Bogor (Antara Megapolitan) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (KPPA) mendorong pemberitaan media massa yang responsif terhadap gender dan anak dengan menggelar pelatihan jurnalisme yang responsif gender dan anak.
Asisten Deputi Partisipasi Masyarakat KPPA, Fatahillah mengatakan di Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu, pemberitaan yang sensitif terhadap gender dan anak merupakan bagian dari partisipasi masyarakat dalam terwujudnya kesetaraan gender dan perlindungan anak.
"Kami mendorong agar media di Tanah Air dalam pemberitaannya sensitif terhadap gender dan anak, tidak adanya ekploitasi perempuan, atau pemilihan diksi yang mengekploitasi seorang perempuan," kata Fatahillah kepada sejumlah penggiat media.
Contoh pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual antara lain sebuah info gratis di salah satu media menampilkan gambar kaki wanita yang terbuka lebar. Atau berita tentang seorang polwan cantik yang mengamankan lalu lintas.
Penggunaan kalimat cantik, ataupun info grafis yang menggambarkan bagian tubuh wanita termasuk dalam ekploitasi terhadap perempuan, katanya.
"Melalui pelatihan ini para penggiat media diharapkan dapat lebih tahu pemberitaan yang responsif gender dan anak, karena media punya peran ganda, bisa juga menjadi media mengkampanyekan bagaimana kejahatan terhadap perempuan dan anak itu terjadi, tapi bisa juga mendorong lahirnya kebijakan pemerintah dalam isu perempuan dan anak," kata Fatahillah.
Ia mengatakan pelatihan tersebut telah dilaksanakan di sembilan provinsi, termasuk di tingkat pusat, salah satunya di Bogor yang diikuti sejumlah media dari Jabodetabek.
Pelatihan tersebut untuk meningkatkan wawasan penggiat media dalam pemberitaan yang responsif terhadap gender dan anak. KPPA bekerja sama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
"Peran media sebagai bagian dari masyarakat mutlak diperlukan dalam mengentaskan persoalan terhadap anak dan perempuan," katanya.
Pelatihan jurnalisme yang responsif gender dan anak menghadirkan sejumlah narasumber di antaranya Samiaji Bintang, Direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) dan Kepala Biro Hukum dan Humas KPPA Hasan.
Samiaji Bintang mengingatkan kesetaraan gender merupakan isu kelima dalam pembangunan berkelanjutan atau "Sustainable Development Goal (SDGs)" yang ditetapkan oleh PBB untuk dicapai pada tahun 2030.
Sementara itu, Kepala Biro Hukum dan Humas KPPA Hasan menyebutkan media berperan penting dalam menyosialisasikan kebijakan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
"Media sarana ampuh untuk KPPA dalam sosialisasikan kebijakan. Maka itu kita memiliki asisten deputi bidang partisipasi masyarakat, salah satunya peran media massa," kata Hasan.
Menurut dia, perempuan dan anak merupakan kelompok rentan dieksploitasi, pelabelan, tindak kekerasan seksual sehingga banyak yang menuntut hak-halnya. Pemerintah hadir memberikan perhatian penuh untuk anak dan perempuan dengan memberikan perlakuan khusus.
"Undang-undang yang dibuat KPPA maksudnya keinginan pemerintah melindungi perempuan dan anak dari kekerasan, eksploitasi dan pelabelan," kata Hasan.
Hasan menambahkan KPPA banyak bergerak dalam penyusunan kebijakan, kalau ada kebijakan yang tidak berjalan salah satunya dikarenakan aparat di tingkat bawah seperti penegak hukum (polisi dan jasa) yang belum melaksanakan amanat undang-undang dengan optimal.
"Bisa jadi kurang memahami, undang-undang dianggap diskriminatif terhadap laki-laki, terlalu mencampuri urusan pribadi, terkait moral, dan dianggap negara tidak perlu intervensi masalah pribadi cukup dengan musyawarah saja," kata Hasan.
