Di sudut-sudut ruang tunggu penumpang di Bandara Sultan Thaha, Jambi, terpampang banyak foto yang menampilkan potret sebuah keluarga masyarakat adat Suku Anak Dalam (SAD) yang hidup harmonis di tengah rimbun hutan tropis Sumatera.

Foto berwarna itu memvisualisasikan seorang ayah SAD tengah berburu dengan ditemani anak laki-lakinya, sementara sang ibu menyiapkan tungku untuk memasak hasil buruan di bawah pepohonan besar yang rindang ditemani kedua anak perempuannya.

Beberapa foto lainnya menampilkan bagaimana masyarakat adat SAD memelihara bibit-bibit pohon muda dengan sorotan mata yang tajam – seolah penuh dengan harapan pohon serupa bambang lanang (Michelia champaca) itu dapat segera tumbuh besar di kemudian hari dan memberi penghidupan bagi mahkluk hidup sekitarnya.

Bagaimana fitrahnya simbiosis manusia dengan alam direpresentasikan secara sempurna melalui foto dengan bingkai berkelir hitam keemasan tersebut kepada setiap tamu yang tiba di Bumi Melayu ini.

Namun apa yang digambarkan baris foto itu tidak lagi berbanding lurus dengan kehidupan SAD saat ini.

Sang penjaga hutan Jambi tersebut kini sedang berada di persimpangan besar; dihadapkan pada dua pilihan, yakni hidup berdamai dengan kondisi hutan yang tidak rimbun lagi atau meninggalkan hutan untuk menetap dan melebur dengan masyarakat umum di desa sekitar.

Hal ini ditengarai merupakan dampak dari masifnya alih fungsi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan karet bahkan eksplorasi batu bara dan galian sumur minyak bumi sebagaimana yang berlangsung di Kabupaten Batanghari, Jambi.

Ngalembo, salah satu ketua kelompok masyarakat adat SAD di Desa Hajran, Batanghari, Jambi, mengaku sangat berat bagi mereka untuk keluar meninggalkan kawasan hutan yang telah mereka huni secara turun- temurun, tapi di sisi lain merasa gerah dengan perubahan kondisi hutan saat ini.

Ajakan dari berbagai pihak termasuk dari Pemerintah untuk hidup menetap di luar hutan pun dianggap adalah sebuah keniscayaan bagi Ngelembo dan anggota kelompoknya.

Dia menyakini menetap di luar kawasan hutan adalah alasan supaya mereka tidak bersinggungan dengan perusahaan pemegang konsesi. Namun, justru setelah meninggalkan hutan maka akan semakin banyak lingkungan tempat tinggal mereka rusak karena beralih fungsi.

Oleh karena itu, mereka harus tetap berada di hutan, menjaganya supaya tidak terjadi kerusakan yang lebih masif karena akan berdampak buruk pada manusia, secara khusus bagi generasi kelompoknya.

Selama berada di hutan, SAD terus bergerak mengikuti keberadaan hewan buruan seperti babi, unggas, dan umbi-umbian yang menjadi makanan pokok mereka, termasuk tanaman obat dan aliran sungai sebagai sumber mata air.

Hutan juga sebagai media mereka menjalankan sebuah tradisi untuk menenangkan diri ketika ada anggota yang sakit ataupun meninggal dunia. Tradisi ini dikenal dengan istilah melangun. Seperti yang saat ini sedang mereka lakukan.

Dalam satu bulan terakhir ada tiga anggota keluarga mereka yang meninggal dunia. Dua orang meninggal karena sakit demam yang tinggi dan satu disambar petir. Karenanya, mereka harus melangun dengan cara berjalan belasan kilometer masuk ke dalam hutan untuk menghilangkan kesedihan karena telah kehilangan orang terkasih.

Ngelembo menegaskan tradisi itu tidak akan mereka tinggalkan. Meski tak jarang pula anggota kelompok mereka harus berhadapan dengan hukum karena bermukim di areal konsesi hingga diduga mencuri dan merusak kelapa sawit milik perusahaan yang mengepung ruang gerak SAD di Batanghari.

“Bagaimanapun ada hak kami sebagai masyarakat adat atas apa pun yang ada di dalam hutan. Jangan ragukan bagaimana kami menjaganya,” kata ayah tiga orang anak ini.
 
Arsip - Sebagian besar orang rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi yang kini terpaksa harus tinggal di kebun sawit akibat hutan yang sudah gundul. ANTARA/HO



Konflik SAD dengan perkebunan sawit

SAD Jambi tersebar di enam kabupaten, mulai dari Sarolangun, Merangin, Bungo, Tebo, Tanjung Jabung Barat, dan Kabupaten Batanghari. Data dari Kementerian Sosial pada tahun 2019 mencatat jumlah populasi SAD lebih kurang 6.423 keluarga.

