Bogor (Antara Megapolitan) - Sejumlah pakar agronomi dan hortikultura Institut Pertanian IPB berkumpul di Kampus Baranangsiang, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa, membahas persoalan beras yang kini ramai diberitakan menyusul penggerebekan gudang beras premium di Bekasi.

Guru besar Departemen Agronomi IPB Prof Sudarsono mengatakan, pihaknya mencoba menanggapi soal isu beras yang sedang hangat saat ini dengan menyusun strategi dalam mencari kejernihan di antara kekeruhan.

"Statmen yang kami buat dalam rangka menjernihkan, terkait apakah istilah yang benar dalam tata niaga beras ini, apakah komponen yang dibutuhkan dalam perhitungan harga tertentu," katanya.

Kepala Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB Dr Sugiyanta mengatakan, diskusi yang mereka lakukan dalam rangka memberikan masukan supaya ikut menjernihkan situasi dari beberapa kasus yang sedang ramai diberitakan saat ini.

Ia mengatakan, kesimpulan dalam diskusi para pakar tersebut akan menyampaikan klarifikasi atau batasan-batasan berbagai nomenklatur tentang perberasan yang jadi permasalahan khususnya untuk IR64.

"IR64 itu adalah varietas padi, istilah umumnya beras IR yang didalamnya ada indiga dan cere, mekongga, ciherang dan sebagainya," kata dia.

Pertemuan tersebut juga menjelaskan mengenai batasan pencampuran atau pengoplosan beras. Istilah pencampuran varietas beras itu memang tidak diatur, yang diatur adalah kelas mutunya berupa SNI.

Menurut Sugi, dalam diskusi tersebut Departemen Agronomi dan Hortikultura akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Rekomendasi tersebut antara lain, mengenai Harga Eceran Tertinggi (HET) beras tunggal. Dalam SNI beras terdiri dari beberapa mutu, tetapi harga diatur oleh HET. Rekomendasi lainnya, HPP sebagai dasar perhitungan HET juga harus dievaluasi agar menguntungkan berbagai pihak yang terlibat sebagai pelaku usaha.

"Kami akan memberikan masukan ini kepada pemerintah agar kedepan tidak terjadi kesalahpahaman antara beras medium dan premium," kata Sugi.

Sementara itu, pakar padi dari IPB, dr Purwono, MS.i menjelaskan, istilah bahasa yang digunakan pedagang beras dan bahasa resmi terutama beras IR64 yang merupakan bahasa pasar.

"Jadi, jika seorang pengusaha beras mencampur beras, diatur sedemikian rupa, ternyata pencampuran beras meracik beras suatu kebiasaan pedagang dalam melakukan seleksi beras. Tidak ada masalah, beras dari manapun yang terpenting memenuhi SNI 6218," katanya.

Ia menjelaskan, oplosan yang terjadi pada beras tidak sama dengan pengoplosan yang dikenal masyarakat luas, seperti mencampur minuman, atau minyak, dan lainnya. Tapi, dalam beras istilah pengoplosan adalah peracikan.

"Dalam Permendag 47 hanya diatur HET pangan tunggal, Tidak ada tentang beras medium dan premium. Harusnya untuk beras premium harganya harus lebih mahal dari harga medium," kata Purnomo.

Para pakar yang hadir dalam diskusi tersebut bersepakat untuk menyampaikan usulan kepada pemerintah agar HET pangan tunggal dievaluasi, sehingga sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan saat ini. Terutama faktor yang mempengaruhi rumusan HET, seperti biaya produksi.

Dalam diskusi tersebut juga dijelaskan, beras medium dan premium. Istilah premium diberikan kepada beras yang melalui uji SNI, sedangkan beras medium tidak melalui proses SNI, dan banyak beredaran di masyarakat di kelas menengah ke bawah. Beras premium produktivitasnya hanya 25 persen dari total produksi beras nasional yakni 40 juta ton per hektare.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017