Pentas politik nasional tahun 2024 yang sempat diharu biru oleh penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, berhasil diakhiri secara baik oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden  Gibran Rakabuming Raka sejak mereka dilantik pada 20 Oktober 2024 dan membentuk pemerintahan Kabinet Merah Putih sebagai simbol persatuan.

Kini tinggal agenda pentas politik tingkat daerah, yakni pemilihan kepala daerah serentak, yang dijadwalkan berlangsung 27 November 2024, di 545 daerah dengan rincian 37 provinsi dari 38 provinsi di Tanah Air, 415 kabupaten dari 416 kabupaten, dan 93 kota dari 98 kota di Indonesia. 

Tahun 2024 ini menjadi tahun yang untuk pertama kalinya, penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam kurun waktu tahun yang sama dengan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) 

Dalam kurun waktu kurang dari sebulan, rakyat pemilih di 38 provinsi di Tanah Air, kecuali di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, bakal memilih Gubernur dan Wakil Gubernur yang mereka inginkan, termasuk di empat provinsi baru yakni di Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya, yang baru pertama kalinya menyelenggarakan Pilkada di tahun ini. 

Berbarengan dengan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, rakyat pemilih juga akan mencoblos calon Bupati dan Wakil Bupati di 415 kabupaten, sedangkan di satu kabupaten, yakni Kabupaten Kepulauan Seribu yang masuk di Provinsi Daerah Khusus Jakarta, tidak menyelenggarakan pilkada karena kepala daerahnya ditunjuk oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan DPRD Jakarta. 

Rakyat pemilih juga akan menentukan siapa Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang layak memimpin di 93 dari 98 kota di Indonesia, sedangkan di lima kota administratif, yakni Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Timur, yang masuk di Provinsi Daerah Khusus Jakarta, tidak menyelenggarakan pilkada karena kepala daerahnya ditunjuk oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan DPRD Jakarta.

Akankah tahun politik 2024 di Tanah Air ini berakhir husnul khotimah atau berakhir baik? Pastilah setiap orang yang mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berharap tahun politik berakhir dengan baik, tidak justru menimbulkan kericuhan atau bahkan perpecahan sesama anak bangsa.

Komisi Pemilihan Umum tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagai penyelenggara Pilkada di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota telah bertekad menyelenggarakan pemilu yang damai. Bahkan secara seragam di tiap provinsi dan kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada, KPU mewajibkan setiap pasangan peserta pemilu, baik dari calon independen maupaun calon yang diusung partai politik, setelah ditetapkan dan menjelang dimulainya masa kampanye, mereka bersama-sama membacakan ikrar atau deklarasi pemilu damai.

Deklarasi pemilu damai berisi empat butir, yakni pertama, akan melaksanakan Pemilu tahun 2024 yang damai dan kondusif untuk mewujudkan demokrasi yang bermartabat. Kedua, akan mematuhi dan mentaati segala bentuk dan ketentuan yang berlaku serta menyelesaikan permasalahan pemilu tahun 2024 sesuai dengan koridor hukum. Ketiga, menolak upaya yang dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat dan menghindari kegiatan yang bersifat provokatif, menghasut, ujaran kebencian serta tidak menggunakan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dalam pelaksanaan Pemilu 2024. Keempat menciptakan situasi dan kondisi tetap kondusif.

Tahun 2024 menjadi ujian besar bagi stabilitas politik di Indonesia, dengan akhir masa jabatan para gubernur, bupati, dan walikota bertepatan dengan tahapan Pemilu dan Pilkada.


Politik uang dan netralitas ASN

Meskipun Pilkada sejauh ini berjalan lancar, bukan berarti terbebas dari sejumlah ancaman yang bisa saja menjadi potensi kerawanan, bila tak diantisipasi sedini mungkin untuk pencegahan. Sebut saja, persoalan klasik, yang selalu dituduhkan menjadi ancaman adalah soal politik uang dan netralitas aparatur sipil negara (ASN), termasuk kepala desa, aparat TNI/Polri, dan pegawai BUMN/BUMD.

Upaya pencegahan yang patut diapresiasi, misalnya, ketika Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Semarang, Jawa Tengah, pada Rabu malam 23 Oktober lalu menggerebek dan membubarkan pertemuan paguyuban para kepala desa se-Jawa Tengah di sebuah hotel yang diindikasikan mendukung untuk salah satu pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur tertentu. Para kepala desa itu bahkan membawa slogan Satu Komando bersama Sampai Akhir.

Ketua Bawaslu RI Rachmat Bagja di Jakarta pada Senin 28 Oktober 2024 memberikan konferensi pers resmi bahwa sebanyak 195 kasus dugaan pelanggaran netralitas kepala desa selama kampanye, sejak 25 September lalu, tersebar di 25 provinsi.

Sampai dengan saat konferensi pers itu, dari 195 kasus pelanggaran netralitas kepala desa, terdapat 59 temuan dari Bawaslu dan 136 kasus dari laporan masyarakat. Dari jumlah tersebut, 130 kasus diregister, 55 tidak diregister, dan 10 kasus belum diregister.

Dari 130 kasus yang diregister, terdapat 12 perkara merupakan tindak pidana pelanggaran pemilu, 97 kasus pelanggaran peraturan perundang-undangan, dan 42 kkasus bukan pelanggaran.