Muhamad Adip, Kepala Desa Hajran, mengatakan sedikitnya ada sebanyak 54 keluarga atau 140 masyarakat SAD yang berada di kawasan hutan Desa Hajran, Kecamatan Bathin, Batanghari. Sebagian dari mereka juga tersebar di hutan Desa Jeluti dan Ulak Besar.

Mayoritas masyarakat adat SAD di tiga wilayah desa itu memiliki kemampuan yang baik dalam aktivitas bercocok tanam dan berburu, yang diperoleh turun-temurun.

Setidaknya dua generasi dari SAD di Batanghari itu saat ini bisa mengelola karet, kelapa sawit dengan baik, dan juga berniaga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seiring makin luas lahan yang dibuka menjadi perkebunan sawit dan karet. Bahkan ada salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di Batanghari yang memercayakan SAD sebagai pekerja lepas mereka karena kemampuan mereka itu.

Hanya saja tantangannya tidak semua perusahaan perkebunan yang bisa mengakomodasi keahlian dari SAD – juga dikenal dengan Orang Rimbo ini. Kebiasaan hidup mereka yang berpindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain dan tak jarang bermukim di lahan kelapa sawit produktif menjadi alasan keengganan dari pihak perusahaan mengakomodir mereka.

Satu sisi ketika perusahaan "bermanuver" menolak kehadiran mereka, tapi di sisi lain justru membuat keyakinan SAD terhadap hak atas tanah dan hutan menjadi lebih kuat. Disusul bertambahnya pengetahuan hukum mereka setelah bertahun-tahun berinteraksi dengan dunia luar.

Di sinilah, menurut Adip, konflik antara SAD Batanghari dengan perusahaan dimulai bahkan meruncing dalam 2--3 tahun terakhir, hingga beberapa anggota kelompok SAD harus berhadapan dengan hukum karena diduga mencuri buah kelapa sawit milik perusahaan.

Pemerintah Desa Hajran senantiasa turun tangan mendampingi proses mediasi SAD atas dugaan pencurian tersebut dengan pihak perusahaan dan aparat kepolisian setempat supaya tak sampai dilakukan penahanan.

Adip mengingat, tak jarang mendapati warganya itu kembali dilaporkan beberapa saat setelah mediasi berhasil. Terbaru sekitar bulan Maret--April 2023, ada tiga orang SAD yang dilaporkan namun kali ini di luar wilayah Desa Hajran dan oleh perusahaan pemegang konsesi yang beda pula.

Proses mediasi terakhir itu diakui berlangsung cukup alot karena saat itu pihak terlapor diduga mencuri dan merusak tandan buah segar sawit siap panen milik perusahaan. Beruntung ketiga oknum SAD tersebut dapat lolos dari delik aduan dan dikembalikan ke kelompoknya dengan salah satu alasan menguatkan yakni mereka masih berusia remaja.

Pemerintah sejatinya tidak pernah tinggal diam merespons fenomena yang dialami oleh SAD di Batanghari ini. Salah satu buktinya dua tahun lalu telah disiapkan rumah KAT (komunitas adat terpencil) atas kolaborasi Pemerintah Provinsi Jambi, Kabupaten Batanghari, Kementerian Sosial, Kementerian ATR/BPN, dan perusahaan migas milik pemerintah dan swasta multinasional.

Selain disediakan rumah yang lengkap dengan perabotan rumah tangga bahkan fasilitas kesehatan hingga hewan ternak, Pemerintah juga menyekolahkan anak-anak SAD di wilayah Desa Hajran, Jeluti, dan Ulak Besar.

Hanya saja semua fasilitas tersebut ditinggalkan begitu saja oleh Ngelembo beserta para tetua kelompok adat SAD yang lain. Mereka kembali bermukim ke dalam hutan yang jauh dengan membawa serta para buah hatinya untuk melangun. Oleh karena itu, anak-anak terpaksa meninggalkan sekolah demi untuk melakukan tradisi keluarga mereka.

“Ya semua menghargai mereka yang memang hidup di hutan. Akan tetapi, paling tidak jangan berpindah, pergi terlalu lama, berbulan-bulan di dalam hutan. Anak-anak mereka butuh sekolah demi kemajuan generasi mereka sendiri. Semua jadi serba salah kalau mereka masih begitu,” kata dia.

Peristiwa ditinggalkannya fasilitas rumah dan sekolah yang sudah sedemikian rupa oleh SAD agaknya menjadi pesan bahwa harus ada langkah strategis yang lebih mengedepankan komunikasi dua arah dari para pemangku kepentingan dengan tetua kelompok ataupun orang tua SAD di Batanghari ini.

Melalui komunikasi dua arah itu, akan diketahui apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh SAD sehingga kebijakan yang akan diambil Pemerintah bisa lebih tepat sasaran, misalnya, seperti bagaimana desain rumah yang mereka inginkan sehingga mereka mau menghuninya, atau kebutuhan lokasi tempat mereka bermukim seperti apa.

