Jakarta, (AntaraMegapolitan) - Ketua Dewan Pembina Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) Hashim Djojohadikusumo menilai bahwa pusaka Indonesia yang beragam kini juga menghadapi ancaman dari sisi lingkungan.
"Maka diperlukan upaya bersama untuk melestarikan pusaka Indonesia sehingga tidak punah," katanya di Bentara Budaya Jakarta, Selasa.
Dalam sambutan pengantar diskusi bertema "Pelestarian Pusaka Indonesia: Kearifan Tradisi dan Budaya Lokal Untuk Kelestarian Lingkungan" di Bentara Budaya, yang digagas bersama harian "Kompas", ia menyatakan bahwa ancaman lingkungan itu di antaranya adalah akibat dampak dari perubahan iklim.
Ia mencontohkan bahwa perubahan iklim itu berdampak pada kerusakan hutan, yang pada gilirannya bisa menyebabkan bencana alam seperti banjir, longsor, dan kemudian mengancam keberadaan fisik sebuah benda ataupun bangunan pusaka, seperti gedung bersejarah, candi, dan lainnya.
Sebelum diberi amanah dalam BPPI, Hasyim mengaku pemahamannya mengenai pusaka itu sebatas pada bendera atau benda seperti keris, di mana karena berasal dari keluarga Jawa ia banyak memiliki koleksinya.
Namun, dalam perkembangannya, makna pusaka itu ternyata punya cakupan lebih luas ketimbang unsur-unsur tersebut.
Pusaka Indonesia itu mencakup pusaka alam, budaya ragawi (tangible) dan budaya tidak ragawi (intangible), serta pusaka saujana (gabungan pusaka alam dan budaya).
Dalam keragaman, pusaka Indonesia itu mencakup lebih dari 17.500 pulau, lebih dari 1.300 suku, dan lebih dari 500 bahasa daerah.
Pusaka yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya itu sangat bernilai sehingga harus dilestarikan dengan baik untuk disampaikan ke generasi mendatang sebagai bekal mewujudkan kehidupan yang lebih berkualitas.
Selain dari sisi lingkungan, ia juga menyebut pengaruh media global sebagai ancaman lainnya, yang membutuhkan perhatian bersama.
"Generasi masa kini, karena munculnya media canggih lebih kenal dengan tokoh seperti `Superman`, `Batman` dan lain-lain dari unsur di asing ketimbang tokoh dari Nusantara," katanya.
Ia menegaskan bahwa dalam konteks ini tidak berarti Indonesia anti-asing, namun harus ada upaya-upaya aktif untuk tetap merawat dan melestarikan pusaka dan budaya bangsa sendiri.
Hasyim juga menyebut bahwa suatu bangsa membutuhkan jati diri kebudayaannya. "Kalau kita tidak punya budaya ibarat tubuh tanpa roh," katanya.
Sementara itu, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno sebagai narasumber membahas soal hubungan alam dan budaya.
Ia mengatakan mengelola sumber daya alam -- termasuk kawasan konservasi -- harus dilakukan bersama masyarakat sekitar dan dengan berpegang pada tata nilai serta budaya setempat.
Apalagi, masyarakat telah membangun pola hubungan-hubungan dengan sumber daya di mana mereka hidup dalam jangka ratusan tahun, yang melahirkan pengetahuan dan praktik-praktik kelola sumber daya yang terbukti tetap menjaga kelestarian.
Ia memberi contoh seperti sistem Tembawang di Kalbar, Sasi di Maluku, "Sacred Forest" di Komunitas Ammatoa Kajang Bulukumba, Sulawesi Selatan, dan "Leweung Tutupan" di masyarakat adat Baduy, adalah sebagian kecil bukti nyata bahwa kultur budaya masyarakat Indonesia harus dihargai dalam semua proses kelola sumberdaya alam termasuk di kawasan konservasi.
Dalam diskusi itu juga dihadirkan narasumber lain yakni sastrawan-budayawan Radhar Panca Dahana, Ketua BPPI Catrini Pratihari Kubontubuh dan Amanda Katili Niode dari The Climate Reality Project Indonesia.
Ketua BPPI Catrini Pratihari Kubontubuh menambahkan bahwa diskusi itu adalah rangkaian kegiatan menuju International Conference of National Trusts (ICNT) 2017, yang akan diselenggarakan di Gianyar, Bali pada 11-15 September mendatang.
