Bogor (Antara Megapolitan) - Terdapat beragam hasil olahan kedelai, mulai dari tahu, kecap, susu kedelai, dan tempe. Namun ada fakta menarik mengenai tempe, makanan olahan kedelai ini telah diakui masyarakat internasional yang berasal dari Indonesia.

Penyebutan makanan tempe telah muncul dalam catatan sejarah masa lampau Indonesia dalam Serat Centhini. Hal tersebut menandakan eksistensi tempe sudah ada sejak dulu di bumi Nusantara.

Di dunia internasional telah ada Codex regional untuk produk tempe. Dengan dimilikinya Codex produk tempe berarti setiap pengusaha bisa menjual produk tempenya di kancah internasional  Asia dengan memenuhi persyaratan Codex regional.

Terdapat hal menarik mengapa tempe telah mendapatkan standar pangan tersebut sementara tidak semua produk pangan memilikinya. Tentu kebutuhan standardisasi tersebut mengiringi adanya permintaan produk tempe atau dikenal dengan tempe di kalangan masyarakat mancanegara.

Di Indonesia sendiri perhatian terhadap industri tempe masih membutuhkan perhatian dan perbaikan. Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (Fateta-IPB), Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS menaruh perhatian besar tempe sebagai pangan fungsional dan bernilai strategis.  

Pada sepotong tempe, mikroorganisme seperti Rhizopus spp, kapang, dan ragi mengurai senyawa kompleks dalam kedelai menjadi senyawa sederhana yang meningkatkan kecernaan gizi.

''Perlu diketahui tempe mengandung banyak sekali mikroorganisme baik dalam setiap potongannya. Tempe juga mengandung zat gizi dalam sebongkah tempe dengan bantuan mikroorganisme tersebut,'' kata Prof. Made.

Selain itu, terdapat produk gizi lainnya yang dihasilkan termasuk isoflavon. Pada seratus gram tempe segar memiliki kandungan isoflavon lebih tinggi dibanding pada tahu dengan porsi serupa. Setiap mengkonsumsi secara rutin, tempe dapat berfungsi sebagai antioksidan untuk mencegah kanker.

Namun tidak sejalan dengan manfaat yang dimilikinya, Prof. Made memaparkan buruknya proses produksi tempe pada sebagian besar produsen tempe di Indonesia.

''Hal-hal seperti pemakaian tong bekas untuk merebus kedelai dan kualitas air yang rendah seringkali ditemukan pada industri kecil tempe kita,'' jelas Prof.

Made. Sebagai upaya menjembatani antara permintaan tempe dan usaha perbaikan indutri tempe di Indonesia, Prof. Dr. Made Astawan juga memaparkan telah berjalan badan pemberdaya industri tempe lokal yaitu Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) dan Forum Tempe Indonesia (FTI).

FTI telah menjalankan sebuah model usaha tempe yang disebut Rumah Tempe.

''Para pelaku usaha yang ingin tahu cara pengolahan tempe yang higienis dengan melihat Rumah Tempe. Di sana juga tersedia berbagai fasilitas pendukung yang dapat dimiliki bagi yang berminat,'' ujar Prof. Made.

Di samping itu, berbagai penelitian dilaksanakan untuk mendukung perbaikan kualitas dan kuantitas tempe industri lokal di Indonesia.

Harapannya dengan bertemunya kualitas tempe yang baik dan proses produksi yang higeinis, tempe asli Indonesia dapat dengan optimal dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Pelaku usaha tempe juga memiliki peluang lebih besar dalam menjual produk tempenya dalam lingkup yang lebih luas. (EAW/ris)

Pewarta: Humas IPB

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017