Satu sore di kawasan Tanimulya, Ngamprah, Bandung Barat, seorang pria paruh baya tampak serius memeriksa dan mengamati kotak-kotak kayu kecil dan batang pohon cukup besar yang digantung di depan rumahnya.
Diiringi senyum mengembang lebar, pria bernama Raden Ibrahim Somadinata menyambut hangat kedatangan ANTARA yang menginterupsi rutinitasnya ketika itu, untuk memeriksa kotak dan batang pohon yang ternyata merupakan sarang lebah yang dibudidayakan sebagai mata pencahariannya.
Dengan senyuman yang hampir tak pernah lepas dari raut wajah pria berusia 59 tahun ini, semua orang tidak akan menyangka bahwa lulusan D3 Sastra Jepang Universitas Padjadjaran ini, merupakan seorang penyandang tuna rungu berjenis heard of hearing atau bisa berbicara dengan jelas dan mendengar dengan alat bantu dengar.
Saat berbincang, Raden menceritakan bahwa dirinya tidak mendapatkan kesulitan mendengar sejak lahir, tapi saat dewasa, yakni pada 1992 karena sakit demam.
Ketika itu, tepatnya 3 bulan setelah menjalankan prosesi wisuda dari Unpad, Raden diajak membantu keponakannya dalam pameran kerajinan tangan selama satu pekan di Jakarta.
Ketika pulang ke rumahnya yang saat itu berada di daerah Sederhana, Kota Bandung, dalam kondisi lelah, tiba-tiba badannya mengalami demam tinggi hingga harus dibawa ke RS Advent untuk menerima perawatan. Bahkan, dia harus tidur bersama es selama 3 hari berturut-turut untuk menurunkan temperatur badannya yang demam tinggi.
Ketika perawatan memasuki hari ke-10, Raden menggambarkan bahwa dirinya kehilangan pendengaran efek dari sakit demamnya, yang berdasarkan keterangan dokter, penyebab sakitnya dan kehilangan pendengaran dirinya adalah akibat virus.
Virus apa, dia juga tak mengetahui detail, namun yang pasti, dirinya divonis mengalami gangguan pendengaran tingkat berat, yakni tak bisa mendengar suara di bawah 80 desibel (db), sehingga diwajibkan memakai alat bantu dengar sampai saat ini.
Sebenarnya, saat itu Raden diberikan opsi untuk melakukan operasi dengan berbagai risiko yang ada, seperti harganya yang tak murah, dan ada kemungkinan gagal dengan akibat tak bisa mendengar secara total.
"Dengan berbagai pertimbangan, saya dan keluarga tidak mengambil opsi operasi. Dan memutuskan untuk memakai alat bantu dengar meski harganya juga tidak murah," kata Raden.
Terpuruk dan Bangkit
Kehilangan pendengaran secara tiba-tiba di usia 20 tahunan, bahkan saat dirinya baru lulus kuliah, membuat Raden merasa tidak percaya diri atas kondisi terbaru yang dimilikinya ketika itu.
Terlebih, saat itu selain lulus tepat waktu, Raden juga mengantongi sertifikasi kemampuan bahasa Jepang (Japanese Language Proficiency Test/JLPT) level 4 atau terkategori cukup baik, yang saat itu bisa menjadi modal utama untuknya bekerja, bahkan sampai di luar negeri.
Namun karena kondisinya, Raden mengurungkan niat untuk melamar pekerjaan, bahkan dirinya juga merasa minder ketika bertemu orang lain hingga dia memilih untuk terus di dalam rumah.
Selama kurang lebih 1 tahun keadaan dalam keterpurukan itu dijalani Raden, hingga akhirnya ada satu temannya yang hobi fotografi mengajaknya untuk membuka diri dan belajar fotografi.
Akhirnya, Raden pun tertarik kemudian membeli kamera bekas model analog dan mulai belajar fotografi hingga bisa menguasai bidang tersebut dan masuk komunitas fotografer amatir di kawasan Jalan Banceuy.
Dari kegiatannya tersebut, kepercayaan diri Raden mulai terbangun kembali, dan bisa menjadikannya sebagai sumber penghasilan dengan menjual jasanya di acara pernikahan, khitan, hingga di objek wisata.