ICNT adalah agenda dua tahunan yang digelar oleh International of National Trust Organization (INTO), sebuah kelompok peduli pelestarian pusaka yang kini beranggotakan 65 organisasi pelestarian, baik dari Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika. ***4***
Ridwan Chaidir
(T.A035/B/R010/R010) 29-08-2017 19:58:42
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
"Maka diperlukan upaya bersama untuk melestarikan pusaka Indonesia sehingga tidak punah," katanya di Bentara Budaya Jakarta, Selasa.
Dalam sambutan pengantar diskusi bertema "Pelestarian Pusaka Indonesia: Kearifan Tradisi dan Budaya Lokal Untuk Kelestarian Lingkungan" di Bentara Budaya, yang digagas bersama harian "Kompas", ia menyatakan bahwa ancaman lingkungan itu di antaranya adalah akibat dampak dari perubahan iklim.
Ia mencontohkan bahwa perubahan iklim itu berdampak pada kerusakan hutan, yang pada gilirannya bisa menyebabkan bencana alam seperti banjir, longsor, dan kemudian mengancam keberadaan fisik sebuah benda ataupun bangunan pusaka, seperti gedung bersejarah, candi, dan lainnya.
Sebelum diberi amanah dalam BPPI, Hasyim mengaku pemahamannya mengenai pusaka itu sebatas pada bendera atau benda seperti keris, di mana karena berasal dari keluarga Jawa ia banyak memiliki koleksinya.
Namun, dalam perkembangannya, makna pusaka itu ternyata punya cakupan lebih luas ketimbang unsur-unsur tersebut.
Pusaka Indonesia itu mencakup pusaka alam, budaya ragawi (tangible) dan budaya tidak ragawi (intangible), serta pusaka saujana (gabungan pusaka alam dan budaya).
Dalam keragaman, pusaka Indonesia itu mencakup lebih dari 17.500 pulau, lebih dari 1.300 suku, dan lebih dari 500 bahasa daerah.
Pusaka yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya itu sangat bernilai sehingga harus dilestarikan dengan baik untuk disampaikan ke generasi mendatang sebagai bekal mewujudkan kehidupan yang lebih berkualitas.
Selain dari sisi lingkungan, ia juga menyebut pengaruh media global sebagai ancaman lainnya, yang membutuhkan perhatian bersama.
"Generasi masa kini, karena munculnya media canggih lebih kenal dengan tokoh seperti `Superman`, `Batman` dan lain-lain dari unsur di asing ketimbang tokoh dari Nusantara," katanya.
Ia menegaskan bahwa dalam konteks ini tidak berarti Indonesia anti-asing, namun harus ada upaya-upaya aktif untuk tetap merawat dan melestarikan pusaka dan budaya bangsa sendiri.
Hasyim juga menyebut bahwa suatu bangsa membutuhkan jati diri kebudayaannya. "Kalau kita tidak punya budaya ibarat tubuh tanpa roh," katanya.
Sementara itu, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno sebagai narasumber membahas soal hubungan alam dan budaya.
Ia mengatakan mengelola sumber daya alam -- termasuk kawasan konservasi -- harus dilakukan bersama masyarakat sekitar dan dengan berpegang pada tata nilai serta budaya setempat.
Apalagi, masyarakat telah membangun pola hubungan-hubungan dengan sumber daya di mana mereka hidup dalam jangka ratusan tahun, yang melahirkan pengetahuan dan praktik-praktik kelola sumber daya yang terbukti tetap menjaga kelestarian.
Ia memberi contoh seperti sistem Tembawang di Kalbar, Sasi di Maluku, "Sacred Forest" di Komunitas Ammatoa Kajang Bulukumba, Sulawesi Selatan, dan "Leweung Tutupan" di masyarakat adat Baduy, adalah sebagian kecil bukti nyata bahwa kultur budaya masyarakat Indonesia harus dihargai dalam semua proses kelola sumberdaya alam termasuk di kawasan konservasi.
Dalam diskusi itu juga dihadirkan narasumber lain yakni sastrawan-budayawan Radhar Panca Dahana, Ketua BPPI Catrini Pratihari Kubontubuh dan Amanda Katili Niode dari The Climate Reality Project Indonesia.
Ketua BPPI Catrini Pratihari Kubontubuh menambahkan bahwa diskusi itu adalah rangkaian kegiatan menuju International Conference of National Trusts (ICNT) 2017, yang akan diselenggarakan di Gianyar, Bali pada 11-15 September mendatang.
ICNT adalah agenda dua tahunan yang digelar oleh International of National Trust Organization (INTO), sebuah kelompok peduli pelestarian pusaka yang kini beranggotakan 65 organisasi pelestarian, baik dari Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika. ***4***
Ridwan Chaidir
(T.A035/B/R010/R010) 29-08-2017 19:58:42
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017