Hasan menambahkan saat ini KPPA sedang merevisi sejumlah undang-undang terkait perlindungan anak dan perempuan di antaranya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak serta Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
Asisten Deputi Partisipasi Masyarakat KPPA, Fatahillah mengatakan di Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu, pemberitaan yang sensitif terhadap gender dan anak merupakan bagian dari partisipasi masyarakat dalam terwujudnya kesetaraan gender dan perlindungan anak.
"Kami mendorong agar media di Tanah Air dalam pemberitaannya sensitif terhadap gender dan anak, tidak adanya ekploitasi perempuan, atau pemilihan diksi yang mengekploitasi seorang perempuan," kata Fatahillah kepada sejumlah penggiat media.
Contoh pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual antara lain sebuah info gratis di salah satu media menampilkan gambar kaki wanita yang terbuka lebar. Atau berita tentang seorang polwan cantik yang mengamankan lalu lintas.
Penggunaan kalimat cantik, ataupun info grafis yang menggambarkan bagian tubuh wanita termasuk dalam ekploitasi terhadap perempuan, katanya.
"Melalui pelatihan ini para penggiat media diharapkan dapat lebih tahu pemberitaan yang responsif gender dan anak, karena media punya peran ganda, bisa juga menjadi media mengkampanyekan bagaimana kejahatan terhadap perempuan dan anak itu terjadi, tapi bisa juga mendorong lahirnya kebijakan pemerintah dalam isu perempuan dan anak," kata Fatahillah.
Ia mengatakan pelatihan tersebut telah dilaksanakan di sembilan provinsi, termasuk di tingkat pusat, salah satunya di Bogor yang diikuti sejumlah media dari Jabodetabek.
Pelatihan tersebut untuk meningkatkan wawasan penggiat media dalam pemberitaan yang responsif terhadap gender dan anak. KPPA bekerja sama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
"Peran media sebagai bagian dari masyarakat mutlak diperlukan dalam mengentaskan persoalan terhadap anak dan perempuan," katanya.
Pelatihan jurnalisme yang responsif gender dan anak menghadirkan sejumlah narasumber di antaranya Samiaji Bintang, Direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) dan Kepala Biro Hukum dan Humas KPPA Hasan.
Samiaji Bintang mengingatkan kesetaraan gender merupakan isu kelima dalam pembangunan berkelanjutan atau "Sustainable Development Goal (SDGs)" yang ditetapkan oleh PBB untuk dicapai pada tahun 2030.
Sementara itu, Kepala Biro Hukum dan Humas KPPA Hasan menyebutkan media berperan penting dalam menyosialisasikan kebijakan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
"Media sarana ampuh untuk KPPA dalam sosialisasikan kebijakan. Maka itu kita memiliki asisten deputi bidang partisipasi masyarakat, salah satunya peran media massa," kata Hasan.
Menurut dia, perempuan dan anak merupakan kelompok rentan dieksploitasi, pelabelan, tindak kekerasan seksual sehingga banyak yang menuntut hak-halnya. Pemerintah hadir memberikan perhatian penuh untuk anak dan perempuan dengan memberikan perlakuan khusus.
"Undang-undang yang dibuat KPPA maksudnya keinginan pemerintah melindungi perempuan dan anak dari kekerasan, eksploitasi dan pelabelan," kata Hasan.
Hasan menambahkan KPPA banyak bergerak dalam penyusunan kebijakan, kalau ada kebijakan yang tidak berjalan salah satunya dikarenakan aparat di tingkat bawah seperti penegak hukum (polisi dan jasa) yang belum melaksanakan amanat undang-undang dengan optimal.
"Bisa jadi kurang memahami, undang-undang dianggap diskriminatif terhadap laki-laki, terlalu mencampuri urusan pribadi, terkait moral, dan dianggap negara tidak perlu intervensi masalah pribadi cukup dengan musyawarah saja," kata Hasan.
Hasan menambahkan saat ini KPPA sedang merevisi sejumlah undang-undang terkait perlindungan anak dan perempuan di antaranya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak serta Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017