Namun masuk tahun 2000, seiring dengan perkembangan teknologi kamera digital, Raden menemui kegiatan ini tak mampu lagi menopang kehidupannya, di mana pelanggannya lebih memilih fotografer berkamera digital, sementara untuk kamera baru dirinya tak mampu beli, yang menyebabkannya memilih "gantung kamera". Terlebih pada tahun itu juga dirinya menjalani kehidupan baru sebagai suami.
Dengan ada istri yang harus dinafkahinya, Raden memutar otak dan mempertimbangkan berbagai opsi yang ada, hingga pilihannya jatuh pada usaha kuliner dengan berbekal pertimbangan pada krisis 1998 bahwa usaha bidang makanan ini adalah yang paling aman dan stabil dibandingkan lainnya, meski masih belum diputuskan makanan apa yang jadi usahanya.
Di tengah pertimbangan berbagai jenis makanan, dia mengingat kabar bahwa madu merupakan obat selain bahan konsumsi sehingga komoditas inilah yang menjadi pilihannya, dengan harapan kondisi pendengaran juga bisa pulih pelan-pelan dengan konsumsi madu.
Madu Raden
Madu menjadi pilihan Raden dan istrinya untuk usaha barunya ,namun dirinya tidak memiliki pengetahuan, apalagi kemampuan di bidang tersebut. Akhirnya, kala itu, dia memutuskan belajar terkait madu, mulai dari THR Djuanda, hingga ke Kabupaten Bandung Barat dan Sukabumi.
Dari pembelajaran di beberapa tempat itu, serta modal yang bersumber dari dana pribadi dan bantuan berbagai pihak, akhirnya dia membuka usaha jual beli madu, baik yang disuplai para petani maupun yang dia budi dayakan sendiri, dengan memfokuskan pada jenis madu yang diproduksi lebah Apis cerana yang bisa memproduksi 1 kg per 3 bulan, dan lebah Trigona yang hanya memproduksi 1 kg madu per tahun.
Awalnya, pasar madu produksinya hanya di Bandung dan sekitarnya, dan yang terjauh adalah Jakarta dengan mengandalkan pemasaran mulut ke mulut.
Jalan beberapa waktu, dengan bekal pengetahuan bertahun-tahun, pengalaman, serta mulai aktifnya dia di berbagai komunitas, produk Madu Raden Ibrahim ini makin dikenal luas lewat berbagai seminar dan pelatihan terkait UMKM atau pengajaran terkait budi daya lebah dan menjadi petani yang dijalaninya.
Dari keaktifannya di berbagai komunitas UMKM dan disabilitas itu, dia juga berkesempatan untuk mengikuti berbagai program pembinaan dan bantuan usaha dari berbagai pihak mulai dari bantuan pemasaran digital, rebranding, hingga akses permodalan.
Salah satu yang masih diingatnya adalah bantuan dari PT Pegadaian yang diterimanya melalui organisasi nirlaba Alunjiva pada tahun 2023. Dalam program bantuan tersebut, Raden mendapatkan pelatihan pemasaran secara digital pada berbagai platform, pengemasan, rebranding, hingga bantuan permodalan, serta dilibatkan dalam pameran UMKM pada awal 2024 lalu.
Setelah dilatih selama 3 hari, termasuk memperkuat digitalisasi, ia juga diberikan akses permodalan tanpa jaminan, dengan bunga tahunan yang sangat ringan di bawah 1 persen. Kala itu, ia mengajukan Rp10 juta dulu.
Dengan berbagai usaha yang dilakukannya, kini produk madu Raden telah dikenal dan bisa menyuplai produknya ke pelanggan dari Sabang sampai Merauke.
Dari usaha madu yang dilakukannya ini, Raden mengaku mampu memberikan penghasilan bagi keluarga minimal Rp5 juta per bulan, bahkan bisa sampai membeli rumah yang ditempatinya kini dan menyekolahkan kedua anaknya sampai tinggi.
Putra pertama Raden, saat ini tercatat sebagai mahasiswa tahap akhir di IKIP Siliwangi, Cimahi, dan tengah persiapan sidang skripsi, sementara putra keduanya baru lulus dari SMKN 3 Cimahi.
Direktur Utama PT Pegadaian Damar Latri Setiawa mengungkapkan pihaknya memang menyelenggarakan berbagai inisiatif tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL), salah satunya memberikan modal finansial dan modal keterampilan bagi UMKM dalam Program GadePreneur yang juga menyasar kaum rentan, seperti difabel dan pekerja migran untuk berkontribusi dalam ekonomi nasional.