Pasal 70 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang atau lazim disebut UU Pilkada menyebutkan bahwa selama masa kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan kepala desa atau lurah dan perangkat desa maupun perangkat kelurahan.

Sementara soal dugaan politik uang, telah ada laporan masyarakat, yang diplenokan oleh Bawaslu Provinsi Bengkulu bersama Penegak Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang terdiri atas unsur Kepolisian dan Kejaksaan, mengenai salah satu calon Gubernur Bengkulu yang tertangkap kamera membagi-bagikan uang kepada para pedagang di Kabupaten Kaur dan memberikan uang saweran di acara hajatan. Bawaslu sempat memanggil dan meminta keterangan dari terlapor, yakni calon Gubernur yang juga calon petahana, pada Kamis 24 Oktober lalu. Kasus ini masih berproses, terlapor akan meneruskan pula penanganan kasus itu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.

Tidak hanya kasus atas temuan dugaan politik uang dan upaya yang dilakukan atas kasus tersebut, sebuah survei juga ada yang menunjukkan bahwa Pilkada dibayang-bayangi dengan praktik politik uang.

Survei dari Skala Institute bersama Ragaplasma Research, misalnya, pada tanggal 1-7 Oktober lalu, melakukan surveri terhadap 400 responden dengan metode multistage sampling atau sampel bertingkat, dengan margin of error lima persen, di enam kabupaten/kota di Jawa Barat, yakni di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur, Majalengka, Kota Cirebon, dan Kota Bandung. 

Hasil survei itu menunjukkan responden yang menjadi pemilih paling banyak tergiur politik uang yang kemudian mengubah pilihan suara adalah di Kabupaten Bekasi yakni sebesar 45,38 persen. Sementara untuk daerah lain masih di bawah Kabupaten Bekasi. Padahal dari survei itu terdapat gambaran bahwa 58 persen responden berpendidikan SMA dan 22,5 persen lulusan perguruan tinggi; lalu sebanyak 38,25 persen berpenghasilan menengah atas dan 32 persen berpenghasilan rendah.

Meskipun dari survei menunjukkan bahwa salah satu dari tiga pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Bekasi meraih elektabilitas mencapai sekitar 40 persen namun responden menjawab dapat dengan mudah mengubah pilihan akibat beberapa hal dan yang tertinggi adalah faktor pemberian uang, barang maupun jasa. Perubahan itu dapat terjadi pada seminggu terakhir hingga hari H pencoblosan.

UU Pilkada telah mengamanahkan bahawa calon kepala daerah yang terbukti memberikan uang untuk mempengaruhi penyelenggara maupun pemilih, dapat digugurkan pencalonannya jika sudah ada keputusan dari Bawaslu. Pasal 73 ayat (1) menyebutkan, calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih; ayat (2) berbunyi calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Sengketa Pilkada

Seperti halnya hasil penetapan KPU RI tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sempat disengketakan, hasil Pilkada juga sangat dimungkinkan terjadi sengketa pemilu.

Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi RI dalam raker dengan Komisi III DPR RI pada Rabu 4 September lalu memperkirakan terdapat 324 perkara sengketa pemilu atau sekitar 59,45 persen dari 545 daerah yang menggelar pilkada.

Perkiraan tersebut dengan berkaca pada pengalaman menangani sengketa pilkada pada tahun 2017, di mana terdapat 60 perkara atau 59,41 persen dari 101 daerah yang menggelar pilkada saat itu. Itu persentase sengketa pilkada paling tinggi yang pernah dialami.

Sementara sengketa pilkada tahun 2016 terdapat 152 perkara atau 55,51 persen dari 269 daerah yang menggelar pilkada pada tahun itu. Pilkada 2018, terdapat sebanyak 70 perkara atau 42,11 persen dari 171 daerah yang menggelar pilkada dan pada tahun 2021, sebanyak 151 perkara atau 55,93 persen dari 270 daerah. 

Untuk mengantisipasi terjadinya sengketa pilkada, Mahkamah Konstitusi RI telah membuat sejumlah Peraturan Mahkamah Konstitusi, yakni Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2024 tentang Tata Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota; dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2024 tentang Tahapan Kegiatan dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Pada Lampiran Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2024, misalnya, disebutkan pengajuan permohonan paling lama tiga hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara oleh KPU tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota. Pengucapan Putusan/Penetapan Mahkamah Konstitusi RI akan berlangsung pada 11 Maret 2025. 

Pemerintahan Prabowo dan Gibran yang menunjukkan persatuan dan kebersamaan serta parlemen di pusat dan daerah yang menunjukkan keharmonisan, tidak berlebihan bila tahun politik di Tanah Air ini akan berakhir dengan baik, sehingga tinggal pelaksanaan program kerja besar dan strategis di pusat dan daerah, sinergi yang kuat antara pemerintahan di pusat dan daerah.

Pemerintah misalnya telah bertekad mewujudkan kembali swasembada pangan dalam kurun 4 hingga 5 tahun, menargetkan tiga juta rumah bagi rakyat, mencetak tiga juta hektare sawah baru, melaksanakan makan bergizi gratis. Program kerja besar dan strategis itu sangat membutuhkan konsolidasi dan sinergi yang kuat di pemerintahan pusat dan seluruh daerah.

Pewarta: Budi Setiawanto

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024