dalam melakukan sebuah inovasi dan transformasi digital perlu juga dipertimbangkan keseimbangan aspek keamanan siber. Dalam hal ini, inovasi yang dihasilkan bukan hanya meningkatkan daya saing tetapi juga memperkenalkan risiko di dalamnya.
Keseimbangan antara inovasi dan keamanan merupakan sebuah hal yang penting untuk kesuksesan yang berkelanjutan.
Konflik antara inovasi dan keamanan yang mungkin terjadi antara lain inovasi yang terlalu cepat seringkali melupakan aspek keamanan yang esensial. Prioritas anggaran juga menjadi konflik karena seringkali perusahaan lebih memprioritaskan anggaran untuk melakukan inovasi dibandingkan investasi terhadap komponen keamanan. Kemudahan akses yang ditawarkan pada sebuah inovasi juga menjadikan semakin tingginya celah kerawanan keamanan.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan Indonesia menjadi target utama peretasan adalah percepatan transformasi digital yang tidak selalu diimbangi dengan sistem keamanan yang memadai. Banyak organisasi, baik di sektor publik maupun swasta, lebih berfokus pada pengembangan fitur baru, meningkatkan efisiensi layanan, dan mempercepat adopsi teknologi tanpa mengutamakan keamanan sejak tahap desain sistem.
Hal ini terlihat dari berbagai proyek strategis nasional, seperti Pusat Data Nasional (PDN) dan Coretax, yang dalam perancangannya tidak secara optimal melibatkan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Pembangunan PDN yang bertujuan untuk mengonsolidasikan infrastruktur data pemerintahan menjadi satu pusat penyimpanan nasional adalah langkah besar dalam efisiensi pengelolaan data negara.
Namun, desain awal PDN mengabaikan keterlibatan penuh BSSN dalam perancangan sistemnya, yang berpotensi meninggalkan celah keamanan. Tanpa standar enkripsi nasional dan mekanisme mitigasi ancaman yang komprehensif, PDN dapat menjadi target utama bagi peretas yang ingin mengakses data sensitif milik pemerintah dan warga negara.
Kasus kebocoran data yang berulang di Indonesia menunjukkan betapa rentannya sistem digital nasional jika aspek keamanan tidak dijadikan prioritas sejak awal.
Demikian pula dengan Coretax, sistem perpajakan yang dikembangkan untuk modernisasi layanan Direktorat Jenderal Pajak, juga menghadapi tantangan serupa. Ketidakterlibatan BSSN dalam desain awal sistem ini menunjukkan tentang kurangnya perhatian terhadap aspek keamanan siber dalam sistem yang mengelola data keuangan negara.
Padahal, sistem perpajakan merupakan salah satu target utama bagi kelompok peretas, baik yang bertujuan untuk mencuri data keuangan maupun untuk melakukan aksi sabotase terhadap sistem administrasi fiskal suatu negara.
Dengan meningkatnya serangan siber berbasis ransomware dan Advanced Persistent Threats (APT), membangun sistem perpajakan yang tidak memiliki framework keamanan yang kuat sejak awal adalah sebuah risiko besar.
Untuk dapat menciptakan sebuah keseimbangan antara inovasi dan keamanan, ada beberapa langkah strategis yang perlu diambil oleh pemerintah dan sektor swasta.
Penerapan prinsip Security by Design harus menjadi standar dalam setiap proyek digital nasional. Artinya, keamanan harus menjadi bagian integral sejak tahap perancangan sistem, bukan hanya ditambahkan setelah sistem mulai dioperasikan. Hal ini mencakup integrasi standar keamanan internasional seperti ISO 27001, NIST Cybersecurity Framework, dan praktik terbaik dalam enkripsi serta perlindungan data.
Adopsi Zero Trust Architecture (ZTA) menjadi sangat penting dalam era transformasi digital ini. Dengan prinsip never trust, always verify, sistem digital nasional harus menerapkan autentikasi berlapis dan pemantauan ketat terhadap semua aktivitas dalam jaringan. Hal ini akan mengurangi risiko akses tidak sah serta serangan insider yang sering menjadi vektor utama peretasan sistem pemerintahan.
Pemanfaatan AI untuk melakukan pendeteksian ancaman juga dapat dipergunakan karena dengan pemanfaatan AI tersebut akan memudahkan dalam melakukan analisis serta mendeteksi ancaman lebih cepat dan automasi respon insiden serta mitigasi serangan juga akan menurunkan proses kerja manual dan akan dapat menurunkan waktu respon jika terjadi suatu insiden siber.
Pemerintah juga perlu memperkuat peran dan koordinasi antara berbagai institusi yang terlibat dalam keamanan siber. Keterlibatan BSSN dalam setiap inisiatif strategis digital seyogyanya menjadi sebuah keharusan, bukan sekadar opsional.
Jika keamanan tidak dijadikan aspek utama dalam proyek besar seperti PDN dan Coretax, maka Indonesia hanya akan mengulang kesalahan yang sama dalam kasus kebocoran data sebelumnya.
Selain itu, harmonisasi regulasi keamanan siber juga perlu ditingkatkan agar seluruh pemangku kepentingan memiliki standar dan kewajiban yang jelas dalam menjaga sistem digital mereka dari ancaman.
Kegagalan dalam menyeimbangkan inovasi dan keamanan akan membawa dampak yang serius bagi Indonesia seperti risiko kebocoran data nasional akan semakin meningkat yang tidak hanya merugikan individu tetapi juga bisa membahayakan stabilitas negara. Kepercayaan publik terhadap layanan digital akan menurun jika sistem pemerintahan terus mengalami gangguan akibat serangan siber dan jika Indonesia tidak mampu membangun sistem digital yang aman, maka investasi asing dalam sektor teknologi akan berkurang karena dianggap terlalu berisiko.
Kasus-kasus kebocoran data yang terjadi di berbagai negara menunjukkan bahwa membangun sistem digital tanpa keamanan yang kuat akan berujung pada konsekuensi finansial dan reputasi yang serius.
Misalnya, serangan terhadap institusi keuangan di beberapa negara berkembang telah menyebabkan kerugian miliaran dolar akibat eksploitasi celah keamanan dalam sistem digital yang baru dikembangkan.
Jika Indonesia ingin menjadi pemain utama dalam ekonomi digital global, maka keamanan siber harus menjadi pondasi utama dalam setiap langkah inovasi yang dilakukan.
Menyeimbangkan inovasi dan keamanan bukanlah suatu tugas yang mudah, tetapi merupakan keharusan bagi Indonesia di tengah pesatnya transformasi digital. Proyek-proyek strategis nasional seperti PDN harus memastikan bahwa aspek keamanan menjadi bagian integral dalam desain sistem mereka.
Keterlibatan penuh BSSN, penerapan standar keamanan global, serta penguatan regulasi siber adalah langkah kunci untuk memastikan bahwa inovasi yang dilakukan tidak membuka celah bagi ancaman siber.
Keamanan siber bukanlah penghambat inovasi, melainkan sebagai sebuah katalis untuk dapat menciptakan ekosistem digital yang berkelanjutan dan terpercaya.
Jika Indonesia ingin mencapai visi sebagai kekuatan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, maka keseimbangan antara inovasi dan keamanan harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan dan implementasi teknologi yang dilakukan.
*) Dr. Pratama Persadha adalah Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia (CISSReC)
Editor : Naryo
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2025