Tim Pengabdi Hibah Kepedulian Masyarakat Universitas Indonesia 2024 membentuk program SABER (Sekolah Anti-Bullying Menuju Generasi Berwawasan Hukum) untuk merealisasikan lingkungan pendidikan yang terlindung dari bullying (perundungan) melalui upaya preventif dan edukatif dengan peningkatan kesadaran hukum.

Ketua tim pengabdi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Muhammad Nasywan Azizullah di Depok, Senin mengatakan kami mengadakan program SABER di SMPN 1 dan SMPN 3 Depok, dengan dua kegiatan utama, yaitu Sharing Session dan Activity Booth.

Muhammad Nasywan Azizullah yang didampingi oleh Dr. Junaedi Saibih, SH, M.Si., LL.M lebih lanjut mengatakan Sharing Session merupakan sesi pemaparan materi di mana pembicara memberikan penjelasan tentang perundungan dan kesadaran hukum, diikuti dengan kesempatan bagi siswa untuk berbagi pengalaman.

Sesi ini diakhiri dengan kuis berhadiah terkait materi yang telah disampaikan.

Sementara itu,
Activity Booth bertujuan memancing ketertarikan siswa dengan menandatangani komitmen antiperundungan bertanya langsung kepada Tim SABER, dan mendapatkan hadiah.

Kegiatan ini dirancang untuk memastikan siswa mendapatkan pemahaman yang mendalam dan menyenangkan tentang isu perundungan.

Dengan program SABER yang telah dilakukan, harapannya dapat tercipta lingkungan pendidikan yang inklusif dan bebas dari segala bentuk  perundungan di SMP Negeri 1 Depok dan SMP Negeri 3 Depok.

Ia mengatakan perundungan banyak terjadi di sekolah khususnya pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak anak, maka diperlukan upaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak atas permasalahan ini. Langkah konkret untuk menjamin perlindungan anak dari tindakan perundungan di sekolah adalah pemidanaan.

Terdapat banyak perdebatan yang terjadi terkait apakah seorang anak sudah layak untuk dipidana, mengingat umurnya yang belum tergolong dalam subjek hukum yang cakap.

Namun, di sisi lain hak anak yang dilanggar oleh anak lain juga harus dilindungi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) menghadirkan sebuah upaya hukum untuk permasalahan ini.

Ia menjelaskan UU SPPA sebenarnya mengedepankan bahwa perampasan kemerdekaan dan pemidanaan harus menjadi upaya terakhir.


Kendati demikian, lanjut dia UU SPPA memungkinkan penerapan pidana pembatasan kebebasan bagi anak yang melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana dengan kekerasan, dengan ketentuan bahwa hukuman yang dijatuhkan maksimal 1/2 dari ancaman pidana yang berlaku bagi orang dewasa.

Sinergi antara hukum dan pendidikan dalam konteks perlindungan anak terhadap perundungan sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak.

Menurut dia, hukum memberikan kerangka regulasi yang jelas untuk melindungi hak anak dan mencegah tindakan kekerasan, termasuk perundungan. UU PA menekankan tanggung jawab berbagai pihak dalam menjaga kesejahteraan anak dan melindungi mereka dari berbagai bentuk kekerasan.

Di sisi lain, pendidikan berperan dalam mengedukasi anak-anak, pendidik, dan masyarakat tentang bahaya bullying, pentingnya saling menghormati, dan bagaimana melaporkannya.

Program-program pendidikan yang terintegrasi dapat membantu menciptakan kesadaran dan pemahaman tentang dampak negatif bullying, serta memberikan keterampilan kepada anak untuk mengatasi dan melawan perilaku tersebut.

Dengan menjalin sinergi antara kebijakan hukum dan implementasi pendidikan, diharapkan tercipta suatu sistem yang efektif dalam pencegahan dan penanganan perundungan.

Hal ini tidak hanya melindungi anak dari tindakan  perundungan, tetapi juga mendukung perkembangan karakter dan moral yang baik, sehingga anak dapat tumbuh dalam lingkungan yang positif dan konstruktif.*

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024