Fransiskus Antonius Mahendra Harimurti, mahasiswa Program Studi (Prodi) Penyiaran Multimedia, Program Pendidikan Vokasi, Universitas Indonesia (UI) menjadi satu-satunya perwakilan dari Indonesia mengikuti Global Peace Summit New York 2024 yang berbicara mengenai kesetaraan gender.

“Perempuan selalu diposisikan pada peran yang less crucial dan tidak termasuk dalam key-roles produksi. Padahal, sebagian besar dari mereka bekerja dengan teliti dan selalu tepat waktu berdasarkan pengalaman saya bekerja dalam sebuah produksi,” ujar Mahendra di Kampus UI Depok, Senin

Kegiatan ini merupakan salah satu program yang diselenggarakan oleh organisasi non-profit Global Peace Chain yang akan dilaksanakan pada 9-12 Desember 2024 di New York, Amerika Serikat.

Beberapa agenda kegiatan yang akan diikuti Mahendra pada Global Peace Summit New York 2024 adalah workshop terkait SDGs, panel talks, sesi diskusi, aktivitas kelompok, cross-cultural exchanges, global friendships, leadership development, youth empowerment, dan lainnya.

Mahendra terpilih setelah lolos beberapa tahapan seleksi, di antaranya esai, CV, excitement video, community activity, dan media recognition.


Di acara bertema “The Role of Women in Politics and Peacebuilding”, Mahendra akan mengangkat isu kesetaraan gender yang juga dialami pada skala global, serta mencari solusi yang efektif secara universal.

Menurutnya, terdapat bias gender yang tidak disadari dan seringkali muncul di lingkungan sekitar, salah satunya dalam proses produksi film.

Beberapa karya film pendek Mahendra yang berkolaborasi dengan perempuan, baik sebagai sutradara ataupun asisten sutradara, yaitu Selametan (2023) dan Sahur (2024).

Mahendra melihat, potensi mereka dalam key-roles produksi berjalan dengan lancar dan hasilnya maksimal.

Ia juga menyoroti fenomena gender inequality di Indonesia yang lebih dari sekadar angka pada statistik, yaitu akar masalah yang perlu diurai satu per satu.

Mahendra mengatakan sudah sejak dahulu perempuan di Indonesia selalu dikaitkan dengan peran domestik. Tetapi, begitu mereka mengambil posisi publik, kapabilitas mereka selalu dipertanyakan.

Sampai sekarang, perempuan harus bekerja dua kali lebih keras untuk membuktikan kelayakan mereka. Sudah waktunya kita semua meninggalkan mindset seperti itu dan membuat lingkungan yang inklusif.

Film yang pertama kali menginspirasi Mahendra dalam mengangkat isu tersebut adalah Yentl (1983) yang disutradarai sekaligus diperankan Barbra Streisand.

Pada saat itu, film tersebut tidak banyak mengumpulkan banyak penghargaan dan Streisand menerima banyak kritik terkait peran yang banyak diambilnya pada film tersebut. Padahal, banyak juga sutradara laki-laki yang juga membintangi film mereka sendiri.


Selain itu, isu gender inequality juga merupakan isu yang dihadapi secara universal. Data dari UN Foundation pada 2023 menyatakan bahwa 34 persen negara di dunia melarang perempuan untuk bekerja di industri tertentu. Belum ada negara yang sepenuhnya berhasil mencapai kesetaraan gender.

Meski begitu, negara-negara seperti Norwegia, Swedia, dan Finlandia, memimpin perkembangan kesetaraan gender. Mulai dari distribusi yang adil terhadap pendapatan, kesempatan bagi semua gender, serta sumber daya. 

Di Indonesia, menurut The Indonesian Film Board hanya 10-15 persen film yang disutradarai perempuan. Jika dikaitkan dengan karakter utama dalam film, hanya terdapat 20-30 persen karakter utama perempuan dalam produksi film Indonesia.

Berbagai negara yang turut hadir pada kegiatan tersebut adalah Meksiko, Vietnam, Afrika Selatan, Jepang, Algeria, Singapura, Belarus, Nepal, Armenia, dan 50 negara lainnya. Mehendra juga pernah menjadi satu-satunya mahasiswa yang berasal dari Indonesia dalam kegiatan Youth Capacity and Building Training & Model APEC, pada Juli lalu yang berlangsung di Taiwan.

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024