Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan, terdiri atas 30 lembaga riset dan organisasi masyarakat sipil, mengusulkan delapan quick wins untuk transisi energi terbarukan yang inklusif dan adil dalam 100 hari pertama Pemerintahan Prabowo-Gibran.
Rekomendasi tersebut disampaikan pada focus group discussion (FGD), yang dihadiri perwakilan PT PLN (Persero) dan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta.
"Penyerahan quick wins ini bertujuan mendukung target pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dan inklusif melalui percepatan transisi energi yang sejalan dengan visi misi Asta-Cita," kata Plt Direktur Program Koaksi Indonesia Indra Sari Wardani, selaku perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan menekankan hal krusial dalam quick wins yang perlu dipenuhi, antara lain, memastikan mekanisme pelibatan dan partisipasi bermakna masyarakat dalam perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan implementasi kebijakan strategis di sektor energi dan turunannya.
Koalisi Masyarakat Sipil menekankan pemerintah perlu mengevaluasi Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) agar memprioritaskan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin mikro/mini hidro dan panas bumi. Potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 3.716 GW (RPJPN, 2025-2035), tapi baru dimanfaatkan kurang dari 14 GW (0,37 persen).
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, untuk mendapat ruang dalam bauran energi nasional, pengembangan energi terbarukan juga harus diiringi dengan penghentian operasi PLTU.
Oleh karena itu, dalam quick wins kedua, Koalisi Masyarakat Sipil mengusulkan, pemerintah harus segera menyusun rencana peta jalan pensiun dini PLTU yang jelas, beserta tindakan pengamanan (safeguard) sebagai turunan dari Perpres 112/2022.
Peta jalan tersebut harus dapat mengakomodasi perlindungan sosial dan lingkungan terutama bagi pekerja dan masyarakat yang terdampak ketika pensiun dini PLTU dilaksanakan.
Koalisi Masyarakat Sipil mendorong agar penguatan standar pengaman, pengawasan, kepatuhan, serta pelaporan tentang penerapan ESG kepada publik, berpedoman pada standar internasiona, mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam penerapan kebijakan nilai ekonomi karbon (NEK).
Koalisi melihat harus ada desain dalam implementasi nilai ekonomi karbon yang jelas, termasuk memperhatikan mekanisme pengawasan, pelaporan dan verifikasi, serta pengaman yang dapat memberikan perlindungan hak dan manfaat kepada Masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.
Selain itu, kebijakan biofuel, seperti B50 perlu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan aspek keadilan iklim, daya dukung lingkungan, dan daya saing industri.
Koalisi mendorong opsi mempertimbangkan bahan baku berbasis lokal, pengakuan hak-hak petani kecil dan masyarakat adat terdampak, dan memperhatikan batas daya dukung dan daya tampung lahan sawit tidak lebih dari 18 juta hektar.
Terakhir, rencana co-firing biomassa yang akan dilakukan di 52 PLTU, perlu dievaluasi agar sejalan dengan target pemerintah mencapai nol emisi pada 2060 atau lebih cepat.
Baca juga: Kelapa sawit, pilar utama energi terbarukan dalam negeri
Baca juga: Kemdiktisaintek dorong energi hijau PLTMH di Malang
Baca juga: Ini dia pemenang dari 11 kategori di ajang "BPH Migas Awards 2024"
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024