Bogor (Antara Megapolitan) - Gula menjadi bahasan karena setiap tahun terjadi peningkatan konsumsi gula seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Konsumsi gula tahun 2017 mencapai 3,02 juta ton untuk konsumsi rumah tangga dan 3,25 juta ton untuk industri makanan dan minuman.

Sementara, produksi gula setiap tahun baru mencapai 4,99 juta ton per hektar. Kondisi ini membuat Indonesia selalu impor untuk menutup kekurangan.

Demikian siaran pers yang dikeluarkan Direktorat Kajian Strategis Kebijakan Pertanian (KSKP) Institut Pertanian Bogor (IPB) saat menggelar Focus Group Disscussion (FGD) dengan tema ''Kebijakan Pengembangan Industri Gula yang Mensejahterakan Petani'', di IPB International Convention Center (IICC) Bogor (29/8).

Kegiatan ini melibatkan berbagai unsur, mulai dari petani, mahasiswa, alumni IPB, pemangku kebijakan, industri dan peneliti.

Narasumber yang hadir adalah Dr. Agus Wahyudi dari Dirjen Perkebunan, Kementerian Pertanian RI; Ir. Abdul Rohim dari Direktorat Jenderal Industri Agro, Kementerian Perindustrian RI;  Direktur Pengembangan Usaha dan Investasi PT. Rajawali Nusantara Indonesia, Agung P Murdanoto; Ketua Divisi IPTEK Himpunan Alumni IPB, Mahendra Kusuma; Peneliti Badan Litbang Pertanian, Prof. Dr. Agus Pakpahan; Peneliti dari Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian (Faperta) IPB, Dr. Purwono; dan  petani tebu, Rudi Ginting.

Agus Wahyudi dari Dirjen Perkebunan menyampaikan areal perkebunan tebu masih didominasi di Pulau Jawa, dimana 46 persen diantaranya didominasi tebu rakyat. Sementara, di luar Pulau Jawa, seperti Lampung, dikuasai oleh industri pabrik gula dengan produksi gula 70 persen.

Ia mengatakan, 2,5 juta ton produksi gula, dengan areal tebu 450 ribu hektar atau produktivitas gula sebesar 5,50 ton per hektar.

Target di tahun 2019-2020 adalah produksi meningkat 3,3 juta ton dengan areal tebu ditingkatkan menjadi 505 ribu hektar dan produktivitas 600 ton per hektar, sehingga untuk memenuhi 505 ribu memerlukan peningkatan area 55 ribu hektar, dengan asumsi setengah ton per hektar.

Masalah-masalah dalam melaksanakan perluasan area dan peningkatan produktivitas gula diantaranya adalah perubahan iklim bergesernya lahan subur ke lahan kering, sehingga produktivitas langsung merosot.

Sementara, permasalahan di luar Jawa adalah tata guna lahan sangat komplek; petani belum biasa dengan pertanian tebu; terkait masalah keamanan dan infrastruktur.

Solusi yang ditawarkan atas persoalan tersebut adalah untuk di daerah lahan kering, ke depan akan membangun irigasi dan sumur dalam.

Terkait tanah, menurutnya harus ada rekayasa teknis, sehingga perlu bimbingan teknis, tetapi peran penyuluh sangat minim. Sementara, terkait tenaga kerja yang langka, petani harus lakukan re-grouping mekanisasi kelompok hamparan.

Sementara itu, Dr. Purwono mengatakan cara meningkatkan pendapatan petani bisa dengan memperbaiki produktivitas dan mutu tebu.

Yang perlu dilakukan adalah program bongkar ratoon, sehingga dicapai proporsi tanaman, juga dengan penataan varietas , benih bermutu dengan jumlah dan harga yang wajar, pemupukan dan pengelolaan limbah kebun dan pabrik.

Selain itu, peningkatan pendapatan petani menata tata niaga gula dan kebijakan yang memihak pada petani, pemanfaatan sumberdaya air untuk pola tanam, manajemen tebang dan penggunaan mekanisasi sesuai dengan kondisi wilayah.

Dalam rekomendasi kebijakan diperlukan komitmen pemerintah untuk meningkatkan produktivitas dan mutu tebu petani agar petani tetap menanam tebu dengan baik.

Diusulkan pula penataan pabrik gula BUMN sangat strategis karena akan berdampak pada pendapatan petani tebu.

Selain itu, evaluasi kemitraan antar petani dengan pabrik gula. Pengembangan industri gula memerlukan kebijakan dan fasilitas, baik dalam penataan/pembangunan pabrik gula, sumber dana dan tata niaga.

Penetapan harga acuan dan harga eceran tertinggi (HET) harus didasarkan pada biaya produksi yang berlaku.(dh)


Pewarta: Humas IPB

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017