Dalam program khusus kelompok rentan seperti difabel dan para imigran, Mix Academy dan MigranPreneur, mereka diberikan pelatihan dengan kurikulum yang dirancang khusus untuk mengakomodasi kapasitas dan kapabilitas masing-masing.
Inklusivitas kelompok rentan merupakan faktor penting dalam roda ekonomi Indonesia
Kepala Bagian Humas & Protokoler PT Pegadaian Kanwil X Jawa Barat Muhammad Denny Rudiono menyatakan ada berbagai program perusahaan pelat merah ini bagi kaum disabilitas, mulai dari slot bidang pekerjaan di Pegadaian, bantuan alat gerak, hingga pemberdayaan termasuk UMKM.
Khusus untuk program pemberdayaan UMKM, termasuk bagi kalangan disabilitas, hal ini telah berjalan 7 tahun, dengan membina sekitar 600 UMKM sampai 2023.
Setiap UMKM yang mendaftar akan dikurasi sebelum diberikan program pendampingan, mulai dari caranya memasarkan produk lebih luas dengan digitalisasi, cara pengemasan, pembentukan ekosistem UMKM, hingga akses permodalan yang mudah.
"Pembinaan UMKM ini dijalankan di tiap cabang secara lokal, di mana mereka yang ikut program akan dilibatkan dalam berbagai event dan pameran yang digelar Pegadaian. Ini agar UMKM kita juga memiliki daya saing yang lebih tinggi dan membawa efek positif pada perekonomian Jabar dan nasional," tutur Denny.
Senyum Raden Ibrahim, yang di baliknya tersimpan pengalaman musibah hingga menyebabkan keterbatasan pendengaran, menggambarkan bahwa berdamai dengan diri sendiri akan lebih baik daripada terkurung pada masalah, yang sejatinya pasti datang dalam setiap kehidupan.
Jatuh bangun Raden Ibrahim dalam hidup, yang dalam setiap usahanya dijalani dengan ulet ini, menjadi penegas atas ungkapan yang harus diingat semua orang, bahwa akan selalu ada jalan yang terbuka lebar ketika ada kemauan dan menjalaninya secara serius.
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024
Diiringi senyum mengembang lebar, pria bernama Raden Ibrahim Somadinata menyambut hangat kedatangan ANTARA yang menginterupsi rutinitasnya ketika itu, untuk memeriksa kotak dan batang pohon yang ternyata merupakan sarang lebah yang dibudidayakan sebagai mata pencahariannya.
Dengan senyuman yang hampir tak pernah lepas dari raut wajah pria berusia 59 tahun ini, semua orang tidak akan menyangka bahwa lulusan D3 Sastra Jepang Universitas Padjadjaran ini, merupakan seorang penyandang tuna rungu berjenis heard of hearing atau bisa berbicara dengan jelas dan mendengar dengan alat bantu dengar.
Saat berbincang, Raden menceritakan bahwa dirinya tidak mendapatkan kesulitan mendengar sejak lahir, tapi saat dewasa, yakni pada 1992 karena sakit demam.
Ketika itu, tepatnya 3 bulan setelah menjalankan prosesi wisuda dari Unpad, Raden diajak membantu keponakannya dalam pameran kerajinan tangan selama satu pekan di Jakarta.
Ketika pulang ke rumahnya yang saat itu berada di daerah Sederhana, Kota Bandung, dalam kondisi lelah, tiba-tiba badannya mengalami demam tinggi hingga harus dibawa ke RS Advent untuk menerima perawatan. Bahkan, dia harus tidur bersama es selama 3 hari berturut-turut untuk menurunkan temperatur badannya yang demam tinggi.
Ketika perawatan memasuki hari ke-10, Raden menggambarkan bahwa dirinya kehilangan pendengaran efek dari sakit demamnya, yang berdasarkan keterangan dokter, penyebab sakitnya dan kehilangan pendengaran dirinya adalah akibat virus.
Virus apa, dia juga tak mengetahui detail, namun yang pasti, dirinya divonis mengalami gangguan pendengaran tingkat berat, yakni tak bisa mendengar suara di bawah 80 desibel (db), sehingga diwajibkan memakai alat bantu dengar sampai saat ini.
