Terhitung 25 kali kata “kreatif” dicantumkan dalam dokumen Asta Cita, delapan misi pemerintahan Prabowo-Gibran. Dari jumlah itu, 10 kali di antaranya disebut “industri kreatif” dan 10 kali pula dimunculkan “ekonomi kreatif”.
Dari sini terlihat ada keinginan kuat memajukan ekonomi kreatif sebagai bahan bakar pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Kementerian Ekonomi Kreatif, dalam lokakarya jurnalis yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation, menjabarkan 17 sub-sektor dalam ekonomi kreatif.
Cakupan ekonomi kreatif ini amat luas, antara lain mulai dari kuliner, fesyen, seni pertunjukan, arsitektur, desain interior, desain produk, gim, aplikasi gawai, hingga film, animasi, musik dan fotografi.
Kebudayaan lokal menjadi akar yang melahirkan produk kreatif tersebut. Ciri khas budaya menambah keunikan dan nilai jualnya. Berbarengan dengan menghasilkan keuntungan ekonomi, sektor kreatif juga berarti merawat kebudayaan bangsa.
Sebagian besar dari aspek ekonomi kreatif itu juga berpindah media ke dunia digital, menyesuaikan dengan perkembangan teknologi zaman kini. Potensi cuan yang dihasilkan juga tercatat tak main-main.
Muhammad Neil El Himam, Deputi Ad Interim Bidang Kreativitas Digital dan Teknologi Kementerian Ekonomi Kreatif, mencontohkan perputaran ekonomi di sektor perfilman Tanah Air.
“Film Indonesia di bioskop tengah mendominasi pasar domestik. Ada sebuah aplikasi bernama CinePoint yang menunjukkan data bahwa penjualan di Tanah Air mencapai 150-an juta tiket. Dan sekitar 75-78 juta di antaranya adalah film Indonesia,” kata Neil.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana caranya agar segala potensi itu tak hanya merajai negeri sendiri, namun juga bisa dikenal oleh masyarakat dunia luar.
Ketekunan Korea Selatan patut menjadi contoh, bagaimana negara yang merdeka hanya lebih awal dua hari dengan Indonesia itu mampu menyebarkan K-Wave hingga mencapai popularitasnya saat ini.
Bicara popularitas, Indonesia telah menjadi pasar super besar bagi gelombang budaya Korea, mulai dari drama seri, film, musik, bahasa, kuliner, hingga terus merambah ke fesyen, produk kosmetik, dan teknik perawatan kecantikan.
Gangsim Eom, kandidat doktor Universitas Harvard sekaligus peneliti tamu di Universitas Indonesia, menyebut K-Wave memulai debut di panggung Tanah Air pada 2009 lewat konser penyanyi kenamaan Rain dalam Asia Tour in Jakarta.
Satu setengah dekade kemudian, ternyata gelombang penggemar dari masyarakat Indonesia tak terlihat redup sama sekali, malah kian membesar.
“Tahun lalu kita merayakan peringatan 50 tahun hubungan bilateral Indonesia-Korea, dan saat itu salah satu pakar ilmu kebudayaan dari UGM, Dr. Suray Agung Nugroho, berpandangan bahwa K-Wave telah berkembang menjadi K-Tsunami di Indonesia,” kata Eom dalam lokakarya FPCI-Korea Foundation.
Istilah ini tidak berlebihan jika kita melihat besarnya pengaruh fenomena ke-Korea-an. Gelombang budaya Korea telah menjalar ke mana-mana.
Indonesia memang tidak diam saja, banyak cara dicoba demi mengekspos budaya dan sektor kreatif kita agar lebih dikenal dunia. Festival Indonesia hadir di berbagai negara sebagai langkah diplomasi antar-masyarakat.
Di Korea, misalnya, Indonesian-Wave baru mulai bangkit pada 2019. Dampak yang dihasilkan memang belum semasif budaya Korea di Indonesia.
Indonesia bisa meniru langkah-langkah strategis yang dilakukan negara Asia seperti Korea Selatan dalam memajukan ekonomi kreatif.
Baca juga: Penikmat video musik grup K-pop BTS "Danger" telah melampaui 200 juta penayangan
Baca juga: Pakai batik warna merah, Chanyeol nyanyikan lagu "Inikah Cinta"
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024