Bogor (Antara Megapolitan) - Masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian utama pada Lanjut Usia (Lansia) adalah osteoporosis. Osteoporosis terjadi karena penurunan proses penyerapan kalsium dalam tubuh.

Untuk mengatasinya, susu menjadi pilihan jitu. Namun susu sapi yang biasa dikonsumsi memiliki kadar lemak yang tinggi yang dapat memicu terjadinya stroke.

Alternatif lain adalah mengonsumsi susu kedelai yang rendah lemak. Namun susu kedelai memiliki kandungan kalsium yang sedikit dan tidak dapat memenuhi kebutuhan kalsium lansia.
 
Sementara itu, bulu babi (Diadema setosum) merupakan salah satu produk perikanan yang telah menjadi komoditi penting di berbagai negara. Bagian dari bulu babi yang banyak dimanfaatkan selama ini adalah bagian gonadnya.

Limbah cangkang bulu babi dengan nilai rendemen lebih dari 90% masih belum dimanfaatkan. Cangkang bulu babi memiliki kandungan mineral yang tinggi yang berpotensi dijadikan sumber kalsium alami.
 
Hal inilah yang mendasari Syahira Addina, Mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK, Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk melakukan penelitian tentang produksi kalsium dari cangkang bulu babi.

Syahira memproduksi kalsium dari cangkang bulu babi dalam ukuran nanopartikel dan menganalisis kecepatan penyerapannya yang telah difortifikasi dalam susu kedelai pada tikus Sprague Dawley.

Judul penelitiannya adalah Karakteristik Nanokalsium Cangkang Bulu Babi (Diadema setosum) dan Efektivitas Penyerapannya Secara In Vivo. Penelitian ini dilakukan dibawah bimbingan Dr Dra Pipih Suptijah, MBA dan Prof Dr Ir Dewi Apri Astuti, MS.
 
''Susu kedelai merupakan jenis susu imitasi karena bahan bakunya berasal dari bahan nabati. Susu kedelai ini memiliki kandungan gizi yang sangat baik karena mendekati kandungan gizi pada susu sapi. Namun, kandungan kalsiumnya masih tergolong rendah. Dalam 1 cup susu kedelai hanya terdapat 61 mg kalsium sedangkan dalam susu sapi mencapai 285 mg. Maka diperlukan fortifikasi nanokalsium pada susu kedelai untuk memenuhi kebutuhan kalsium lansia'', ungkap Syahira.
 
Syahira menggunakan hewan uji tikus Sprague Dawley untuk menganalisis kecepatan penyerapan nanokalsium. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rendemen nanokalsium yang diperoleh adalah (2,81±0,20)% dengan kadar abu nanokalsium sebesar (80,14±0,62)%.
 
''Kadar abu yang tinggi ini menunjukkan bahwa proses demineralisasi dapat melarutkan sebagian besar mineral dalam cangkang bulu babi, sehingga kandungan bahan anorganik dalam nanokalsium menjadi tinggi. Nanokalsium cangkang bulu babi mengandung komposisi mineral Ca, Mg, Na, K, Mn, Zn, P dan Fe. Kandungan mineral terbesar pada cangkang bulu babi yaitu kalsium dan magnesium,'' ujarnya.
 
Ukuran nanokalsium yang difortifikasi ke dalam susu kedelai adalah (9,66 ± 2,288) nm. Fortifikasi dilakukan sebanyak 5% ke dalam susu kedelai.

Hasil menunjukkan bahwa penyerapan kalsium dalam ukuran nano terjadi lebih cepat daripada kalsium dalam bentuk mikro.

Nanokalsium dapat diserap ke dalam darah sebanyak 5,91% setiap menit sedangkan mikrokalsium hanya dapat diserap 1,30% setiap menit.
 
''Ini menunjukkan bahwa nanokalsium lebih banyak di serap dalam darah jika dibandingkan dengan mikrokalsium pada waktu yang sama,'' ujarnya.
 
Kalsium yang berukuran nano dapat terabsorpsi secara cepat dan sempurna ke dalam tubuh. Penyerapan kalsium ini akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyerapan.
 
Syahira berharap hasil penelitiannya ini dapat memberikan informasi tentang pembuatan nanokalsium dari cangkang bulu babi (Diadema setosum).

''Saya berharap hasil penelitian ini dapat menjadi alternatif untuk membantu mengatasi permasalahan defisiensi kalsium pada lansia akibat menurunnya penyerapan kalsium, juga memberikan informasi tentang kecepatan penyerapan nanokalsium cangkang bulu babi'', tutupnya. (NIRS/Zul)
 

Pewarta: Humas IPB/Syahira Addina

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017