Sebenarnya, saat itu Raden diberikan opsi untuk melakukan operasi dengan berbagai risiko yang ada, seperti harganya yang tak murah, dan ada kemungkinan gagal dengan akibat tak bisa mendengar secara total.
"Dengan berbagai pertimbangan, saya dan keluarga tidak mengambil opsi operasi. Dan memutuskan untuk memakai alat bantu dengar meski harganya juga tidak murah," kata Raden.
Terpuruk dan Bangkit
Kehilangan pendengaran secara tiba-tiba di usia 20 tahunan, bahkan saat dirinya baru lulus kuliah, membuat Raden merasa tidak percaya diri atas kondisi terbaru yang dimilikinya ketika itu.
Terlebih, saat itu selain lulus tepat waktu, Raden juga mengantongi sertifikasi kemampuan bahasa Jepang (Japanese Language Proficiency Test/JLPT) level 4 atau terkategori cukup baik, yang saat itu bisa menjadi modal utama untuknya bekerja, bahkan sampai di luar negeri.
Namun karena kondisinya, Raden mengurungkan niat untuk melamar pekerjaan, bahkan dirinya juga merasa minder ketika bertemu orang lain hingga dia memilih untuk terus di dalam rumah.
Selama kurang lebih 1 tahun keadaan dalam keterpurukan itu dijalani Raden, hingga akhirnya ada satu temannya yang hobi fotografi mengajaknya untuk membuka diri dan belajar fotografi.
Akhirnya, Raden pun tertarik kemudian membeli kamera bekas model analog dan mulai belajar fotografi hingga bisa menguasai bidang tersebut dan masuk komunitas fotografer amatir di kawasan Jalan Banceuy.
Dari kegiatannya tersebut, kepercayaan diri Raden mulai terbangun kembali, dan bisa menjadikannya sebagai sumber penghasilan dengan menjual jasanya di acara pernikahan, khitan, hingga di objek wisata.
Namun masuk tahun 2000, seiring dengan perkembangan teknologi kamera digital, Raden menemui kegiatan ini tak mampu lagi menopang kehidupannya, di mana pelanggannya lebih memilih fotografer berkamera digital, sementara untuk kamera baru dirinya tak mampu beli, yang menyebabkannya memilih "gantung kamera". Terlebih pada tahun itu juga dirinya menjalani kehidupan baru sebagai suami.
Dengan ada istri yang harus dinafkahinya, Raden memutar otak dan mempertimbangkan berbagai opsi yang ada, hingga pilihannya jatuh pada usaha kuliner dengan berbekal pertimbangan pada krisis 1998 bahwa usaha bidang makanan ini adalah yang paling aman dan stabil dibandingkan lainnya, meski masih belum diputuskan makanan apa yang jadi usahanya.
Di tengah pertimbangan berbagai jenis makanan, dia mengingat kabar bahwa madu merupakan obat selain bahan konsumsi sehingga komoditas inilah yang menjadi pilihannya, dengan harapan kondisi pendengaran juga bisa pulih pelan-pelan dengan konsumsi madu.
Madu Raden
Madu menjadi pilihan Raden dan istrinya untuk usaha barunya ,namun dirinya tidak memiliki pengetahuan, apalagi kemampuan di bidang tersebut. Akhirnya, kala itu, dia memutuskan belajar terkait madu, mulai dari THR Djuanda, hingga ke Kabupaten Bandung Barat dan Sukabumi.
Dari pembelajaran di beberapa tempat itu, serta modal yang bersumber dari dana pribadi dan bantuan berbagai pihak, akhirnya dia membuka usaha jual beli madu, baik yang disuplai para petani maupun yang dia budi dayakan sendiri, dengan memfokuskan pada jenis madu yang diproduksi lebah Apis cerana yang bisa memproduksi 1 kg per 3 bulan, dan lebah Trigona yang hanya memproduksi 1 kg madu per tahun.
Awalnya, pasar madu produksinya hanya di Bandung dan sekitarnya, dan yang terjauh adalah Jakarta dengan mengandalkan pemasaran mulut ke mulut.
Jalan beberapa waktu, dengan bekal pengetahuan bertahun-tahun, pengalaman, serta mulai aktifnya dia di berbagai komunitas, produk Madu Raden Ibrahim ini makin dikenal luas lewat berbagai seminar dan pelatihan terkait UMKM atau pengajaran terkait budi daya lebah dan menjadi petani yang dijalaninya.
