Bekasi (Antara Megapolitan) - Jajaran Komisi II DPRD Kota Bekasi melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke TPST Bantargebang, Kota Bekasi, Rabu (20/9).
Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi, Jawa Barat, Ariyanto Hendrata menilai pengolahan sampah DKI Jakarta di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang memburuk pascakebijakan swakelola atau sejak 2016.
"Dulu menggunakan sistem sanitary land fill (gundukan tanah) setiap menumpuk sampah, sekarang hanya didiamkan saja," kata Ariyanto Hendrata di Bekasi, Kamis.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu menduga Pemprov DKI Jakarta selaku operator pengolahan sampah tidak serius menangani sampah warganya sejak keputusan swakelola pada Juli 2016 dari PT Godang Tua Jaya dan Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI).
Saat dikelola swasta, kata dia, sekitar 6.000 ton sampah per hari yang tiba di TPST dilapis menggunakan tumpukan tanah agar bau sampah tidak menyebar ke permukiman warga sekitar.
"Tujuan sanitary land fill juga menghindari adanya longsor akibat tingginya gunungan sampah yang menjulang hingga 40 meter," katanya.
Menurut dia, Pemprov DKI sama sekali belum menerapkan teknologi ramah lingkungan dalam pengolahan sampahnya.
"Justru lebih baik ketika masih dipegang swasta karena masih ada teknologi sanitary landfil, yaitu disertai urugan tanah," ujarnya.
Ariyanto mengungkapkan pencemaran sampah di lingkungan sekitar justru semakin meluas. Bau sampah menyebar ke beberapa wilayah termasuk ke Pondokgede, Cibubur dan daerah lain yang berdekatan dengan TPST Bantar Gebang.
"Belum lagi air lindi dari TPST Bantargebang mengalir ke lingkungan warga, karena instalasi pengolahan air sampah tidak berfungsi maksimal," katanya.
Atas persoalan itu, Ariyanto berencana akan meminta klarifikasi Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat dan Sekeratris Daerah DKI Jakarta, Saefullah atas situasi itu.
"Diharapkan, pekan depan pimpinan DKI bisa memenuhi panggilan legislator Kota Bekasi.Dana kompensasi yang diberikan kepada warga di sekitar Bantargebang tidak sebanding dengan penderitaan yang dirasakan warga," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi, Jawa Barat, Ariyanto Hendrata menilai pengolahan sampah DKI Jakarta di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang memburuk pascakebijakan swakelola atau sejak 2016.
"Dulu menggunakan sistem sanitary land fill (gundukan tanah) setiap menumpuk sampah, sekarang hanya didiamkan saja," kata Ariyanto Hendrata di Bekasi, Kamis.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu menduga Pemprov DKI Jakarta selaku operator pengolahan sampah tidak serius menangani sampah warganya sejak keputusan swakelola pada Juli 2016 dari PT Godang Tua Jaya dan Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI).
Saat dikelola swasta, kata dia, sekitar 6.000 ton sampah per hari yang tiba di TPST dilapis menggunakan tumpukan tanah agar bau sampah tidak menyebar ke permukiman warga sekitar.
"Tujuan sanitary land fill juga menghindari adanya longsor akibat tingginya gunungan sampah yang menjulang hingga 40 meter," katanya.
Menurut dia, Pemprov DKI sama sekali belum menerapkan teknologi ramah lingkungan dalam pengolahan sampahnya.
"Justru lebih baik ketika masih dipegang swasta karena masih ada teknologi sanitary landfil, yaitu disertai urugan tanah," ujarnya.
Ariyanto mengungkapkan pencemaran sampah di lingkungan sekitar justru semakin meluas. Bau sampah menyebar ke beberapa wilayah termasuk ke Pondokgede, Cibubur dan daerah lain yang berdekatan dengan TPST Bantar Gebang.
"Belum lagi air lindi dari TPST Bantargebang mengalir ke lingkungan warga, karena instalasi pengolahan air sampah tidak berfungsi maksimal," katanya.
Atas persoalan itu, Ariyanto berencana akan meminta klarifikasi Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat dan Sekeratris Daerah DKI Jakarta, Saefullah atas situasi itu.
"Diharapkan, pekan depan pimpinan DKI bisa memenuhi panggilan legislator Kota Bekasi.Dana kompensasi yang diberikan kepada warga di sekitar Bantargebang tidak sebanding dengan penderitaan yang dirasakan warga," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017