Pemerintah Pusat dan daerah harus pula arif untuk mengakui Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) yang sudah disepakati bersama termasuk oleh para kepala desa di Batanghari dan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) lebih dari satu dekade ini harus segera disahkan. Pasalnya, tanpa ada aturan yang jelas mengatur hak masyarakat adat dan batas-batasanya maka permasalahan SAD dengan perusahaan sulit untuk dihentikan.
 

Rumah Kawasan

Apa yang menjadi perhatian tokoh di daerah itu juga direspons secara positif oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Sosial.

Kementerian Sosial mengambil inisiatif baru untuk kemaslahatan masyarakat adat SAD dari dinamika yang kian menyudutkan keberadaan tradisi mereka, yaitu dengan pembangunan Rumah Kawasan.

Inisiatif itu digagas Kementerian Sosial saat masih dipimpin oleh Tri Rismaharini itu sebagai evaluasi dari rumah KAT di Sungai Terap, Batanghari yang ditelantarkan oleh masyarakat SAD.

Ditemui di Jambi beberapa pekan sebelum resmi undur diri sebagai Menteri Sosial pada September lalu untuk berkontestasi menjadi calon Gubernur Jawa Timur periode 2024--2029, Risma mengatakan bahwa Rumah Kawasan ini sendiri adalah dari hasil diskusi intensif antara Kementerian Sosial didampingi Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Ketua DPRD Jambi dengan enam ketua kelompok adat SAD (Temenggung) di Batanghari atas nama Ngelembo, Nyenong, Ngirang, Minang, dan Jelatai.

Para ketua kelompok SAD tersebut akhirnya bersepakat untuk menyesuaikan aktivitas tradisi mereka dengan apa yang disiapkan oleh Pemerintah dan tidak lagi meninggalkannya seperti dua tahun yang lalu.

Dalam konsep yang disepakati bersama, Rumah Kawasan itu akan berjumlah beberapa unit dengan berlantai tanah dan dinding kayu semi terbuka. Lahan yang diminta pun berada di kawasan hutan jelajahan Ngelembo dan kelompoknya yakni di seputar wilayah Bathin, Batanghari.

Rumah dengan spesifikasi sesuai keinginan masyarakat adat SAD itu akan dibangun di atas lahan seluas lebih dari 1 hektare, lengkap dengan hewan ternak untuk di budi daya, dan terpenting semua disiapkan untuk sepenuhnya menjadi hak SAD.

Meski terjadi pergantian pucuk pimpinan di Kementerian Sosial, inisiatif pembangunan Rumah Kawasan tersebut dipastikan bakal dilanjutkan oleh Syaifullah Yusuf selaku Menteri Sosial yang baru sebagai jalan tengah untuk mengatasi masalah yang membayangi masyarakat SAD.

"Karena prinsipnya memang harus mengikuti kebutuhan masyarakat adat, bukan kebutuhan dari kacamata masyarakat umum. Maka semua inisiatif rumah bagi masyarakat adat Jambi ini akan dilanjutkan," kata Syaifullah saat ditemui seusai menyerahkan bantuan sosial kepada masyarakat miskin dan rentan di Kota Ambon, Maluku, awal Oktober 2024.

Kementerian Sosial berupaya maksimal menjembatani penyediaan lahan Rumah Kawasan itu dengan pemerintah daerah dan kementerian terkait, seperti Kementerian ​​​​​​​ATR/BPN maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) supaya bisa sesuai apa yang dibutuhkan SAD Batanghari.

Gus Ipul--sapaan Menteri Sosial--menilai sementara ini konsep Rumah Kawasan adalah solusi paling relevan supaya anak-anak SAD bisa bersekolah dan juga dapat terus memelihara nilai-nilai adat dan kebudayaan mereka. Pemerintah juga bisa lebih mudah memantau perkembangan sosial, ekonomi, dan kesehatan setiap individu SAD yang sepenuhnya dijamin negara.

Semua pihak diminta untuk bersabar dan selalu bersikap positif terkait keberlanjutan rancangan undang-undang termasuk yang berkaitan dengan masyarakat adat yang sudah ada di meja pimpinan DPR RI karena masih masa transisi.

Sikap optimistis terus ditanamkan oleh Menteri Sosial ini kepada jajarannya dalam menghadapi segala tantangan yang ada.

Dengan modal niat baik, tulus, dan rasa percaya yang kuat maka ​​inisiatif pembangunan Rumah Kawasan oleh Kementerian Sosial dapat terealisasi dalam waktu dekat. Hal ini tidak lepas adanya dukungan multisektor, baik dari Pemerintah maupun swasta termasuk kalangan antropolog dan lembaga swadaya masyarakat yang konsisten mendampingi SAD di Jambi.

Melalui inisiatif tersebut membuktikan bahwa Kementerian Sosial mengambil peran sentral dalam memperjuangkan kemaslahatan SAD di Batanghari, Jambi, meskipun masih terdapat beberapa hal dalam pelaksanaannya yang perlu dievaluasi sekaligus dikawal bersama-sama.

Editor: Achmad Zaenal M

Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024