Dari keaktifannya di berbagai komunitas UMKM dan disabilitas itu, dia juga berkesempatan untuk mengikuti berbagai program pembinaan dan bantuan usaha dari berbagai pihak mulai dari bantuan pemasaran digital, rebranding, hingga akses permodalan.
Salah satu yang masih diingatnya adalah bantuan dari PT Pegadaian yang diterimanya melalui organisasi nirlaba Alunjiva pada tahun 2023. Dalam program bantuan tersebut, Raden mendapatkan pelatihan pemasaran secara digital pada berbagai platform, pengemasan, rebranding, hingga bantuan permodalan, serta dilibatkan dalam pameran UMKM pada awal 2024 lalu.
Setelah dilatih selama 3 hari, termasuk memperkuat digitalisasi, ia juga diberikan akses permodalan tanpa jaminan, dengan bunga tahunan yang sangat ringan di bawah 1 persen. Kala itu, ia mengajukan Rp10 juta dulu.
Dengan berbagai usaha yang dilakukannya, kini produk madu Raden telah dikenal dan bisa menyuplai produknya ke pelanggan dari Sabang sampai Merauke.
Dari usaha madu yang dilakukannya ini, Raden mengaku mampu memberikan penghasilan bagi keluarga minimal Rp5 juta per bulan, bahkan bisa sampai membeli rumah yang ditempatinya kini dan menyekolahkan kedua anaknya sampai tinggi.
Putra pertama Raden, saat ini tercatat sebagai mahasiswa tahap akhir di IKIP Siliwangi, Cimahi, dan tengah persiapan sidang skripsi, sementara putra keduanya baru lulus dari SMKN 3 Cimahi.
Direktur Utama PT Pegadaian Damar Latri Setiawa mengungkapkan pihaknya memang menyelenggarakan berbagai inisiatif tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL), salah satunya memberikan modal finansial dan modal keterampilan bagi UMKM dalam Program GadePreneur yang juga menyasar kaum rentan, seperti difabel dan pekerja migran untuk berkontribusi dalam ekonomi nasional.
Dalam program khusus kelompok rentan seperti difabel dan para imigran, Mix Academy dan MigranPreneur, mereka diberikan pelatihan dengan kurikulum yang dirancang khusus untuk mengakomodasi kapasitas dan kapabilitas masing-masing.
Inklusivitas kelompok rentan merupakan faktor penting dalam roda ekonomi Indonesia
Kepala Bagian Humas & Protokoler PT Pegadaian Kanwil X Jawa Barat Muhammad Denny Rudiono menyatakan ada berbagai program perusahaan pelat merah ini bagi kaum disabilitas, mulai dari slot bidang pekerjaan di Pegadaian, bantuan alat gerak, hingga pemberdayaan termasuk UMKM.
Khusus untuk program pemberdayaan UMKM, termasuk bagi kalangan disabilitas, hal ini telah berjalan 7 tahun, dengan membina sekitar 600 UMKM sampai 2023.
Setiap UMKM yang mendaftar akan dikurasi sebelum diberikan program pendampingan, mulai dari caranya memasarkan produk lebih luas dengan digitalisasi, cara pengemasan, pembentukan ekosistem UMKM, hingga akses permodalan yang mudah.
"Pembinaan UMKM ini dijalankan di tiap cabang secara lokal, di mana mereka yang ikut program akan dilibatkan dalam berbagai event dan pameran yang digelar Pegadaian. Ini agar UMKM kita juga memiliki daya saing yang lebih tinggi dan membawa efek positif pada perekonomian Jabar dan nasional," tutur Denny.
Senyum Raden Ibrahim, yang di baliknya tersimpan pengalaman musibah hingga menyebabkan keterbatasan pendengaran, menggambarkan bahwa berdamai dengan diri sendiri akan lebih baik daripada terkurung pada masalah, yang sejatinya pasti datang dalam setiap kehidupan.
Jatuh bangun Raden Ibrahim dalam hidup, yang dalam setiap usahanya dijalani dengan ulet ini, menjadi penegas atas ungkapan yang harus diingat semua orang, bahwa akan selalu ada jalan yang terbuka lebar ketika ada kemauan dan menjalaninya secara serius.
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024